Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHKAMAH Konstitusi mesti berhati-hati menafsirkan dua syarat pemenang pemilihan presiden. Aturan bahwa presiden terpilih harus mengantongi lebih dari 50 persen suara secara nasional dan memperoleh minimal 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi merupakan satu kesatuan. Mengabaikan syarat sebaran suara akan mengurangi bobot keterpilihan presiden.
Kebingungan soal syarat penting itu terjadi lantaran Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden tak mengantisipasi kompetisi yang hanya diikuti dua kandidat presiden. Itu sebabnya uji materi yang disodorkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi serta Forum Pengacara Konstitusi perlu dihargai.
Harus diakui, aturan main pemilihan dibuat tambal sulam. Aturan pemilihan presiden secara langsung baru muncul dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, yang disahkan pada 2001. Dua syarat pemenang-memperoleh lebih dari 50 persen suara plus syarat sebarannya-dituangkan dalam Pasal 6-A ayat 3. Ketentuan ini bersifat umum karena belum ada aturan putaran kedua dan peraturan itu tak menyebutkan jumlah kandidat presiden.
Aturan yang mengantisipasi kemungkinan terburuk-tak ada kandidat yang memenuhi dua syarat itu-baru dibuat setahun kemudian lewat Perubahan Keempat UUD 1945. Pada Pasal 6-A ayat 4, disisipkanlah ketentuan untuk mengatasi keadaan itu: kandidat yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali, dan yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan putaran kedua ini menjadi pemenang. Dalam putaran kedua, syarat sebaran suara tak diberlakukan.
Keadaan seperti sekarang-pemilihan hanya diikuti dua calon presiden-luput dari antisipasi perancang perubahan konstitusi dan pembuat Undang-Undang Pemilihan Presiden. Padahal kompetisi dengan dua calon pun bisa memunculkan kandidat yang mengumpulkan suara lebih dari 50 persen tapi tak memenuhi syarat sebaran suara. Secara teoretis, jika calon presiden mendapat suara sekitar 80 persen pada tujuh provinsi gemuk-Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan-ia sudah mengumpulkan suara nasional lebih dari 50 persen.
Kekosongan aturan harus diatasi. Hakim konstitusi mesti menafsirkan konstitusi secara cermat. Mengabaikan syarat sebaran suara untuk pemilihan yang diikuti dua calon presiden akan membuat hakim mudah dituding tidak konsisten. Syarat pemenang pemilihan akan menjadi lebih ringan dibandingkan dengan kompetisi yang diikuti tiga calon presiden atau lebih. Soalnya, dalam kompetisi dengan banyak calon, putaran kedua akan digelar bila syarat sebaran tak terpenuhi.
Ada pemikiran untuk menghilangkan sama sekali syarat sebaran suara, tanpa memandang jumlah kandidat yang ikut pemilihan. Tapi langkah ini akan menabrak konstitusi. Bagaimanapun, syarat ini dibuat bukan tanpa tujuan. Konstitusi ingin memastikan presiden terpilih disokong secara luas dan relatif merata.
Jika syarat penting itu dilenyapkan, kelak kalangan partai politik akan mengubah strategi dalam mengusung dan mengkampanyekan calon presiden dan wakil presiden. Mereka tak perlu repot lagi mencari pasangan yang bisa meraup dukungan luas, baik di Jawa maupun luar Jawa, tapi cukup menentukan figur yang sanggup mendulang suara di provinsi-provinsi gemuk. Provinsi yang minim penduduk akan dirugikan karena aspirasinya kurang diperhatikan.
Hakim konstitusi berwenang menafsirkan undang-undang dasar, tapi tak boleh mengabaikan semangat dan roh konstitusi.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo