Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emmy Hafild
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Bagi gerakan civil society seluruh dunia, Seattle berarti kemenangan, dan ia menandai munculnya suatu era baru gerakan sosial dunia. Bagaimana tidak? Kurang lebih 50 ribu orang yang mewakili gerakan sosial di seluruh dunia dari negara maju, berkembang, dan negara miskin; dari seluruh klas masyarakat, baik kelas pekerja (blue collar) maupun kelas menengah (white collar), masyarakat desa (petani dan masyarakat adat) ataupun kota (gerakan lingkungan dan perempuan), dan dari seluruh ideologi(marxis,sosialis, lingkungan hidup, dan ekopopulis, serta ultra-rightwing proteksionisme) bersatu padu untuk menentang arogansi suatu lembaga dunia yang keluar dari mandatnya dan bertindak sebagai polisi lalu-lintas dunia untuk perdagangan.
WTO adalah ujung tombak kecenderungan ekstrem hegemoni suatu ideologi yang mengagung-agungkan pasar bebas. Ada suatu kecenderungan pemikiran saat ini yang menganggap bahwa hanya melalui mekanisme pasar bebaslah seluruh persoalan ekonomi dunia bisa diatasi. Pola pemikiran ini, selain oleh WTO, juga diwakili oleh lembaga multilateral lainnya seperti World Bank dan IMF. Pemikiran ini percaya, perdagangan bebas adalah satu- satunya cara untuk meningkatkan kesejahteraan dunia. Karena itu, peran pemerintah harus dikurangi dan pasarlah yang akan menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang penting bagi masyarakat luas. Pemikiran baru ini mengabaikan kegagalan pasar, yang selama ini dikoreksi oleh intervensi pemerintah. Keadilan sosial,hak asasi manusia,lingkungan hidup, dan sebagainya tidak bisa diselesaikan oleh mekanisme pasar. Karena itu, pemerintahan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat mengambil peran untuk melindungi kepentingan-kepentingan publik dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengatur pemain pasar dan mengatur pasar. Arus liberalisasi ekonomi yang dibawa oleh WTO dan didukung oleh IMF dan MDBs (multilateral development banks) mengancam peran pemerintah ini, dan inilah sebenarnya yang ditentang oleh kelompok masyarakat sipil di Seattle. Tiap-tiap negara mempunyai mekanisme demokratis untuk menyelesaikan kegagalan pasar ini. Bagi negara maju, kelompok-kelompok civil society sangat berperan memengaruhi anggota parlemennya untuk mengeluarkan undang-undang yang bisa melindungi kepentingan umum. Mereka juga bisa menekan pemerintahnya lewat lobi, negosiasi, demonstrasi, dan semua cara-cara demokratis lainnya agar pemerintah lebih sensitif terhadap kepentingan umum yang tidak bisa dilindungi karena kegagalan pasar ini. Kalau menyimak undang-undang Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan negara-negara Skandinavia, misalnya, hampir seluruhnya dibuat untuk mengatur pasar agar kepentingan-kepentingan umum itu terlindungi. Dengan cara itulah mereka bisa membangun tingkat kesejahteraan yang mereka capai saat ini. Sistem inilah yang sekarang terancam untuk dihapuskan oleh GATT lewat hukuman-hukuman WTO. Bagi kelompok masyarakat sipil di negara maju yang diwakili oleh serikat buruh, gerakan lingkungan hidup, dan kelompok feminis, WTO mengancam segala kebijakan yang selama ini susah payah mereka perjuangkan. Kelompok lingkungan hidup terancam karena aturan-aturan yang dikeluarkan untuk melindungi lingkungan hidup dari ganasnya perdagangan dibatalkan oleh WTO. Misalnya aturan mengenai pemakaian jaring penangkap ikan untuk menyelamatkan penyu dan lumba-lumba, yang oleh WTO dinyatakan melanggar aturan sehingga harus dicabut. Demikian juga, penolakan masyarakat Eropa terhadap produk makanan hasil modifikasi genetis terancam hukuman dari WTO. Bagi kelompok pekerja di negara maju, perdagangan mengancam pekerjaan dan eksistensi serikat buruh karena perusahaan-perusahaan dengan bebas akan memindahkan pabriknya ke negeri-negeri yang serikat buruhnya dan perlindungan terhadap buruhnya lemah serta memberikan standar gaji rendah, bahkan mengizinkan dipekerjakannya buruh anak. Bagi kelompok petani, WTO mengancam perlindungan pasar yang diberikan oleh pemerintahnya dalam bentuk subsidi proteksi harga. Bagi gerakan masyarakat sipil di negara berkembang, WTO mengancam mekanisme demokrasi yang sedang dibangun dan akan memperdalam jurang antara yang kaya dan yang miskin. Ibarat negara Eropa dan Amerika Serikat pada awal masa industrialisasi, negara-negara ini sedang mengalami keadaan ketika undang-undang dan perangkat aturan serta sistem sosialnya belum ada atau belum berfungsi untuk melindungi lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Di negara-negara ini, perdagangan bebas akan menghasilkan siapa yang kaya akan bertambah kaya, dan yang miskin akan bertambah miskin. Sangat tidak mungkin bagi petani di Indonesia, misalnya, untuk bersaing di dunia dengan konglomerat agrobisnis yang mempunyai modal kuat dan tentu saja lebih bisa menghasilkan produk pertanian dengan kualitas yang lebih baik. Petani-petani di negara berkembang akan sangat rapuh terhadap gejolak harga komoditi dunia, sementara sistem kesejahteraan sosial di negaranya belum siap untuk melindungi mereka dari gejolak ini. Buruh-buruh di negara berkembang akan tertekan hak-hak dan standar gajinya untuk bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya. Lebih sedih lagi, buruh murah dikampanyekan oleh pemerintah negara-negara berkembang di mana-mana untuk mengundang investor agar datang ke negaranya. Perdagangan bebas juga akan menguras sumber daya alam di negara-negara yang sistem perundang-undangannya serta institusinya belum mampu melindungi lingkungan secara efektif. Pemerintah negara berkembang banyak yang belum mempunyai baku mutu lingkungan dan perangkat serta mekanisme untuk mengawasi buangan pabrik dan pertambangan. Sehingga, industrialis dari negara maju dengan senang hati memindahkan pabriknya dari negara maju, yang aturan lingkungan hidupnya sangat ketat, ke negara-negara berkembang, yang aturan lingkungan hidupnya belum ada atau sangat longgar atau bisa disogok untuk dilonggarkan. Selain itu, kesepakatan-kesepatan multibangsa mengenai lingkungan hidup, hak-hak buruh, hak asasi manusia, dan keadilan sosial pun terancam.WTO meminta ILO untuk meninjau kembali konvensi-konvensinya yang melanggar GATT. Demikian juga, konvensi keanekaragaman hayati yang memberikan perlindungan hak intelektual masyarakat adat serta protokol untuk keamanan biologis bagi organisme yang dimodifikasi mendapat kecaman dari WTO karena dianggap melanggar GATT. Banyak kesepakatan internasional lainnya yang juga terancam, seperti Basel Convention, yang mengatur perdagangan limbah beracun; Montreal Protocol soal CFC; dan CITES, yang mengatur perdagangan satwa langka ataupun konvensi perubahan iklim. Semua ini terancam oleh WTO. Mekanisme demokratis yang telah diperjuangkan bertahun-tahun oleh masyarakat sipil dunia agar diterima di PBB tidak ada sama sekali di WTO. Keputusan-keputusan WTO diambil secara tertutup, lewat lobi-lobi di ruang tertutup, antara wakil pemerintah yang didominasi oleh negara maju, terutama Amerika Serikat, dan perusahaan multinasional dan asosiasi-asosiasi bisnis. Bahkan, utusan-utusan negara berkembang tidak bisa berkutik di dalam negosiasi-negosiasi itu karena kurang mampu, tidak ada biaya untuk menghadiri pertemuan-pertemuan reguler, dan tidak mempunyai posisi tawar yang cukup kuat untuk menentang agenda-agenda yang dipaksakan oleh Amerika dan kawan-kawan. Wakil-wakil masyarakat sipil, seperti LSM, sama sekali tidak diikutsertakan di dalam konsultasi-konsultasi dan perdebatan-perdebatan, sesuatu yang sudah mulai diterapkan di PBB setelah perjuangan bertahun-tahun. Keputusan-keputusan ekonomi yang memengaruhi kehidupan jutaan manusia di bumi ditentukan oleh para konglomerat yang tidak accountable terhadap masyarakat luas. Seattle akan mengubah itu semua. Di Seattle, masyarakat sipil dunia bersatu padu untuk menentang diabaikannya mekanisme demokratis yang mengoreksi kegagalan pasar. Seattle tidak akan membawa GATT ke titik awal, tetapi mengontrol jalannya GATT agar tidak melanggar prinsip-prinsip dan mekanisme demokratis. Negara berkembang, yang tidak mempunyai playing field level yang sama dengan negara-negara maju, harus bisa memanfaatkan Seattle untuk meningkatkan posisi tawarnya sehingga keterbukaan ekonomi itu memang akan benar-benar membawa masyarakatnya ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, yang menempatkan rakyatnya sebagai pemain ekonomi dan tidak hanya sebagai penonton dan obyek dari perusahaan multinasional. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |