Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Saatnya Setya Blakblakan

KEPUTUSAN majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk membacakan dakwaan terhadap Setya Novanto menjadi awal runtuhnya kekuatan politik Ketua Umum Partai Golkar ini.

17 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk membacakan dakwaan terhadap Setya Novanto menjadi awal runtuhnya kekuatan politik Ketua Umum Partai Golkar ini. Elite partai beringin segera mempreteli kekuasaannya dengan menggelar musyawarah nasional luar biasa pada awal pekan ini.

Sehari setelah sidang perdana perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik itu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggugurkan gugatan praperadilan yang diajukan Setya. Alasannya, ia bukan lagi tersangka, melainkan telah menjadi terdakwa. Pada praperadilan pertama, yang diajukan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka kasus yang sama, hakim praperadilan memutuskan penetapan itu tidak sah.

Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan kembali status tersangka kepada Setya patut diacungi jempol. Di tengah tekanan politik yang begitu berat kepada Komisi, langkah KPK ini terbukti efektif menggagalkan upaya politikus senior itu menghindari meja hijau.

Bukti keterlibatan Setya dalam proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu sebenarnya sudah teramat gamblang. Ia ditengarai menerima dana US$ 7,3 juta atau sekitar Rp 99 miliar dari pemenang tender dan penyedia barang. Jaksa penuntut umum KPK mendakwa Setya telah 15 kali bertemu dengan kontraktor untuk membicarakan proyek KTP elektronik, baik sebelum maupun setelah tender.

Dia juga diduga mengikutsertakan perusahaan milik istri dan anaknya, PT Murakabi Sejahtera, dalam lelang. Komisi menengarai uang masuk ke Setya lewat perusahaan ini. Setya juga diketahui menerima jam tangan senilai Rp 1,2 miliar dari Johannes Marliem, pemimpin perusahaan yang menjadi subkontraktor konsorsium pemenang proyek.

Setya juga dianggap aktif mengawal anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam sidang tiga terdakwa sebelumnya, yakni dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiarto, serta pengusaha Andi Agustinus, ia disebut mempengaruhi "tim Fatmawati". Nama ini mengacu pada kelompok yang dibentuk Andi, kawan dekat Setya, untuk mengatur spesifikasi material dan peralatan proyek KTP elektronik. Di Kementerian Dalam Negeri, Setya dituding mempengaruhi pejabat untuk memenangkan konsorsium yang dia jagokan.

Jika kelak terbukti di pengadilan, Setya Novanto telah melakukan kejahatan serius. Perbuatannya tidak hanya melanggar hukum, tapi juga mengkhianati masyarakat banyak, yang hak-hak kependudukannya terabaikan akibat proyek KTP elektronik gagal beroperasi sempurna. Sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR ketika anggaran proyek dibahas, ia selayaknya menyukseskan proyek ini, bukan malah menjadikannya bancakan. Dengan identitas tunggal penduduk yang merupakan tujuan awal proyek, banyak persoalan bisa diselesaikan: dari memerangi terorisme hingga memastikan subsidi tepat sasaran. Saat ini bisa dikatakan proyek KTP elektronik gagal total.

Agar Setya tak lolos, jaksa KPK hendaknya cermat betul menyusun strategi. Tidak sekadar menyajikan bukti yang akan membuatnya tak berkutik, tapi juga memastikan tak ada kesalahan-kesalahan kecil, misalnya cacat prosedur, yang bakal menjadi sandungan. Dikabulkannya gugatan praperadilan pertama Setya dulu dipercaya merupakan akibat "keteledoran" tersebut.

Hakim mesti menelusuri aliran dana rasuah itu. Prinsip follow the money harus dipakai untuk mengetahui cabang-cabang pemberi dan penerima suap. Catatan dan kesaksian Miryam S. Haryani, anggota Komisi Pemerintahan DPR periode 2009-2014, tentang legislator yang menerima suap KTP elektronik harus dibuka kembali. Ketika itu, Miryam menyebutkan hampir semua anggota Komisi Pemerintahan DPR mendapat sogokan.

Raibnya nama politikus yang diduga menerima suap dalam berkas dakwaan Setya karena itu layak menjadi perhatian. KPK boleh saja mengaku sedang berfokus pada perkara Setya- demikian disampaikan juru bicara Komisi- tapi hendaknya mereka tidak lupa kepada penerima lain uang sogok itu. Dua nama yang "hilang" dari berkas dakwaan adalah Yasonna Laoly dan Olly Dondokambey. Keduanya mantan anggota Komisi Pemerintahan DPR. Yasonna kini menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sedangkan Olly menjabat Gubernur Sulawesi Utara. Di luar itu, masih ada anggota Komisi Pemerintahan yang bahkan sudah mengakui mengembalikan uang suap kepada KPK.

Adapun Setya tak punya banyak pilihan. Berlagak pilon dengan berpura-pura sakit di pengadilan tak akan banyak menolong. Ia malah bisa terancam hukuman maksimal, yakni seumur hidup. Ia seharusnya bersikap kooperatif, termasuk buka-bukaan perihal siapa saja yang terlibat dalam pemufakatan jahat KTP elektronik. Syukur-syukur atas kesadarannya itu dia mendapat keringanan hukuman.

Pengadilan Setya Novanto adalah pintu masuk bagi terbongkarnya megaskandal KTP elektronik. Komisi Pemberantasan Korupsi hendaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus