Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arswendo Atmowiloto
KAPRAH, dalam kamus bahasa Indonesia, berarti lazim. Tapi, dalam idiom Jawa, kata itu menyatu dengan salah: salah kaprah. Maknanya lebih jauh: suatu kesalahan yang dianggap tidak salah, karena sudah lazim, dan diterima tanpa ''reserve".
Misalnya kemacetan lalu-lintas di—di mana saja—Pasar Cipulir, Jakarta Selatan. Desain jalan itu sungguh tak lazim. Ada pasar model Tanahabang yang hiruk-pikuk, berhadapan dengan plaza. Di sebelah plaza ada pompa bensin. Dan pasar itu sendiri sesekali menjadi terminal. Di dekat situ ada jembatan, yang bisa untuk berjualan pedagang lima kaki. (Yang salah kaprah adalah sebutan ''pedagang kaki lima" karena ini berasal dari terjemahan yang kurang mengindahkan tata bahasa Indonesia.) Sempurnalah kemacetan itu dengan papan tulisan: Anda memasuki wilayah Gerakan Disiplin Nasional.
Sama halnya kernet bus umum yang baik hati mengatur lalu-lintas di pertigaan. Dia lupa kemacetan itu terjadi antara lain justru karena busnya ngetem di pertigaan—agar bisa menjaring calon penumpang lebih banyak.
Salah kaprah yang lebih parah bisa terjadi jika solusi kemacetan seperti ini adalah membuat subway atau bus tingkat, atau menyodet jalan baru. Kalau hanya itu, itu kelaziman di negara lain, tanpa menyadari kesalahan atau problem di sini.
Misal yang lain lagi, barangkali, kasus Texmaco. Pengusahanya menggunakan fasilitas yang dimungkinkan, tentu tidak salah. Yang salah adalah mempersoalkan disposisi itu salah atau benar. Karena ini hanya berakhir dengan dalil, dalih akan bertarung dan tak ada juntrungannya. Kalau hanya itu, itu kelaziman belaka, padahal kezalimannya justru bagaimana setelah disposisi, tokoh yang berpengaruh dan menentukan itu membuat mekanisme sehingga seakan benar.
Misal yang lainnya lagi: pembakaran, juga ada pembunuhan di Yayasan Doulos, Cipayung. Salah kalau berhenti: ini kriminal murni apa politik, atau kenapa membangun tanpa izin yang dipersoalkan. Peristiwa kriminal atau politik, kalau salah, ya salah saja. Kalau mempersoalkan izin, kan, bisa balik bertanya: tahu kalau tidak dipatuhi dari dulu kok enggak bertindak? Dan segala pengaruh-memengaruhi, lalu kisruh, sampai kemudian tak jelas mana inti persoalannya, dan bagaimana bentuk penyelesaiannya. Mengulang kasus Priok, atau berbagai dark number, dalam artian benar-benar gelap.
Misal yang lainnya lagi—apa, ya?—pendapat bahwa negara itu akan rontok habis kalau tak ada pinjaman utang dari luar negeri. Lazimnya begitu, tapi ini juga salah kaprah yang parah, pinjaman itu diperlakukan sama dengan sebelumnya. Mungkin beda sedikit pengawasannya, tapi ujung-ujungnya sama.
Di sekolah, kita diajari memilih jawaban benar (b) atau salah (s). Ternyata di luar sekolah ada idiom lain yang hidup. Benar, tapi dasarnya salah. Seperti halnya—ini misal lanjutan—bagaimana menghadapi akhir tahun dan menyongsong milenium baru ini?
Harus istimewa, karena ini pergantian tidak biasanya: ya tahun baru, ya milenium baru—yang seribu tahun sekali baru terjadi. Kita tak akan mengalami lagi. Jadi, acara penyambutannya juga harus spektakuler: naik ke gunung Himalaya, menginap di hotel lima kali tarif normal, atau ''super-gila-gilaan".
Ya boleh, tapi ya ada salah kaprah. Pergantian tahun, milenium, belum tentu pas ukurannya. Kalau diperhitungkan dengan tahun Masehi, tak ada yang menjamin penandaan itu tepat dengan kelahiran Yesus. Lagi pula tak usah jauh-jauh: di Badui situ, atau di Gunung Bromo, masyarakatnya tak tersentuh dengan perhitungan waktu yang sama.
Tentu beriang-ria lain dari sebelumnya untuk membedakan yang istimewa tak dilarang. Cuma, jangan terlena, lalu mempermudah terjadi salah kaprah. Jangan pasrah ikut arus, karena yang lazim terkadang salah dan zalim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |