Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti Indef
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemiskinan masih jadi topik hangat, terlebih di tahun politik. Perdebatan terjadi karena perbedaan cara memandang angka kemiskinan. Selama ini rujukan angka kemiskinan memang ada di Badan Pusat Statistik. Per Maret 2018, tercatat angka kemiskinan berhasil menjadi single digit, yakni 9,8 persen-sebuah capaian yang mesti diapresiasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fakta menarik soal data kemiskinan BPS per Maret 2018 terletak pada distribusi kelompok 40 persen pengeluaran paling bawah yang mengalami kenaikan 3,06 persen sepanjang September 2017-Maret 2018. Adanya kenaikan pengeluaran masyarakat terbawah ternyata lebih berkaitan dengan gencarnya bantuan sosial non-tunai yang melonjak signifikan 87,6 persen selama triwulan I 2018. Program beras sejahtera juga berkontribusi pada penurunan kemiskinan karena tersalurkan sesuai dengan jadwal.
Dari data itu disimpulkan bahwa sebagian besar penyebab penurunan kemiskinan bukan akibat naiknya produktivitas masyarakat kelas bawah, melainkan tingginya bantuan sosial yang bersifat konsumtif. Apakah penurunan kemiskinan yang bergantung pada anggaran negara akan berkelanjutan? Jawabannya bergantung pada kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara dan alokasi anggaran. Jika prioritas anggaran disalurkan untuk membiayai infrastruktur, misalnya, penurunan kemiskinan bisa melambat.
Karena itu penurunan kemiskinan yang sifatnya hanya temporer melalui bantuan sosial harus dilengkapi dengan terobosan lain. Pemerintah tentu punya keterbatasan dari sisi anggaran, sedangkan jumlah penduduk miskin masih 25,9 juta orang. Peluang menurunkan kemiskinan harus bersumber dari kenaikan produktivitas masyarakat miskin.
Basis produktivitas masyarakat miskin yang mudah ditemui berada di sektor perdagangan. Salah satunya warung kelontong. Warung-warung kecil di daerah jumlahnya puluhan juta dan menghidupi masyarakat miskin. Namun, selama ini tata kelola warung belum dioptimalkan karena masih menggunakan manajemen tradisional. Perkembangan Internet di era digital ternyata mampu menciptakan peluang bagi warung tradisional untuk bertransformasi menjadi warung dengan pelayanan modern.
Layanan digital KUDO dan Warung Pintar, misalnya, terbukti berhasil mempermudah bisnis di warung-warung tradisional. Bermodalkan gawai, pedagang dapat bekerja sama dengan pemasok maupun distributor barang. Jika awalnya kesulitan warung adalah menumpuk stok barang di gudang yang sempit, karena rata-rata warung luasnya hanya 3 x 3 meter, dengan aplikasi KUDO, penjual hanya berfungsi sebagai reseller barang alias tanpa stok. Konsep ini mengubah seluruh rantai pasok bisnis warung dengan titik tekan pada efisiensi biaya dan kecepatan pelayanan.
Selain itu, warung dapat menawarkan kebutuhan sehari-hari di luar barang dan jasa, seperti pembayaran pulsa dan listrik. Fenomena peningkatan fungsi warung ini tentunya harus dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja hingga ke pelosok desa. Efek bergandanya juga terjadi di seluruh rantai pasok barang.
Di sisi lain, kemunculan program e-warung atau layanan warung non-tunai, yang menggandeng 83 ribu warung di seluruh Indonesia, patut diapresiasi. E-warung merupakan program pemerintah untuk mendistribusikan bantuan sosial, khususnya dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH). Dengan memanfaatkan teknologi modern, satu e-warung bisa melayani hingga 120 penerima PKH.
Kolaborasi antara pemerintah dan layanan warung digital, khususnya di wilayah pedesaan, perlu terjalin. Hambatan, seperti keterbatasan listrik, sulitnya akses jalan, dan akses jaringan Internet, bisa diselesaikan melalui pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Sedangkan pola kemitraan antara penjual warung kelontong dan layanan digital bisa terus dioptimalkan. Pengentasan kemiskinan berbasis produktivitas masyarakat di kelas bawah inilah yang merupakan solusi ideal dan berdimensi jangka panjang.