ANAK-anak Bung Karno, kini, muncul kembali dalam pembicaraan politik. Mereka disebut-disebut akan tampil sebagai calon anggota DPR dari PDI. Betulkah? Ketegasan sikap itulah, memang, yang belum tampak benar. Sikap yang mungkin masuk akal. Barangkali mereka masih ingat pesan mendiang ayah mereka: "Menjadi politikus itu tidak mudah." Nasihat ini pernah dikatakan Presiden RI pertama itu kepada Guntur, anak sulungnya, tahun 1964. Kala itu Guntur masih kuliah di ITB, "Dan aku mulai terjun dalam dunia politik, yaitu masuk pada suatu organisasi mahasiswa yang berlandaskan suatu ideologi politik (GMNI -- Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke PNI)," tulis Guntur dalam bukunya Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku. Politikus dalam bayangan Bung Karno, seperti yang ia alami sendiri, terbentuk lewat sebuah proses panjang. Pada usia belasan tahun, ketika meneruskan sekolah di HIS Surabaya, ia indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam (SI). Bermula dari mendengar diskusi politik yang dilakukan Tjokroaminoto dan kawan-kawannya, pada Soekarno muda terbentuk sebuah gambaran awal dari dunia politik yang pada masa selanjutnya tak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Apalagi sesudah itu putra kelahiran Blitar 6 Juni 1901 ini ikut dibawa dalam rapat-rapat SI. Ia pun mulai melahap buku-buku politik dan mulai menulis karangan mengenai pikiran-pikirannya. Tahun 1926, ia sebut sebagai masa "kematangan". Saat itu Soekarno dilantik menjadi igenieur. Periode ketika ia tak lagi melongok kepada Tjokroaminoto untuk belajar. "Aku sekarang sudah menjadi pemimpin," kata Soekarno yang kala itu berusia 25 tahun "Aku mempunyai pengikut. Aku mempunyai reputasi. Aku sudah menjadi tokoh politik yang sederajat dengan Pak Tjokro." Setahun kemudian, untuk membuktikan itu, Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia). Dan pembuktian sederajat dengan Pak Tjokro lewat jalan panjang: mengorganisasi gerakan, rakus membaca, piawai menulis, cerdas berdebat dan pidato, serta tahan dipenjara. "Kami sejak kecil telah diajar berpolitik, dalam arti mengenal kehitupan berbangsa dan bernegara," tulis Rachmawati dalam buku Bapakku, Ibuku. Di antara putra-putri Bung Karno anak nomor tiga dari Fatmawati ini yang termasuk paling aktif di dunia pergerakan. Tahun 1964 ia menjadi anggota GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) dan pernah membacakan Ikrar Prasetya di hadapan bapaknya yang saat itu terkenal dengan gelar Pemimpin Besar Revolusi. Awal Oktober 1981, Rahma -- sambil merayakan HUT-nya yang ke-31 -- mengumumkan berdirinya Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS). Urusan YPS -- yang bertujuan menjabarkan pasal UUD 45 -- "Meyangkut segala hal mengenai pendidikan," ujar Rachma kepada TEMPO saat itu. YPS, yang diketuai Rachmawati, sempat merealisasikan tujuannya, yaitu mendirikan UBK (Uniersitas Bung Karno), meskipun akhirnya gagal karena tak mendapat izin dari Menteri Pendidikan & Kebudayaan Nugroho Notosusanto kala itu. Menjadi politikus itu memang sulit, Rachma Istri Dicky Suprapto yang kini berusia 36 tahun itu memang pernah terjun ke arena politik. Yaitu tahun 1971. "Saat itu saya dan Mas Guntur terjun langsung dalam arena kampanye," ujarnya kepada TEMPO. Berpasangan, mereka berdua berkampanye untuk PNI, partai yang didirikan Mendiang Bung Karno. Dua periode pemilu sesudahnya -- 1977 dan 1982 -- tak satu pun keluarga Soekarno terlihat di arena kampanye. Masa-masa itu adalah saat ketika penyederhanaan partai dilakukan. Bersama empat partai politik yang lain, PNI bergabung dalam satu wadah PDI (Partai Demokrasi Indonesia). "Betul, PNI mayoritas sewaktu fusi. Tetapi PNI sendiri, ketika itu sudah tak lagi berkualitas ideologi mewakili ajaran Bung Karno," ujar Rachma. Padahal, PDI, paling tidak, menonjolkan gambar banteng, bekas tanda gambar PNI. Dan massa bekas PNI sendiri, hingga tahun 1982. masih sangat terikat oleh bayang-bayang pengaruh Bung Karno. 1977, misalnya dalam setiap kampanye PDI, massa lalu mengharapkan kehadiran Guruh Sukarnoputra. Di Jawa Tengah, terutama, banyak simpatisan PDI memakai kaus bertulisan "Guntur" mondar-mandir dengan motor yang meraung-raung. Bahkan di Yogya, poster-poster bertulisan "Guntur di mana Kau? Aku Rindu Padamu" tertempel mana-mana. Namun, Guntur tak juga muncul. Padahal waktu itu Kaskopkamtib Sudomo mengizinkan ia berkampanye. Tentang tak munculnya Guntur dan dirinya, Rachma bilang, "Secara resmi, tak ada. Tetapi secara tak resmi ada imbauan untuk tidak mendekati putra-putri Bung Karno." Guntur sendiri mengaku, hanya sebagai "pengamat politik yang aktif dan baik." Hingga kini Guntur, 42, memang lebih terkenal sebagai wiraswasta daripada politikus. Ia kini aktif mengurusi PT Dela Rosita, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Rahmawati menilai, ramainya pencalonan putra-putri Soekarno, "Kharisma Bung Karno ingin dimanfaatkan oleh kepentingan sesaat oleh salah satu kontestan. Jadi, tidak dalam penekanan segi kualitatif ideologi ajaran Bung Karno," ujarnya. Contohnya, "Orang hanya ribut masalah pencalonan saja. Tetapi kurang ditekankan apa konsep dan program yang dilakukan para kontestan." Tentang berita yang beredar akhir-akhir ini bahwa putra-putri Soekarno akan berkampanye, "Kami masih tetap berpegang pada keputusan keluarga menjelang Pemilu 1982. Kami tetap berdiri di atas semua golongan. Ini sikap yang justru sesuai dengan ajaran Bung Karno," kata Rachma. Diakui hingga saat ini belum ada rapat keluarga seperti empat tahun lalu, yang akan menentukan sikap politik menjelang kampanye. Tetapi ia menyatakan kesepakatan keluarga tahun 1982 itu memang tidak mengikat mati. Artinya, bisa saja salah satu keluarga Bung Karno tampil sebagai calon yang akan di-"jual" ke masyarakat. "Itu tergantung pribadi masing-masing dan merupakan hak individual," kata ibu tiga anak tadi. Pada beberapa media massa, pekan lalu santer diberitakan, beberapa nama putra-putri Almarhum terdaftar dalam calon PDI. Antara lain disebut-sebut nama Megawati beserta suaminya, dan nama Guruh Sukarnoputra. "Saya belum bisa menjawab sekarang," ujar Guruh lewat telepon dari San Francisco, Amerika Serikat, Sabtu pukul delapan malam pekan lalu. Tertangkap kesan ia sedikit kaget. Menurut Rachma, malam Minggu itu adik bungsunya tadi sempat menghubungi dia lewat telepon dua kali, menjelang tengah malam. "Dia heran namanya tercantum dalam deretan nama calon PDI," cerita Rachma. Menurut kisah Guruh kepada kakak perempuannya, dedengkot Swara Maharddhika itu memang menerima formulir pencalonan yang dikirimkan DPP-PDI. Tetapi, ujar Guruh, seperti ditirukan Rachma, formulir tadi selain tak diisi, juga tidak dikembalikan. Jadi, "Atas dasar apa PDI mencantumkan nama Guruh?" tanya Rachma heran. Sebuah sumber di DPP-PDI mengakui bahwa mereka telah melakukan pendekatan secara pribadi dengan putra-putri keluarga Bung Karno. "Kami tidak mendekatinya secara kesatuan," ujar sumber itu. Taktik pendekatan semacam itu, ujar sumber tadi, agar mereka lebih netral dan bila bersedia juga lebih rasional. "Mereka 'kan sudah dewasa," kata sumber TEMPO. Sampai saat ini PDI sudah mendapat konfirmasi, ada dua anak Soekarno yang bersedia dicalonkan yaitu Megawati dan Guruh. Sebuah sumber yang biasa mangkal di DPP-PDI mengakui bahwa Taufik Kemas, suami Megawati, memang sering bertandang ke kantor partai bersimbol kepala banteng, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Pemilu mendatang, selain memperebutkan kursi, juga merupakan arena persaingan anak tokoh-tokoh terkenal. Bursa anak tokoh tentu bakal ramai, bila anak-anak Soekarno terjun dalam kampanye. Tetapi arena pemilu, agaknya, tak menal ik bagi Sukmawati, putri Bung Karno yang lain. Ia menganggap, tak ada satu kontestan pun yang mempunyai program memperjuangkan ajaran Soekarno." Belum jelas benar, apakah banyak orang yang tertarik jika anak-anak presiden pertama itu, terjun ke politik. Yang terang, baru Guruh seorang yang sejauh ini, seakan mendapat "pengakuan" oleh sebagian kalangan muda. A. Luqman, Laporan Putut Tri Husodo & Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini