Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ada jenis peragawan ada ...

Profil anggota/calon anggota dpr untuk ppp dan pdi: h.m. hussein naro, fatimah. a., b.n. marbun, harjanto, ny. umroh m.t. mansyur, soedardji. s., ridwan saidi, burhanuddin. l., syufri h. tanjung. (nas)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Mohammad Hussein Naro, 24. Inilah calon anggota DPR termuda dari PPP. Siapa dia? Jangan kaget. Ia anak pertama Haji Jaelani Naro, orang pertama PPP. Hussein lahir di Jakarta, 21 Oktober 1962. Kulitnya kuning, tubuhnya tinggi kurus. Ia gemar berpakaian necis bak peragawan. "Saya dulu pernah diajari mendesain pakaian oleh Om Iwan Tirta," katanya pada Musthafa Helmy dari TEMPO. Nyonya Naro adalah kakak kandung perancang mode terkemuka, Iwan Tirta. "Tapi saya tak mau meneruskannya. Saya lebih tertarik pada politik." Jabatannya kini, Wakil Ketua Generasi Muda Pembangunan (GMP). Mahasiswa tahun kelima FE Universitas Jayabaya ini, mengaku, mulai terlibat politik sejak Muktamar I PPP, dua tahun silam. "Sejak itu, saya menjadi staf ahli Departemen Pemuda dan Kaderisasi DPP PPP," katanya. Hussein, terus terang, menyebut belajar politik terutama dari sang ayah. Ia, katanya, juga akan meniru gaya berpolitik ayahnya. "Ia seorang yang berdisiplin," ujarnya. Akan halnya perpecahan yang kini terjadi di PPP, menurut Hussein, "hanya karena kepentingan pribadi saja." Ia tak menjelaskan apakah juga termasuk kepentingan pribadi sang ayah. Ada tiga daerah, demikian Hussein yang mencalonkannya menjadi anggota DPR. Yakni NTB, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan. "Tapi saya memilih daerah ibu saya, Jawa Barat," ujarnya. Memang, Husein, kini tampil sebagai calon no. 4 dari Ja-Bar. Ini tergolong nomor jadi. Sebab, pada Pemilu 1982, PPP di Ja-Bar meraih 27,17% suara, atau 13 kursi. Mengapa Hussein tak rikuh dicalonkan? Bukankah itu menimbulkan penilaian "mentang-mentang" ayahnya Ketua Umum DPP PPP? Dengan kalem, Hussein menjawab, "Ini kepercayaan daerah kepada saya. Saya terharu ketika PPP Jawa Barat menyampaikan niatnya kepada saya. Mereka ikhlas sekali," katanya. Jadi, "Bagi saya, tidak boleh tidak." Fatimah Ahmad, 45. Tokoh PDI Sumatera Utara ini tampil pada urutan no. 1. Sesuatu yang istimewa, terlebih, jika diingat, pada pemilu lalu PDI hanya meraih sebuah kursi di provinsi ini "Tapi saya yakin, nomor saya membawa keberuntungan. Pada pemilu kelak pasti kursi yang diraih PDI bertambah banyak," ujar Fatimah. Fatimah kini anggota DPRD Tingkat I Sum-Ut. "Jika terpilih menjadi anggota DPR kelak, berarti peningkatan karier bagi saya," katanya. Fatimah berpendapat, seorang wakil rakyat mestilah bicara didukung oleh data dan fakta. "Berbicara lembut, tapi dengan data dan fakta, lebih efektif daripada berkoar keras tanpa fakta," katanya kepada Amir S. Torong dari TEMPO. Benedictus Nahot Marbun, 50. Salah seorang Ketua DPP PDI ini, tampil sebagai calon dari Jakarta. Marbun, selama ini lebih banyak dikenal sebagai staf profesional di Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen. "Tapi, sejak 1 Oktober, saya dibebastugaskan dari IPPM," katanya. Inilah bebas tugas dengan pangkat dan gaji tetap penuh. Pihak IPPM melepaskannya, lewat surat yang ditandatangani Ketua Yayasan Dr. T.B. Simatupang, serta Direktur Utama IPPM Ir. J. Sadiman, dengan alasan "demi negara". Maka, setelah Sekjen Daryanto, Marbun orang kedua di DPP PDI kini yang melepaskan pekerjaan sehari-hari, agar penuh untuk partai. "Kami memang ingin membuat tradisi baru," kata Marbun. "Dan ini bisa dicapai, juga karena pengorbanan teman-teman di IPPM." Marbun lulus dari Universitas Sumatera Utara, dan pernah belajar di Jerman Barat. Pada TEMPO ia pernah berkata, "Sebagai orang yang berkarier di bidang manajemen, saya akan mengelola PDI dengan perencanaan strategis." PDI akan berorientasi pada ouput, dan bukan massa. "Kalau buahnya jelek, pohonnya yang diganti. Kami memang sedang menanam tanaman keras -- yang tahunan baru bisa dipetik hasilnya," katanya. Hardjantho Sumodisastro, 59. Tahun depan, Hardjantho tidak perlu berdebar-debar lagi menanti saat-saat penghitungan suara. Nama Hardjantho Sumodiostro tak lagi tercantum dalam daftar calon yang diajukan Partai Demokrasi Indonesia. Saya 'kan boleh mengatakan saya 'capek dong' 16 tahun di DPR," katanya sambil tertawa lebar kepada Toriq Hadad dari TEMPO. Toh kalaupun ia mengakhiri karier politiknya sebagai wakil ketua DPR/MPR, Hardjantho belum tentu dapat tidur dengan nyenyak. Pekerjaannya sebagai presiden komisaris PT Standard Toyo Polimer, perusahaan biji plastik, dengan sejumlah anak perusahaannya, sudah menunggu. Lalu mengapa tokoh dari unsur PNI -- yang berperan dalam menengahi sengketa Ali Surachman vs Osa-Usep (1966) -- ini harus mengakhiri permainannya di panggung politik sekarang? Tapi Hardjantho merasa kepergian kali ini "akan lebih menguntungkan buat partai" dan "untuk tidak mengganggu pikiran-pikiran yang konsepnya lebih maju." Ia mengibaratkan pekerjaan yang sebentar lagi ditinggalkan ini sebagai: centeng ("Menyerap aspirasi rakyat dan menyampaikannya kepada pemerintah tapi untuk hal yang peka, langsung saya sampaikan kepada Presiden dan menteri"). Namun, apakah DPR sudah menjadi jembatan penyampai yang baik? "Itu sudah dilakukan oleh DPR sebagai lembaga," kata Hardjantho. Ny. Umroh Mahfudzoh Tolchah Mansyur. Kendati kalangan dekat mengenalnya bersifat pemalu, pendiam, bahkan tak pernah masuk hitungan, nama Ny. Umroh kini harus disimak cermat. Hanya keajaiban barangkali yang bisa menggeser nasibnya sebagai anggota DPR. Soalnya, ia tercantum sebagai calon nomor urut pertama untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. "Saya baru mau menjabat itu kalau Mas Tabik menyerahkan dengan rela," kata Nyonya Umroh Mahfudzoh kepada Aries Margono dari TEMPO. Apa pasal? Ternyata, proses penyusunan daftar calon mendapat sedikit hambatan. Menurut Samsuhadi, Sekertaris DPW PPP Yogyakarta, ada oknum dalam yang berusaha menggagalkan daftar calon yang telah disetujui DPP-PPP. Orang itu adalah Drs. Attabik Ali, bekas Ketua DPW-PPP yang diberhentikan Naro. Attabik sendiri kabarnya meminta kepada pengurus DPW-PPP agar namanya dicantumkan dalam daftar calon untuk anggota DPR, setidaknya untuk anggota DPRD Tingkat I DI Yogyakarta. "Kami sudah memperhatikan permintaannya. Tetapi nama Attabik tidak direstui. Jadi, mau apa lagi?" kata Samsuhadi. Berbagai kalangan PPP menyebutkan Attabik merasa amat terpukul. Padahal, ia telah mengorbankan kariernya sebagai pegawai negeri di Departemen Agama demi melancarkan aktivitasnya di PPP. Perkara rela atau tidak, itu memang soal lain. Soedardji Sareh, 48. "Kalau saya gagal bunuh diri? Ah, ya, enggak, dong. Gila apa! Saya ini 'kan Muslim. Nggak ada dalam kamus saya bunuh diri!" Jika Soedardji itu sayur, maka kalimat semacam itu adalah garamnya. Setelah enam belas tahun sebagai wakil rakyat, namanya tak lagi termuat di daftar calon. "Dulu, sih, membayangkan akan bosan menjadi anggota DPR. Tetapi setelah enam belas tahun, mau ke mana lagi. Jadi, kalau saya nanti berhenti, mungkin tiga bulan sesudahnya saya akan kena syndrome -- syndrome karena sudah terlalu lama di sini," katanya kepada A. Luqman dari TEMPO. Dardji masih belum menentukan pilihannya ke mana setelah ini. "Jadi swasta 'kan bisa. Menjadi pegawai negeri juga bisa saya masih karyawan Departemen PU, lho. Saya kira saya akan balik lagi ke sana," ujar Dardji. Ia pun melontarkan tekad serupa sumpah: "Saya ndak akan menyerah begitu saja. Harus perang Bratayudha dulu. Pokoknya, total war!" Tentu saja orang yang ditantangnya berperang adalah Jaelani Naro, Ketua Umum DPP PPP yang sempat disepaknya melalui konkurensi Cipayung, Maret 1985. Permusuhannya dengan Naro agaknya akan dibawa mati. Apalagi mengetahui bahwa para pendukungnya dicoret dari daftar calon, sementara pemerintah mengisyaratkan persetujuannya terhadap calon-calon Naro. "Kalau pemerintah putusannya begitu, ya, sudah. Karena ini 'kan sepenuhnya bergantung kepada pemerintah, bergantung kepada political will pemerintah," kata Dardji pasrah. Ridwan Saidi, 44 Ia sudah membayangkan hari-hari seusai pesta demokrasi tahun depan: tersuruk-suruk di antara kerumunan mereka yang mengambil pensiun di KPN Lapangan Banteng. Hari-hari penuh suka dan duka di Gedung DPR/MPR, Senayan, sebentar lagi akan selesai. Namun, di hati kecilnya ia merasa berterima kasih dengan nasibnya. "Saya sudah tak betah lagi bergaul dengan orang-orang di DPR yang bukan profesi," ujarnya kepada TEMPO. Ia melukiskan mereka sebagai pengantin sunat: ke sana kemari memakai safari dan tak pernah sekali pun bicara satu kalimat di surat kabar. Adakah kesempatan untuk mengubah citra buruk anggota DPR yang dikategorikan sebagai pengantin sunat itu? Ridwan ternyata setuju dengan kebijaksanaan yang ditempuh rekan-rekannya di PDI: membatasi hanya dua periode masa bakti. "Itu saya dukung keras," kata Ridwan bersemangat. Karena itu, Ridwan tak menampik tuduhan DPR itu banci. "Ada benarnya, kok," sahut Ridwan. Burhanuddin Lubis, 67 Sejak enam bulan lalu, Nuddin Lubis mengabarkan niatnya untuk pensiun sebagai anggota DPR. Politisi gaek memang sudah cukup karatan di DPR dimulai sejak tahun 1963, ketika lembaga perwakilan rakyat tersebut masih bernama DPR-GR (GR untuk Gotong Royong). Sebagai politikus, Nuddin berani dan terus terang, kendati tetap diplomatis. Sebagai ayah bagi 10 anak-anaknya ("yang kawin baru 50 persen") ia tidak merasa perlu ikut-ikutan mencalonkan mereka. "Biarlah mereka berkembang sendiri," katanya. Sebuah pengakuan yang cukup arif kedengarannya. Mungkin saja Nuddin yang tidak pernah melewatkan acara pertandingan tinju itu tidak menghendaki anak-anaknya menjadi korban keganasan gelanggang politik. Ia masih ingin terus berjuang walau cuma dengan menanam singkong. Ada rencana menanam singkong untuk menghabiskan masa pensiun kelak? "Belum. Tapi perinsipnya ini bukan melarikan diri dari perjuangan," sahutnya. Syufri Helmy Tanjung, 44 Semasa kecil Syufri tak pernah membayangkan dirinya sebagai politikus. Namun, peristiwa G-30-S membawanya ke jenjang DPRD Kota Madya Medan. Dari sinilah pintu ke DPR terbuka. "Tahun 1973 saya dipanggil Pak Mintaredja, Ketua Umum DPP PPP waktu itu," kata Syufri Helmy kepada TEMPO. Panggilan tadi, menurut dia, menandai era baru dalam politik: masuknya anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai wakil rakyat di tingkat pusat. Dan hal ini tampaknya punya arti kebanggaan bagi Syufri Helmy. "Soalnya, yang mendapat kesempataan tersebut hanya dua orang, yaitu saya sendiri dan Ridwan Saidi," ujarnya. Oleh Mintaredja, ia dan Ridwan diminta mewakili Parmusi. "Waktu itu, sebenarnya saya tidak tahu persis apa itu Parmusi," sahutnya sambil tertawa. Namun, setelah sembilan tahun menjadi anggota DPR, ia makin dewasa. Kendati kedewasaannya terkadang ditafsirkan sebagai tindakan berani mati. Sebagai wakil rakyat, ia masih belum puas. Terutama karena tata tertib yang berlaku selama ini di lembaga tersebut tak ubahnya "seperti menjerat leher sendiri". Sehingga dalam satu kesempatan pembahasan RUU sempat mengalami penundaan untuk menunggu (satu-satunya) wakil F-DI yang belum hadir. Selain itu, ia pun merasa kecewa kerena banyak rekannya lebih banyak berdiam saja. "Seorang anggota DPR yang baik, minimal memakai 10 persen masa baktinya untuk ngomong," kata Syufri Helmy dengan tegas. Karena itu, ia lebih setuju kalau calon angeota DPR diambil dari tokoh-tokoh masyarakat. "Bayangkan saja, kalau dia pegawai negeri. Sudah dipastikan bahwa dia akan kikuk. Bahkan tidak jarang terbata-bata." Kali ini Syufri Helmy tertawa lagi. B.H. dan James R. Lapian, Laporan Biro Jakarta & Jawa Tengah -- Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus