Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas pada 20 Februari 2024 atau yang lebih dikenal sebagai Publisher Rights. Komunitas pers tentu berharap implementasi regulasi ini dapat memastikan relasi ekonomi yang adil antara perusahaan media dan perusahaan platform digital. Hal tersebut terutama berkaitan dengan pembagian dana atas pemanfaatan berita oleh perusahaan platform digital berdasarkan perhitungan nilai keekonomian, kerja sama lisensi berbayar, berbagi data agregat pengguna berita, dan bentuk lain yang disepakati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Publisher Rights memandatkan pembentukan komite guna memastikan pemenuhan kewajiban platform digital. Hal ini seperti yang tertuang dalam Pasal 10 Perpres 32/2024 yang berbunyi, “Komite mempunyai tugas untuk memastikan pemenuhan kewajiban Perusahaan Platform Digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.” Regulasi ini juga menjelaskan, komite memiliki tugas untuk memfasilitasi pelaksanaan arbitrase atau alternatif penyelesaian antara perusahaan media dan platform digital jika terjadi sengketa, termasuk memberikan rekomendasi kepada menteri terkait atas hasil pengawasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini artinya Komite Publisher Rights memiliki peran yang vital agar regulasi dapat dilaksanakan dan komunitas pers mendapat manfaat dari regulasi tersebut. Lebih jauh lagi, publik mendapatkan manfaat dari jurnalisme berkualitas dan pada akhirnya kualitas demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Karena itu, syarat pertama yang perlu dilakukan komunitas pers dan publik adalah memastikan Komite Publisher Rights tersebut independen dan mampu menjalankan fungsinya.
Dewan Pers telah mengambil langkah sigap dengan membentuk Gugus Tugas Pembentukan Komite sebagai tindak lanjut Perpres 32/2024. Gugus tugas kemudian membentuk panitia seleksi yang berjumlah lima orang yang terdiri dari seorang wakil Dewan Pers dan empat organisasi profesi yang menjadi konstituen Dewan Pers. Panitia seleksi komite inilah yang kelak akan memilih anggota komite yang berjumlah gasal, paling banyak 11 orang, yang terdiri dari unsur Dewan Pers, kementerian, dan pakar yang ditunjuk Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Ihwal unsur yang ditunjuk Kemenkopulhukam, kita harus melihat kembali Pasal 9 Ayat (1) Perpres 32/2024 yang berbunyi, “Komite dibentuk dan ditetapkan oleh Dewan Pers”. Pasal ini menjelaskan secara gamblang bahwa kewenangan pembentukan dan penetapan komite ada di tangan Dewan Pers. Ini juga berarti anggota yang ditunjuk Kemenkopolhukam dan kementerian terkait harus melalui proses seleksi di Dewan Pers. Mekanisme seleksi yang terpusat ini setidaknya dapat mencegah seseorang yang tidak memiliki kompetensi dan tidak mendukung kemerdekaan pers duduk di komite.
Selain itu, Gugus Tugas Pembentukan Komite telah membuat Kerangka Kerja Pemilihan Komite yang dapat menjadi panduan kerja bagi panitia seleksi. Kerangka tersebut sudah cukup baik dalam merumuskan prinsip-prinsip dalam pemilihan, mekanisme pemilihan, hingga proses kerja panitia seleksi. Namun panduan tersebut akan paripurna jika mendapatkan masukan dari publik.
Syarat kedua yang perlu dipastikan adalah pembangunan fondasi jurnalisme berkualitas. Regulasi ini memang sudah memberikan jaminan bagi perusahaan media yang telah lolos verifikasi di Dewan Pers untuk dapat menerima manfaat dari keberadaan Publisher Rights. Namun media nonprofit yang masuk kategori media yang melayani kepentingan publik (public interest media) masih kesulitan lolos verifikasi Dewan Pers. Penyebabnya, sejumlah syarat administrasi yang kurang sesuai dengan kelompok media ini.
Padahal cukup banyak kelompok media ini yang konsisten mengusung jurnalisme untuk kepentingan publik dan melahirkan karya jurnalistik berkualitas seperti Project Multatuli, Bandung Bergerak, dan Konde.co, ataupun media lainnya di daerah. Karena itu, komite dan Dewan Pers perlu mencari terobosan baru supaya jurnalisme di Tanah Air merangkul kelompok media ini. Sebab, yang berkontribusi terhadap jurnalisme tidak hanya pers industri melainkan juga media nonprofit yang melayani kepentingan publik.
Ini juga sejalan dengan “Prinsip Global dalam Relasi Korporasi Teknologi dan Jurnalisme” yang disepakati komunitas dan pemerhati pers dari berbagai negara di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 14 Juli 2023. Utamanya, yaitu memprioritaskan dukungan pada jurnalisme yang mengusung kepentingan publik. Prinsip lainnya adalah pluralitas, yang berarti Publisher Rights tidak boleh menciptakan bias yang menguntungkan salah satu perusahaan media atau platform yang sudah besar. Para penerbit kecil, menengah, dan pemula juga harus mendapatkan manfaat dari regulasi ini. Tidak terkecuali media kepentingan publik yang selama ini telah menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas dan tidak berfokus mencari keuntungan.
Dana untuk Media Kepentingan Publik
Solusi lain yang dapat diambil komunitas pers untuk menjamin keberlangsungan media nonprofit yang masuk kategori media kepentingan publik adalah dengan memberikan bantuan pendanaan. Selama ini, yang menjadi tantangan kelompok media ini adalah keberlanjutan pendanaan. Sejumlah inisiatif telah dicoba, mulai dari bantuan publik hingga mencari sumber pendanaan dari lembaga donor. Namun tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air juga perlu ditagih.
Indonesia dapat mencontoh praktik baik di negara lain, semisal Corporation for Public Broadcasting (CPB) di Amerika Serikat. Lembaga ini merupakan pengelola investasi pemerintah federal dalam penyiaran publik dan sumber pendanaan tunggal terbesar untuk radio publik, televisi, serta layanan online dan seluler terkait. Mengutip laman cpb.org, setidak terdapat 391 penerima hibah radio yang mewakili 1.207 stasiun radio publik dan 158 penerima hibah televisi yang mewakili 357 stasiun TV publik.
Dengan hibah seperti ini, CPB berupaya mendukung beragam program dan layanan yang memberikan informasi, mendidik, mencerahkan, dan memperkaya masyarakat. CPB juga mendorong pengembangan konten yang memenuhi kebutuhan audiens yang kurang terlayani seperti anak-anak dan kelompok minoritas.
Karena itu, penting bagi Komite Publisher Rights untuk tidak hanya berfokus pada perusahaan media yang masuk kategori pers industri dan telah diverifikasi Dewan Pers. Komite perlu mencari terobosan lain untuk keberlanjutan media, termasuk media nonprofit yang melayani kepentingan publik. Semisal dengan mendorong pembentukan lembaga seperti CPB, yang dalam konteks Indonesia misalnya mengelola dana negara dan swasta untuk pendanaan public interest media.
Namun yang tidak kalah penting juga, bagaimanana memastikan hibah yang diberikan lembaga seperti CPB itu tidak mempengaruhi independensi media. Maka penyaluran dana hibah tersebut tidak boleh langsung dari tangan pemerintah karena akan rentan diklaim sebagai belas kasihan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Itulah kenapa dana tersebut harus disalurkan lembaga yang independen seperti Komite Publisher Rights dengan mekanisme yang transparan sehingga tidak ada pilih kasih dalam pemberian hibah.
Dengan solusi ini, kita bisa sedikit optimistis bahwa media nonprofit yang melayani kepentingan publik akan tetap hidup dan pers industri akan lebih berkualitas, sehingga pada akhirnya kepentingan publik terlayani oleh pers yang profesional. Dengan demikian, pers yang melayani publik tidak hanya menjadi slogan, serta pers yang hanya melayani pemodal dan pemerintah menjadi terbantahkan.