Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum pernah panggung pemilihan presiden begitu riuh dan panas seperti sekarang. Dua pasang kandidat, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, telah membelah masyarakat secara diametral: "kami" dan "kamu".
Polarisasi kian menghebat dengan amplifikasi jejaring media sosial. Facebook, Twitter, YouTube, Path, dan Instagram menjadikan medan kampanye tak lagi kenal waktu dan tempat. Setiap detik, setiap menit, 24 jam sehari, netizen-warga dunia maya-dari berbagai penjuru meneriakkan pendapat: dukungan, pujian, kritik, cacian, hinaan, bahkan fitnah. Informasi dan disinformasi memenuhi udara. Publik mungkin sudah menetapkan hati perihal kandidat yang akan mereka pilih-setidaknya ancar-ancar-tapi dasarnya tak melulu akal sehat dan informasi yang tepat.
Mendedah kandidat dari berbagai sisi, harus diakui, tak satu pun calon memenuhi syarat sebagai pemimpin ideal. Tak ada paket pemimpin yang komplet bervisi jauh ke depan, komunikator andal, berkarisma, dan eksekutor tangguh di segala lini. Pemimpin ideal seperti itu tak ada-mungkin tak pernah ada.
Prabowo Subianto, misalnya. Ditabalkan pendukungnya sebagai orator ulung, ia terbebani sejarah pelanggaran hak asasi manusia. Ia mungkin berhasil memotretkan diri sebagai pemimpin yang tegas, tapi ia tak pernah mempraktekkan sikap tegas itu dalam sebuah birokrasi sipil yang plural dan kompleks. Ia dicibir sebagai pemimpin yang cuma pandai memberi instruksi.
Benar, tak sedikit jenderal yang menjadi kepala negara. Sebagian dari mereka menempuhnya melalui jalur kudeta militer. Namun ada juga jenderal yang menuju kursi kekuasaan dengan proses demokratis. Misalnya Dwight D. Eisenhower, yang memimpin Columbia University sebelum menjadi Presiden Amerika Serikat pada 1953. Juga Franklin D. Roosevelt. Sebelum terpilih sebagai Presiden Amerika, 1933, Roosevelt adalah Gubernur New York.
Patut disayangkan pula Prabowo cenderung menggampangkan persoalan. Berulang kali dalam forum debat calon presiden ia menyatakan akan menyediakan banyak uang untuk masyarakat desa, menyejahterakan mereka, menyediakan pekerjaan, mencetak sawah, dan lain-lain. Ia tak pernah mengelaborasi bagaimana janji-janji itu ditepati; dari mana triliunan uang yang ia butuhkan nanti akan ia peroleh. Ia mengatakan akan menambal kebocoran uang negara, tapi ia lupa bahwa sebagian besar partai politik yang bergabung dalam koalisi pelangi yang ia bangun adalah partai yang kader bahkan pemimpinnya pernah terlibat kasus korupsi.
Belum lagi jika kita berbicara tentang konsolidasi pemerintahan pascapemilu. Dengan spektrum partai dan pendukung yang terbentang lebar-dari Partai Keadilan Sejahtera yang puritan hingga Partai Amanat Nasional yang mengklaim pluralis-konsolidasi itu diperkirakan memakan waktu dan tenaga yang tak sedikit. Janji Prabowo untuk melindungi umat beragama selain Islam akan sulit diwujudkan karena di barisan sang Jenderal berdiri juga organisasi kemasyarakatan Front Pembela Islam.
Mari kita menengok Joko Widodo. Calon presiden bernomor urut dua ini sering dikritik kurang artikulatif. Pidatonya tidak berapi-api, terlalu teknis, dan kerap disebut kurang bervisi besar. Jokowi dianggap lebih cocok sebagai manajer atau pelaksana tugas di lapangan ketimbang presiden. Ia tak pandai menyampaikan gagasan. Ia bukan pemikir yang piawai menelurkan ide.
Namun pengalaman teknis yang dianggap sebagai kelemahan Jokowi ini sebetulnya merupakan kelebihan yang susah ditandingi Prabowo. Jokowi telah membuktikan diri sebagai pemimpin di level lokal. Pada 2005, dia terpilih sebagai Wali Kota Solo. Berbagai perubahan terjadi di Kota Solo: dari kaki lima yang lebih rapi, fasilitas publik yang lebih terawat, sampai reformasi birokrasi perizinan. Prestasi inilah yang, antara lain, mengantarkan Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012.
Bersama Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, Jokowi menggebrak dengan pola kepemimpinan yang tidak biasa. Blusukan menjadi jurus utama. Mesti tidak berskala raksasa, ia menghasilkan perubahan di sana-sini. Ratusan keluarga, penghuni liar, di sekitar Waduk Pluit dan Waduk Riario, misalnya, dapat dipindahkan dengan damai. Relokasi itu tanpa campur tangan polisi dan militer secara eksesif seperti yang selalu terjadi.
Seperti Prabowo, Jokowi akan menghadapi persoalan konsolidasi kekuasaan jika nanti terpilih sebagai presiden. Tapi, dengan koalisi terbatas, pekerjaan itu relatif lebih mudah dilakukan. Penegasan Jokowi bahwa ia tak akan bagi-bagi kekuasaan dan cenderung membentuk kabinet profesional adalah harapan di tengah sinisme publik terhadap birokrasi dan partai politik.
Bilik suara 9 Juli 2014 adalah penentu akhir. Sudah semestinya presiden yang terpilih menyadari bahwa masyarakat tak bisa terus-menerus dibiarkan terbelah menjadi "kami" dan "kamu". Tugas presiden terpilih yang pertama adalah kembali menyatukan masyarakat yang selama ini sudah terbelah.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo