Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kebudayaan kelontong

Borjuis indonesia termasuk kelas kelontong, tidak melahirkan industri dan teknologi. prinsipnya memperoleh keuntungan besar hari ini, tak perlu pelanggan birokrat kelontong menggunakan angka-angka yang tinggi.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYUMAN Djaya yang mulai. Dia bilang borjuasi kita ini kelas kelontong. Tak melahirkan industri, ilmu pengetahuan atas tcknologi seperti borjuasi Eropa. Asalnya saja dari borjuasi kelas bawah. Maka yang dihasilkan betul-betul kerdil. Itu dilontarkannya dalam wawuncara dengan Prisma. Tetapi barangkali bukan hanya bQrjuasinya yang.kelontong. Mungkin juga birokrasinya. Kaum intelektuilnya. Senimannya. Atau malahan kebudayaannya sama sekali. *** Prinsip kelontong adalah untung besar hari ini. Barang ù dagangan ditawarkan tinggi-tinggi, siapa tahu pembelinya blo'on. Kan bisa dapat untung besar. Perkara besok lusa dia tak ken-bali, itu soal lain. Toh ada saja orang beli. Buat apa cape-cape pelihara langganan. Kata orang bisnis, itu namanya hit and run. Keruk sekarang, urusan kemudian. Ini berlaku juga dalarm urusan kredit, misalnya. Ajukan saja permohonam Perkara financial statement, feasibility study, atur saja sama konsultan. Angka-angkanya, tiga kalikan harga pasar. Soal jaminan, kuburan pun jadilah. Perkara nanti bisa bayar atau tidak, itu soal lain. Kalau mau disita juga kan tak lebih dari sehelai kertas. Kosong lagi. Supaya aman, loncatlah dari satu bisnis ke bisnis lain. Kalau dana ada, maunya sih dikuasai semua. Yang borongan proyek lah. Yang antar makanan lah (sebut saja catering), utangan bis mini, patungan hotel, atau spekulasi kacang di bursa. Penginnya sih bikin conglomerate. Adapun kalau nantinya morat-marit, itu sih bagaimana nasib saja. *** Birokrat kelontong seperti pedagang kelontong. Obyeknya bikin proyek. Mulai dari usulan proyek. Angkanya, ditinggikan secukupnya. Ini untuk memberi margin yang bisa dibawa pulang. Atau bagi-bagilah sama handai taulan. Siapa tahu nyantol juga. Kan namanya usaha. Usaha beginian mencapai boom menjelang akhir anggaran. Supaya tidak hangus, bikin saja kegiatan. Seminar kek, diskusi kek. Raker, muker, atau apalah. Pokoknya anggaran habis. Baru hebat. Itu namanya bevoegd mengelola uang. Tak jadi soal. kalau untuk satu jenis proyek beberapa departemen bertemu sekaligus. Ini kan namannya koordinasi antar-departemen. Jadi ya bisa saja ada 20 proyek dari 10 departemen di satu desa. Kan rakyat juga yang untung. *** Sekarang musimnya seminar. Nah sedia saja dengan paper. Tentang perkotaan sebiji. Tentang agama barang sepuluh halaman. Lima lembar untuk pasar uang dan modal. Yang perlu kan pokok-pokok fikiran. Lagipula semua kesalahan toh bisa dimaafkan, asal di ujung kanan ditulis: Draf. Not for publication. Kan begitu-begitu ada honorariumnya. Kalau masih kelas bawah, jadi hanya bisa jadi peserta, siap-siap saja dengan pertanyaan yang aneh-aneh. Jangan lupa istilah-istilah asing yang siap pakai. Political will. misalnya. Atau "dilemma" dan "kultur" yang kini lagi laku. Jangan lupa tanyakan tentang informal sector, atau sedikit menyunggung multinational corporation. Lebih hebat lagi kalau hafal angka-angka indikator. Bisa dipastikan hadirin akan manggut-manggut Atau malahan dapat tepukan di bahu dari orang penting. Artinya, sahlah sudah sebutan "intelektuil masa kini." Tunggu saja undangan seminar lagi. Kaidah ini bisa dipakai juga buat peneliti. Asal tahu sekedar metodologi, cukuplah. Prosesnya sama saja. Bikin disain. Sebar questionair. Tabulasi, analisa, laporan. Akan materinya, itu tergantung maunya pemesan. Tentang pendidikan, boleh. Agama, bisa. Pemasaran, gampang. Angka kemiskinan, apa susahnya. Soalnya, tak perlu tahu satu hal sampai mendalam. Sedikit-sedikit asal komplit. Namanya juga kelontong. *** Penulis kelontong menulis sepotong-sepotong. Tapi bidangnya, wah luas sekali. Dari filologi sampai astrologi sampai trilogi. Politik, ekonomi, kultur - ah, itu bisa dibikin saban hari. Soalnya, tak baik menulis tentang satu soal berdalam-dalam. Itu justru menjemukan. Sedikit-sedikit asal komplit. Namanya juga kelontong. *** Tak usah kecil hati kalau anda termasuk yang disebut kelontong. Sebab usia anda akan panjang. Pemusatan, pencaplokan atau penggabungan hanya akan menimpa yang besar-besar atau sedang. Yang pengecer dan kelontong akan selamat. Bukankah menurut Rendra mastodon-mastodon saja yang akan saling gempur? Maka, panjang umurlah kelontong kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus