Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ambang Jurang Firli

Penyidikan Polda Metro Jaya terhadap Ketua KPK Firli Bahuri semakin terang. Kepolisian harus mengungkap kasus ini sampai tuntas.

30 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ambang Jurang Firli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus dugaan pertemuan Firli Bahuri dan Syahrul Yasin Limpo semakin terang.

  • Polisi sudah menggeledah rumah Firli di Jakarta dan Bekasi.

  • Kepolisian harus mengungkap kasus ini sampai tuntas, termasuk potensi pidana Firli yang lain.

Kurnia Ramadhana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teka-teki mengenai siapa pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga memeras dan bertemu dengan pihak beperkara kian terang. Sosok itu, Ketua KPK Firli Bahuri, ditengarai menjadi aktor di balik praktik lancung tersebut. Undang-Undang KPK menggariskan bahwa pimpinan dilarang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.

Tudingan ini bukan tanpa dasar. Rentetan petunjuk sudah mengarah ke sana, dari beredarnya foto Firli Bahuri bersama bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, pemanggilan dirinya sebagai saksi oleh kepolisian, pemeriksaan terhadap ajudannya, hingga penggeledahan rumahnya di Jalan Kertanegara, Jakarta; dan Bekasi. Kasus ini diperkirakan menjadi akhir dari kisah kekuasaan Firli di KPK dan akan segera mengantarkannya ke proses hukum.

Peristiwa ini sebenarnya tidak lagi mengejutkan masyarakat karena Firli sudah kerap diasosiasikan sebagai benalu di KPK. Kehadirannya, melalui pernyataan, tindakan, dan kebijakan sebagai pemimpin KPK, telah menggerus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah itu. Rekam jejaknya juga penuh dengan masalah, termasuk soal integritas. Misalnya, saat menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli pernah melakukan praktik serupa, yakni bertemu dengan pihak beperkara, yang kala itu bekas Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi. Berselang beberapa waktu kemudian, ia dijatuhi sanksi berat oleh KPK.

Harus diakui, kali ini kepolisian terlihat jauh lebih garang dalam membongkar kebobrokan KPK di bawah komando Firli. Sebelumnya, banyak laporan masyarakat tentang pimpinan KPK digantung hingga menguap begitu saja dan bahkan tak jarang pula dimentahkan. Padahal bukti yang diserahkan terbilang cukup untuk menyeret orang-orang bermasalah tersebut. Sebagai contoh, indikasi penerimaan gratifikasi Firli saat mengendarai helikopter mewah dan pemberian tiket MotoGP Mandalika kepada bekas pemimpin KPK Lili Pintauli Siregar. Karena itu, pengusutan kali ini menjadi penting sebagai batu uji konsistensi pemberantasan korupsi oleh kepolisian.

Penting diingat, proses hukum yang dijalankan Polda Metro Jaya bukan lagi berada pada tingkat penyelidikan, melainkan sudah masuk ranah penyidikan. Artinya, aparat penegak hukum sudah meyakini kebenaran peristiwa pidana dan tinggal mencari siapa tersangkanya. Berkenaan dengan hal itu, ada sejumlah catatan krusial yang harus diperhatikan kepolisian dalam mengusut korupsi di KPK ini.

Pertama, alasan Firli mengenai fotonya bersama Syahrul dilakukan sebelum proses penyelidikan tidak bisa secara langsung menghapus unsur pidana. Penggalian kebenaran dalam peristiwa ini harus dilihat dari sudut pandang materiil, bukan hanya formil. Sederhananya, penyidik jangan hanya terpaku pada berkas administrasi berupa surat perintah penyelidikan, tapi juga harus melihat alur informasi antara bagian pengaduan masyarakat kepada pimpinan KPK. Sebab, bisa jadi sejak aduan masuk ke KPK, pimpinan sudah mengetahui adanya kemungkinan untuk menetapkan Syahrul sebagai tersangka. Bila seperti itu, Firli dapat langsung dijerat dengan Pasal 36 dan Pasal 65 Undang-Undang KPK dengan ancaman pidana 5 tahun penjara.

Kedua, penyidik Polda Metro Jaya juga diharapkan tidak hanya berfokus pada substansi perkara Syahrul yang sedang ditangani KPK, yakni pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, dan indikasi pencucian uang. Banyak pihak yakin bahwa jauh sebelum itu ada sejumlah pengaduan yang memiliki cukup bukti untuk digunakan KPK menjerat Syahrul. Dalam hal ini, penyidik dapat meminta keterangan dari Direktur Pengaduan Masyarakat KPK. Jangan sampai kemudian jajaran kepolisian salah dalam menafsirkan latar belakang perkara di balik pertemuan antara Firli dan Syahrul.

Ketiga, kepolisian perlu membuka adanya kemungkinan menyelidiki potensi tindak pidana korupsi Firli yang lain. Bila saja nanti pemerasan terhadap Syahrul terbukti, para penyidik harus segera berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini penting untuk melacak kewajaran aliran dana, baik rekening milik Firli maupun orang-orang terdekatnya, dari pihak lain yang melanggar hukum. Seandainya ada, Ketua KPK itu dapat disangka dengan delik gratifikasi. Obyek penggeledahan berupa sebuah rumah mewah di Jalan Kertanegara juga harus didalami. Jika rumah itu milik Firli, apakah dicantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara miliknya? Kalau tidak, lantas apa kaitan Firli dengan rumah itu? Apakah ada pertemuan dengan pihak lain di rumah tersebut? Jika memungkinkan, kepolisian juga dapat mengembangkan pengusutan ke arah pencucian uang jika ditemukan fakta aliran dana hasil kejahatan diubah atau dialihkan ke pihak lain oleh Firli.

Kasus yang sedang ditangani Polda Metro Jaya ini sebenarnya berkenaan dengan obyek pengawasan Dewan Pengawas KPK, yakni dugaan pelanggaran kode etik. Namun, seperti biasa, sulit dipercaya bahwa Dewan akan menegakkan kode etiknya karena selama ini hukuman yang dijatuhkan kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Apalagi ada gejala Firli ingin memperlambat proses penegakan kode etik dengan mangkir dari panggilan pemeriksaan. Karena itu, Dewan Pengawas harus lebih tegas dalam bersikap. Salah satunya menolak permohonan pengunduran waktu pemeriksaan jika tidak didasari alasan yang logis dan kuat. Selain itu, karena sudah berulang kali melanggar kode etik, bila kasus saat ini terbukti, tidak ada pilihan bagi Dewan Pengawas untuk menjatuhkan sanksi seberat-beratnya kepada Firli.

Hal lain yang patut dicermati adalah hierarki pangkat antara pemimpin tertinggi di Polda Metro Jaya dan subyek penanganan, yakni Ketua KPK. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto dan Firli memiliki relasi historis dan struktural. Sebelumnya, Karyoto merupakan bawahan Firli, yang kala itu menjabat Deputi Penindakan KPK. Selain itu, dari segi pangkat, pangkat Firli lebih tinggi dibanding Karyoto, yang masih jenderal bintang dua. Untuk mengantisipasi melempemnya penanganan perkara ini, dibutuhkan supervisi langsung oleh Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo. Jangan sampai ada kesepakatan terselubung untuk menghentikan proses hukum Firli. Bahkan tidak salah jika kemudian Presiden turut serta mengawasi dan memastikan penanganan perkara di kepolisian berjalan profesional dan tidak diintervensi pihak mana pun.

Di luar itu, ada baiknya Firli bersikap kooperatif terhadap proses hukum dan tidak menebar narasi menyesatkan. Beberapa waktu lalu, purnawirawan jenderal polisi itu sempat mengatakan adanya fenomena serangan balik koruptor di balik pengusutan dugaan pemerasan oleh kepolisian. Bila saja pikiran Firli jernih dan logikanya tidak bengkok, upaya penyidik Polda Metro Jaya harus didukung sebagai langkah pembersihan koruptor di KPK. Lagi pula, narasi itu justru menunjukkan adanya rasa takut dan panik Firli terhadap proses hukum yang dia hadapi.

Ada perbedaan mendasar dari penegakan hukum kepolisian terhadap pimpinan KPK dulu dan sekarang. Dulu, seluruh tindakan kepolisian didasarkan pada motif kriminalisasi terhadap pemimpin KPK. Karena itu, istilah Cicak vs Buaya pun menggema cepat di tengah masyarakat. Namun sekarang berbeda. Dugaan pelanggaran hukum kian terang benderang dilakukan Firli. Tinggal apakah kepolisian benar-benar akan menindaklanjuti dengan menyeret Firli ke meja hijau atau tidak.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Kurnia Ramadhana

Kurnia Ramadhana

Peneliti Indonesia Corruption Watch

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus