Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa yang tidak terharu membaca investigative report TEMPO, 13 Februari, Laporan Utama tentang rebutan bayi Dewi dan Cipluk. Perkenankanlah saya mengemukan catatan dan usul. Menurut etika dan hukum, maka kepentingan bayi/anak harus diprioritaskan di atas kepentingan sengketa orangtua kedua pihak. Karena itu, Dewi jangan sampai mengetahui bahwa dia dituntut ibu lain. Dan Cipluk jangan pula sampai mengetahui bahwa dia ditoiak oleh seorang ibu. Itu kalau ternyata kedua anak tersebut, kelak sudah besar. Walaupun orangtua keduanya bersengketa, kedua bayi itu jangan mendapat trauma akibat persengketaan itu. Dalam hubungan masalah bayi, saya mempunyai pengalaman. Pada 1960-an, saya membantu istri saya mendirikan Yayasan Penitipan Anak dan Bayi di Solo. Yayasan itu sampai sekarang masih berdiri. Yayasan penitipan anak itu bertujuan mengadakan kindercreches. Yakni penitipan anak-anak di pasar-pasar, karena ibu mereka berjualan. Anak-anak itu dititipkan di bawah pengawasan orang-orang yang ahli dan berijazah. Penitipan bayi juga bertujuan menerima unwanted babies, yakni bayi yang tak dikehendaki oleh bapak dan ibunya. Bayi-bayi seperti itu, biasanya, ditinggalkan lari oleh ibunya dari rumah sakit atau ditinggalkan di jalan, dan lain-lain. Menurut contoh-contoh di Eropa dan Amerika, bayi-bayi itu dicarikan "orangtua adoptant", yang tidak boleh mengetahui siapa ibu bayi sebenarnya. Begitulah yang terjadi di biara-biara, rumah-rumah sakit, yayasan, dan lain-lain di Eropa dan Amerika. Itu merupakan suatu adopsi yang sempurna. Kinder creche pernah diadakan di Pasar Besar, Solo. Tetapi tidak langsung. Sebab, usaha melaksanakan adopsi bayi tanpa orangtua mengetahui di mana bayinya, untuk Indonesia, waktu itu, sulit dilaksanakan. Alangkah baiknya, jika Ibu Nani Soedarsono, Menteri Sosial, yang dahulu aktif dalam pergerakan wanita, berkenan meneruskan usaha itu. Sebab dapat dipahami bahwa jalan adopsi sesuai dengan cita-cita YPAB, Solo, itu jawaban paling tepat untuk problem unwanted child bernama Cipluk. Sedangkan untuk Dewi, sekali lagi, harus juga diusahakan jangan sampai mengetahui bahwa dia pernah dituntut ibu lain. Ada contoh lain. Dalam buku B.R.A. Partini, yang memuat biografi B.R.A. Partini Djajadiningrat putra K.G.P.A. Mangkunegoro VII istri Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, juga diceritakan bahwa B.R.A. Partini sejak lahir diambil dari ibu aslinya (di desa) dan diberikan kepada ibu lain di istana. Waktu B.R.A. Partini akan kawin, datang seorang wanita dari desa, yang menghadap beliau, lalu menangis dan mengaku sebagai ibunya. Itu menunjukkan kekurangsempurnaan adopsi. Sebab, seharusnya ibu asli jangan mengetahui di mana anaknya. Hal itu untuk menghindari si anak, di masa dewasanya, mendapat trauma. MR. SOEMARNO P. WIRJANTO Jalan Kebangkitan Nasional 20 Solo 57141
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo