Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pembantu, isu, dan rasa ingin tahu

Peristiwa kapasan yang mengarah ke sara mencekam surabaya. berawal dari penganiayaan terhadap beberapa pembantu rumah tangga, diantaranya, irah, oleh majikan wni cina. hary gunawan tewas tertembak. (nas)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN kerusuhan, bukan pula demonstrasi. Sekelompok massa tampak berkerumun di sekitar Jalan Kapasan, dan beberapa kantor polisi. Beberapa panser tampak bersiaga di berbagai sudut kota Surabaya. Tentara berjaga-jaga, misalnya dua regu pasukan -- lengkap dengan senapan M-16-nya -- di Bioskop Irama yang memutar film Jacky Chen The Crime Hunter dalam student show-nya tengah hari. Suasana menjadi terasa tidak lazim, di Surabaya pekan ini. Jalanan lebih sepi. Kemacetan di sekitar Tunjungan Plaza, yang biasanya terjadi pada malam Minggu, kali ini tidak terjadi. Beberapa toko hanya membuka pintunya separuh. Atau malah menutup sama sekali. "Kalau Irah sampai mati, diamuk saja Cina ini," celetuk seorang di kerumunan, bernada sentimen rasial. Syukurlah, Irah, 30, tidak mati. Ia, pembantu asal Lorok-Pacitan itu, Selasa pagi 16 September lalu mengejutkan masyarakat, sewaktu merangkak keluar dari sebuah rumah di Jalan Kapasan, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sewaktu melapor pada polisi, ia mengaku telah empat tahun disekap dalam rumah Harman Hartanto yang persis di sebelah kantor Polres Surabaya Timur, dan bahkan sejak Lebaran lalu ia juga mengaku terus-menerus disiksa oleh Istri Harman, The Hoen Hoen. Hanya sekali koran memberitakannya, harian Jawa Pos. Namun, setelah itu tak ada penjelasan resmi sama sekali tentang bagaimana keadaan Irah, mengapa ia dianiaya, dan bagaimana keadaan keluarga Harman yang memperlakukan buruk pembantunya. Massa terus berdatangan ke tempat kejadian, dengan masing-masing membawa berita yang simpang siur. Ada yang menyebut jerit Irah selalu terdengar malam hari, atau sempat dijatuhkan dari loteng dan disiram air panas, atau sudah dibuatkan kuburnya dalam rumah. Para tukang becak dan massa lainnya juga sibuk mereka-reka apa yang menjadi sebab-sebab penyiksaan Irah. Pendapat yang mustahil pun berkembang. Misalnya, rumah Harman -- salesman pabrik plastik PT Maspion -- adalah tempat pencetakan uang palsu, dan Irah telanjur tahu itu. Atau bahkan, yang lebih lucu, Irah disebut-sebut akan dijadikan "tumbal pesugihan" bagi keluarga yang tergolong miskin di kawasan pecinan itu. "Habis . . . tak ada koran yang memberitakannya," kata pengunjung asal Kedung cowek yang sengaja datang ke tempat kejadian. Baru tanggal 23 September, koran-koran memuat keterangan Kapolwiltabes Surabaya Kolonel Moh. Hartantyo yang menyebut keadaan Irah telah membaik, lengkap dengan fotonya. Tapi kabar burung telah berkembang lebih pesat dibanding berita itu. Massa berkerumun pula di Polsek Rungkut, Polsek Kerembangan, Polsek Wonokromo sejalan dengan isu bahwa Harman dan istrinya, The Hoen Hoen, serta dua anaknya -- Ong Tjin Ming, 13, dan Ong Min Fei, 14 -- akan "dipamerkan" di sana. Massa juga sempat berkerumun di sekitar Pasar Turi, Sepanjang, daerah Darmo, bahkan juga di lapangan Makodam V Brawijaya. Ketika Pangdam Mayjen Saiful Sulun mendatangi mereka dan bertanya mengapa berkumpul di situ, mereka menjawab, "Katanya, penganiaya Irah akan diarak ke sini, Pak!" Tak ada yang perlu dikhawatirkan memang kalau hanya sekadar berkerumun lalu buyar lagi. Namun, kerumunan massa selalu memudahkan timbul kerusuhan. Dan sentimen rasial, kendati bermula lebih merupakan sikap iseng daripada sungguh-sungguh, bisa saja terjadi. Seorang pengendara motor, yang tanpa sengaja menyenggol orang di kerumunan, langsung dikeroyok sebelum sempat kabur. Sekelompok pelajar SMP kedapatan mengambil barang-barang di sebuah toko, tanpa membayar -- yang membuat pemilik toko melihat saja tanpa berani menegur. Sementara itu, petugas juga menemukan batu dalam tas pelajar, yang dlgeledahnya. Ketika ditanya untuk apa batu itu, pemilik tas hanya tersenyum. Kian hari suasana kian menghangat sejalan dengan makin simpang siurnya berita. Petugas menyita sejumlah selebaran gelap yang bernada menghasut. Dua orang ditangkap lantaran enam kaus bertuliskan "Pasukan Anti Jawa" dan "Brigade Remaja Anti Cina". Sementara itu, Agil H. Ali, Ketua PWI Jawa Timur, cenderung menilai perlunya keterbukaan informasi untuk mendinginkan suasana. Di Ujungpandang, tuturnya, kasus serupa (di sana, perkosaan pernah terjadi. Tanpa pers menulis beritanya sama sekali, ternyata, memunculkan isu yang kemudian menyulut kerusuhan yang lebih luas. Menghadapi keadaan itu, Mayjen Saiful Sulun segera menelepon Kapolda Jawa Timur Mayjen Soebagio, untuk membuat siaran pers di TVRI Surabaya, Rabu 25 September. Namun, dua hari berikutnya kerusuhan malah meledak, lantaran kasus serupa Irah terungkap lagi di Jalan Darmahusada Utara XI. "Perlakuan yang tidak manusiawi terhadap Darti (15) dan Mar (17)," begitu istilah Mayjen Saiful Sulun. Seno, pemilik toko Baru, mengantar Darti untuk dirawat di RS William Booth. Darti inilah yang membuka mulut pada pihak rumah sakit -- yang kemudian diteruskan pada polisi -- bahwa dirinya dianiaya majikan, bahkan seorang temannya masih disekap. Tanpa satu koran pun menulis, berita ternyata menjalar cepat bagai api menjilat bensin. Menjelang waktu salat Jumat, massa berkerumun dekat STM Pembangunan di Dharmahusada, melempari mobil-mobil lewat yang dikendarai para WNI Keturunan. Banyak kaca pecah. "Kalau sepuluh mobil saja lebih," kata pedagang rokok yang biasa mangkal di situ. "Mereka selalu berteriak Cino. . . cino setiap kali melempar," kata Ingrid, penghuni daerah setempat, yang sempat menghindar. Suasana berangsur mencekam ketika terbetik kabar bahwa Hary Gunawan, 39, pemilik toko mebel Sudimurni dan Reims ditembak mati di mobilnya, Jumat malam lalu. Toko-toko sekitar Jalan Gemblongan, Praban, dan Tunjungan banyak yang tutup. Isu bahwa tentara mulai menembaki Cina tersebar, yang segera dibantah oleh Mayjen Saiful Sulun penembakan "dilakukan oleh orang tidak dikenal, bukan petugas keamanan/ABRI." Sebenarnya kematian Hary adalah peristiwa kriminal biasa, tanpa kaitan dengan kasus Irah, tapi ikut memperkeruh suasana. Sementara itu, para pemanfaat situasi juga mengembangkan aksinya. Di Blauran, Senin sore, ratusan pelajar SMA menjarah toko emas Widuri -- tanpa terkendali lagi. Gejala yang bisa melahirkan kerusuhan yang lebih besar ini dihadapi dengan kesiapan luar biasa aparat keamanan. Sabtu lalu, Laksusda Mayjen Saiful Sulun segera mengadakan brifing pada muspida, tokoh masyarakat, menjelaskan keadaan di Surabaya kini. "Ja-Tim kini siaga penuh," ucapnya. Ini berarti, menurut sumber TEMPO di Laksusda, Surabaya dinyatakan dalam keadaan genting. Siaga satu." Malam itu juga Mayjen Saiful Sulun juga membuat pernyataan pers di TVRI Surabaya. "Percayakanlah masalah ini pada aparat penegak hukum." (Lihat Panglima dan Isu Jalan Kapasan). Enam belas panser tampak bersiaga di depan Markas Kodam V/Brawijaya. Dua panser Sarasin dan dua Ferret menjadi tontonan penduduk di daerah Dharmahusada. Sebanyak dua kompi pasukan didatangkan dari Malang. Namun, mereka tak harus berhadapan dengan massa. Kerumunan massa, yang sesekali muncul, lebih menunjukkan rasa ingin tahunya daripada berbuat kerusuhan atau menggeliat marah. Gertakan aparat keamanan dengan menampakkan sosoknya memang efektif. Tak ada lagi yang mencoba membuat kerusuhan. Berbagai acara yang bisa mendatangkan kerumunan massa dibatalkan. Kelompok musik Bhaskara '86 yang akan berpentas di Gedung Go-Skate Minggu malam digagalkan, hanya sehari sebelumnya. "Mau apa lagi," kata Oky Suparmanto, Ketua Highness Enterprise yang mempromotori konser itu. "Padahal, lima puluh persen tiket telah terjual." Sebuah konser musik remaja yang akan tampil di gedung Overseas Express Bank Tunjungan, pun tak terselenggara. "Ada kerusuhan semalam di Gemblongan," kata seorang petugas, sambil menunjuk arah tertembaknya Hary. "Makanya, banyak pemainnya yang tidak berani datang." Mayjen Saiful Sulun terus-menerus meninjau situasi lapangan. Selain menyusuri daerah-daerah yang dianggap rawan, Pangdam juga menyempatkan berbincang dengan para pasukannya. Situasi tampak berangsur mereda. Masyarakat agaknya kian mengerti bahwa soal Irah, Darti, dan Mar adalah peristiwa kriminal biasa, yang akan terungkap di persidangan setelah keluarga Harman dan Seno selesai diperiksa. Di Jakarta, Jaksa Agung Muda bidan Inteligen, Nugroho, juga mengakui kasus Surabaya itu merupakan peristiwa kriminal biasa. "Cinanya itu 'kan sudah diperiksa seperti biasa, kepadanya dikenakan pasal pemukulan," katanya kepada Agus Basri dari TEMPO. Dan bila massa sampai bergerak sehingga mengarah ke rasialisme, menurut Nugroho, sulit untuk mencari tahu penganjurnya. "Membuktikan siapa yang melempari mobil, ya, gimana? Sulit juga, 'kan? katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus