Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tren operasi pengaruh menggunakan pasukan siber atau buzzer untuk memanipulasi opini publik telah berlangsung selama setidaknya lima tahun terakhir.
Kami menemukan bahwa operasi pengaruh menggunakan pasukan siber beroperasi setidaknya dalam lima kasus yang terjadi pada 2019-2021.
Operasi pengaruh membutuhkan biaya yang tidak murah karena dalam beberapa kasus diikuti oleh upaya peretasan.
DI pengujung pemerintahan Joko Widodo, majalah Tempo edisi 14-20 Oktober 2024 menerbitkan laporan menarik berjudul “Operasi Memoles Citra”. Liputan itu secara gamblang memaparkan bukti-bukti adanya suatu operasi pengaruh menggunakan para pesohor dan pendengung atau buzzer untuk memoles citra Jokowi di ruang publik digital.
Tidak hanya itu, investigasi Tempo juga menemukan bahwa upaya memoles citra Jokowi dilakukan dengan cara, antara lain, menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk mempengaruhi pemberitaan berbagai media arus utama. Menariknya, liputan itu juga mengungkapkan bahwa dana untuk operasi pengaruh tersebut menggunakan anggaran kementerian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya membaca liputan bernas ini dengan prihatin meskipun tidak sepenuhnya terkejut. Investigasi ini memperkuat dugaan adanya tren operasi pengaruh menggunakan pasukan siber atau buzzer untuk memanipulasi opini publik, yang sesungguhnya telah berlangsung selama setidaknya lima tahun terakhir.
Fenomena itu juga dibahas dalam artikel yang terbit di International Journal Press/Politics (IJPP) baru-baru ini. Artikel bertajuk “The Infrastructure of Domestic Influence Operations: Cyber Troops and Public Opinion Manipulation Through Social Media in Indonesia” ini merupakan hasil kolaborasi penulis dengan kolega peneliti dari KITLV Leiden, Universitas Amsterdam, dan Drone Emprit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa operasi pengaruh menggunakan pasukan siber beroperasi dalam lima kasus yang terjadi pada 2019-2021: Pemilu 2019, kebijakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, kebijakan normal baru atau new normal pada masa pandemi Covid-19, penyusunan UU Cipta Kerja, dan upaya pengambilalihan paksa Partai Demokrat.
Dalam konteks kajian ini, pasukan siber didefinisikan sebagai jaringan aktor yang sebagian besar menggunakan akun palsu yang dibayar secara rahasia untuk melakukan aksi terkoordinasi dalam rangka memanipulasi opini publik di media sosial.
Berdasarkan wawancara secara masif dengan 52 informan yang merupakan bagian dari pasukan siber, kami mendapat pengakuan ada setidaknya empat pihak yang menjadi sumber pembiayaan operasi pengaruh untuk memanipulasi opini publik ini.
Sumber pembiayaan pertama berasal dari pemerintah atau, setidaknya, pihak-pihak yang terkait dengan pemerintah. Jenis sumber pendanaan ini dapat kita jumpai dalam upaya untuk menggalang dukungan (manufacturing consent) pada kebijakan pemerintah yang mendapat banyak sekali penentangan, seperti penciptaan UU Cipta Kerja.
Kami juga menemukan penggunaan pasukan siber dalam kebijakan new normal. Kita ingat kampanye normal baru mulai dilakukan pada Mei 2020 ketika kasus pandemi di Indonesia masih jauh dari selesai. Seusai adanya kebijakan normal baru yang berisi pelonggaran pembatasan aktivitas sosial-ekonomi itu, jumlah kasus Covid-19 di Tanah Air justru terus meningkat. Hingga akhirnya, pada 17 Juli 2021, The New York Times menulis satu headline berjudul “The Pandemic Has a New Epicenter: Indonesia”.
Sumber pembiayaan kedua berasal dari politikus atau sekelompok politikus. Hal ini terjadi, misalnya, ketika seorang politikus ingin melambungkan namanya menjelang pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah. Strategi yang digunakan dapat bermacam-macam, dari menyebarkan sebanyak mungkin konten yang menyebut namanya hingga membuat polling pura-pura di media sosial terkait dengan sosok tersebut demi melambungkan popularitasnya.
Sumber pembiayaan ketiga berasal dari partai politik. Contohnya dalam kasus yang terjadi pada Pemilu 2019 ketika partai politik ikut membiayai penggunaan pasukan siber. Pembiayaan pasukan ini kemudian menjadi bagian dari pembiayaan kampanye politik. Hal serupa kami temukan dalam kasus upaya pengambilalihan paksa Partai Demokrat pada 2021.
Sumber lain pembiayaan pasukan siber yang terakhir dapat berasal dari pengusaha yang ikut menyumbang kepada politikus yang maju dalam kontestasi elektoral, dengan pamrih pembuatan kebijakan pemerintah yang kelak akan menguntungkannya. Kami juga menemukan indikasi para pebisnis ikut menanamkan uang untuk memanipulasi dukungan terhadap kebijakan bermasalah, seperti pembentukan UU Cipta Kerja.
Oligarki di Belakang Operasi Informasi
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, operasi pengaruh membutuhkan biaya yang tidak murah. Temuan Tempo juga mengungkapkan bahwa operasi memoles citra Jokowi memakan biaya miliaran rupiah. Temuan ini tidak mengejutkan, terutama karena operasi memoles citra tersebut biasanya melibatkan operasi lain untuk memastikan kesuksesan mempengaruhi kebijakan.
Dalam kasus operasi informasi untuk membangun narasi KPK sebagai sarang anggota Taliban, misalnya, anggaran besar dikeluarkan untuk menyewa mesin peretas aplikasi percakapan di telepon seluler para aktivis yang memprotes kebijakan pemerintah. Tujuan peretasan ini untuk meredam gelombang petisi dari para akademikus dan aktivis yang mendesak pembatalan revisi UU yang melemahkan lembaga antirasuah itu. Seperti halnya temuan Tempo, ada indikasi anggaran cukup besar juga digunakan untuk mempengaruhi pemberitaan media arus utama.
Mengingat biayanya yang besar, akhirnya tampak jelas bahwa operasi pengaruh hanya terjangkau oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia, yakni mereka yang kaya dan berkuasa. Hal itu membuat fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Operasi pengaruh semacam ini bukan hanya tidak etis—karena menghambat debat publik dengan menyebarkan salah tafsir, bahkan kebohongan—tapi juga merusak demokrasi.
Pasukan siber, termasuk buzzer, merupakan alat yang ampuh bagi elite ekonomi dan politik Indonesia untuk mempertahankan kepentingan mereka. Manipulasi opini publik memungkinkan elite mendorong undang-undang dan kebijakan yang menguntungkan mereka, tapi malah merugikan kepentingan rakyat. Dengan demikian, pasukan siber memperdalam ketimpangan ekonomi politik yang sudah cukup besar yang menjadi ciri demokrasi Indonesia. Penggunaan media sosial yang strategis serta terorkestrasi membantu elite ekonomi dan politik Indonesia makin memperkuat dominasi mereka.
Hal yang paling mengkhawatirkan dari semua ini: tren operasi pengaruh masih terus berlangsung dan justru akan makin meningkat di masa depan. Ia menjadi semacam penanda kemunculan industri disinformasi, yang tidak hanya menyesaki ruang publik dengan manipulasi informasi, tapi juga makin memundurkan demokrasi kita.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.