SAAT inilah hari-hari tersibuk bagi Mayjen Saiful Sulun, 49, sejak menjadi Pangdam V/Brawijaya, setahun lalu. Suasana Surabaya menghangat lantaran kasus Jalan Kapasan. Berarti, lulusan AMN 1960 ini harus lebih banyak menghabiskan waktu malam harinya di luar rumah. Menelusuri jalan demi jalan, mengunjungi pos-pos jaga, dan berbincang dengan para petugas yang siaga. "Wah, enak makananmu, ada teh botol segala. Dari mana? Beli, dikasih orang, atau hasil injak kaki?" tanyanya. Di tengah kegiatan yang menyita pikiran, jenderal berbintang dua ini juga sempat meluangkan waktu untuk hobinya. Sepak bola. Jumat lalu, misalnya, dengan mengenakan kaus bernomor punggung 10, ia berusaha menjebolkan gawang rivalnya yang dikawal oleh Gubernur Wahono. Sementara itu, di kesempatan lain, secara serius memimpin berbagai rapat koordinasi. Mendengar pendapat sana-sini, dan memberi pengarahan kembali. Inilah pandangannya mengenai beberapa hal: Tentang kasus Kapasan Keluarga ini (Harman Hartanto, maksudnya) memang selalu cekcok, dan istri memegang kendali keluarga. Ibu inilah yang memperlakukan pembantunya tidak manusiawi. Pada hari nahas itu Irah yang melihat pintu rumah terbuka segera melarikan diri, dan meminta perlindungan Polresta Kapasan, yang letaknya tidak jauh dari rumah korban. Berita tentang Irah kemudian dilansir di surat kabar yang menyebabkan masyarakat mengetahui dan melakukan unjuk rasa. Tentang unjuk rasa Atas kejadian ini kita semua sangat prihatin, karena aksi unjuk rasa ini semakin meningkat dan mengarah pada tindakan-tindakan keberingasan. Jangan lupa bahwa hal-hal seperti itu akan selalu dimanfaatkan oleh bahaya laten/musuh Pancasila baik golongan komunis maupun golongan ekstrem lainnya. Hal ini terbukti dengan beredarnya isu-isu dan selebaran gelap yang semakin memanaskan situasi. Kami sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban di Ja-Tim dapat mengerti dan memahami unjuk ras ini yang menuntut keadilan. Namun, sebagai negara hukum tentunya unjuk rasa ini disalurkan lewat saluran hukum, bukan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan hukum. Tentang dalang kerusuhan PKI dan kelompok ekstrem lainnya yang menyulut keadaan sehingga unjuk rasa menjadi beringas. Kalau saya bilang PKI, bukan berarti saya ingin mencari kambing hitam atau melempar kesalahan pada pihak lain. Nanti saya buktikan ucapan ini. Tentang penembakan Hary Gunawan Peristiwa penembakan yang terjadi pada tanggal 26 September 1986 pukul 20.00 di perempatan Jalan Gemblongan -- Siola terhadap Hary Gunawan (WNI) dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, bukan oleh petugas keamanan/ABRI. Sampai saat ini orang tersebut masih dalam pengejaran. Apakah peristiwa ini ada kaitannya atau tidak dengan peristiwa unjuk rasa, masih dalam pengusutan berwajib. Tentang peran pers Peranan pers sangat ampuh. Tulisannya bisa menggelegak, bisa membawa opini. Karena itu, hindarilah berita-berita yang bisa merusak. Kalau berita itu terjadi di rumah saya, tak apalah. Tapi secara kebetulan berita tersebut dilakukan oleh orang mata sipit di mana ada kesenjangan sosial. Seandainya kemarin seluruh Tunjungan hancur, seluruh Pasar Atum hancur, maka saya akan bertanya pada Bapak-bapak Wartawan, 'Apakah Bapak senang?' Syukur, tak terjadi apa-apa. Tapi pers juga bisa membawa ke arah positif. Kalau ada pertanyaan, 'Pak bagaimana kalau berita itu benar?' Baiklah, itu andai kata seluruh tulisan benar, daripada membawa efek dan akibat yang merusak, apa perlu itu ? Yang benar pun, kalau akibatnya merusak, tak perlu ditulis. Lebih-lebih kalau berita itu tidak benar. Sekali lagi, walaupun berita itu benar, bila mengakibatkan hal yang merusak, lebih baik tak ditulis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini