Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kelabu, ungu, dan kuning gading

Setiap anggota parlemen mendapat kertas yang beraneka warna. warna kelabu tidak jadi calon parlemen lagi, warna ungu bisa terpilih & tidak, warna kuning gading dipastikan terpilih jadi calon parlemen lagi.

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBEDA dengan famili lain, saya tinggal di lingkungan anggota parlemen. Ini artinya sama saja dengan berumah di tengah-tengah kebun zaitun. Sepanjang tahun hati saya tenteram. Merasa dilindungi, sedikitnya diperhatikan. Menghadapi apa saja senantiasa saya optimistis. Dunia rasanya jembar. Tak kecuali masa depan yang jauh. Hampir-hampir saya merasa, andai kata mau ke bulan pun tidak menghadapi hambatan. Lingkungan saya akan membantu. Pada suatu hari keadaan sedikit guncang, yang sudah pasti mempengaruhi saya juga. Keadaan tenang tiba-tiba berubah seperti dalam sangkar burung. Ada yang bersiul, ada yang mencericit, ada yang menggelepar-gelepar. Lenyaplah suasana kebun zaitun itu. Sebagai imbalan rasa terima kasih diperhatikan dan dibela selama ini saya pun memperhatikan mereka, merasa solider. Partisipasi. Begitulah memang mestinya hidup bertetangga, senang ikut senang, susah ikut susah. Buat orang kecil seperti saya, adat itu malah berubah jadi wajib. Soalnya, akibat secarik kertas aneka warna. Ada warna kelabu, ada ungu, dan ada kuning gading. Entah benar entah tidak, tetangga saya yang memperoleh warna kelabu berarti ia tidak lagi jadi calon anggota parlemen yang akan datang. Yang dapat warna ungu, bisa juga jadi, bisa juga tidak: fifty-fifty. Sedangkan yang dapat warna kuning gading, bisa dipastikan jadi calon lagi. Saya bisa maklum, rupanya akibat ulah warna-warna itu lingkungan berubah jadi kandang burung yang riuh rendah. Saya tidak mempersoalkan yang dapat kertas warna kuning gading, karena yang terjadi sudah bisa diduga. Ia tenang-tenang saja bagaikan seorang Budha, dan naik ke tempat tidur jauh sebelum waktunya. Hampir bisa dipastikan, ia masih akan dapat kesempatan jadi pengamat aspirasi rakyat dan keluhan-keluhannya, serta menjabarkan isi keluhan seterang-terangnya. Ia masih dapat kesempatan menjenguk kampung-kampung para pemilih, mencatat ihwal mereka, dan mengutarakannya di televisi. Yang saya persoalkan adalah jiran saya pemegang kertas ungu. Ini seburuk-buruk warna dalam cerita. Terhitung sejak memperoleh kertas itu, tak henti-hentinya ia mondar-mandir dari depan ke belakang rumah, seakan ia tak pernah berjalan seumur hidup. Perbuatan ini tidak dilarang, tapi kelihatannya tidak lazim. Sebagai jiran yang saya tahu punya tekad berkobar-kobar untuk membela kebenaran dan keadilan, merasa wajib membawa amanat penderitaan rakyat, tentulah kertas ungu itu merupakan gangguan. Ke mana lagi tekad berkobar-kobar akan disalurkan, dan bagaimana pula caranya? Inilah tampaknya yang menggelisahkan jiran saya, karena masa bimbang merupakan masa yang tidak sedap. Kalau jadi, tak soal. Kalau tidak? Sedangkan pemegang kertas kelabu, keajaibann telah terjadi. Mestinya ia yang paling murung, boleh jadi membanting pecahbelah, karena merasa udak mungkin bisa jadi calon lagi. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Sesudah gempar agak sepuluh-lima belas menit, ia menjadi reda. Masalahnya, kendati tidak jadi calon anggota parlemen, ia punya harapan bisa jadi duta besar, atau gubernur, atau bupati. Dalam rangka berdarma bakti untuk tanah air dan bangsa, kedudukan-kedudukan itu cukup memadai. Harapan itu bukanlah barang tinggi melayang di langit, bukan khayali, berhubung keluar dari mulut pimpinan partainya sendiri. Di luar dugaan sebelumnya, pada pagi hari seminggu kemudian, ketika saya membuka pintu rumah, saya temukan tiga lembar kertas baik yang berwarna kuning gading, maupun ungu, serta kelabu. Kertas itu tidak bertuliskan apa-apa. Sekarang, giliran saya yang bingung. Apa pula maknanya semua ini? Mustahil bisa terjadi serempak. Mustahil saya diterima, atau ditolak, atau diminta tunggu jadi anggota parlemen, secara berbarengan. Saya betul-betul menjadi ruwet, dan betul-betul ruwet yang tak pernah saya alami seumur hidup. Tak ayal lagi saya buru-buru berdoa, semoga kertas warna-warni itu sekadar olok-olok, kertas yang bisa kita beli di toko mana saja dan kapan saja kita mau. Dengan pikiran begitu, saya bisa tertolong. Untuk sesaat memang saya bisa tertolong, tapi tidak berlangsung lama. Saya berubah lagi, bukan sekadar bingung, melainkan lebih dahsyat dari itu Saya cemas. Mengapa? Sebab, dari hasil penyelidikan yang intensif, tahulah saya yang meletakkan kertas warna-warni di depan pintu itu tak lain dari anak saya yang baru saja lepas umur 10 tahun. Apa maksudnya dengan kertas warna-warni itu? Kalau toh berniat meletakkan di depan pintu, kenapa di depan pintu saya? Bukankah ada beratus-ratus pintu di seantero RW, dan ada beribu pintu di seantero kelurahan? Kalau maksudnya sekadar menggoda saya, apa pula dosa saya selama ini? Karena sudah tak tahan memikul beban rasa cemas, sore hari saya pergi ke dokter ahli jiwa. Saya paparkan sedetail-detailnya. Penyakit apa pula yang menimpa saya, dan penyakit apa pula yang menyerang anak saya. Dokter itu tidak menjawab apa-apa. Ia cuma tertawa terbahak-bahak, hingga lampu duduk di mejanya nyaris terpelanting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus