KALAU usaha pelayanan umum yang vital dirundung masalah, seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN), suka tak suka seluruh masyarakat ikut menanggungnya. Subsidi pemerintah yang akan dicabut, tumpukan utang yang tak terbayar mengakibatkan tarif listrik pasti harus naik, sementara pengelolaan tetap tidak efisien dan pelayanannya pun masih bertaraf rombengan. PLN sulit, masyarakat yang kena batunya.
Sekarang ada sengketa kontrak pembelian listrik swasta yang merugikan, dan usaha PLN membatalkannya melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menimbulkan masalah. Mengajukan gugatan ke pengadilan tidak otomatis berarti seseorang telah menempuh jalur hukum yang benar. Cara itu bisa dinilai sebagai ingkar janji belaka. Sebab, sebelumnya sudah disepakati bahwa tiap sengketa akan diselesaikan lewat Mahkamah Arbitrase Internasional.
Bila pilihan cara hukum seperti ini diteruskan, masyarakat Indonesia akan menanggung risiko dicap tidak sanggup menghargai lembaga perikatan tertulis alias kontrak. Ini bukan reklame baik untuk menarik investor dari luar negeri. PLN yang punya ulah, reputasi budaya hukum bangsa bisa ikut tercemar.
Seperti diakui Presiden Gus Dur, skema tarif tenaga listrik yang harus dibeli PLN dalam kontrak dengan perusahaan patungan asing PT Paiton Energy itu adalah "gombal". Bayangkan, PLN terikat harus membeli listrik yang dipasok Paiton I (seharusnya sejak Mei 1999) dengan harga 8,5 sen dolar Amerika per kWh (kilowatt-hour), sedang harga yang wajar hanya sekitar 3 sen dolar. Ini terjadi akibat praktek mark-up nilai proyek, hasil kongkalikong pengusaha-penguasa gaya orde Soeharto.
Memang tidak adil bila skema tarif ini dilaksanakan karena, ujungnya, rakyat konsumen juga yang akan menanggung bebannya. Tapi, di lain pihak, kontrak adalah kontrak, dan Indonesia harus membuktikan dirinya bonafide, negeri tempat perjanjian dihargai baik oleh pembuatnya maupun oleh sistem hukumnya. Bukankah hukum perdata Indonesia mengatakan sebuah kontrak itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya?
Karena itu, Gus Dur menghentikan gugatan pembatalan power purchase agreement Paiton I, dan memilih cara perundingan di luar pengadilan. Penghentian ini bukan tergolong penyalahgunaan kekuasaan presiden untuk mencampuri wewenang pengadilan, seperti yang tergesa-gesa dituduhkan oleh pengacara PLN. Sebab, instruksinya bukan pada hakim pengadilan, melainkan menyuruh PLN yang milik pemerintah itu mencabut gugatannya di pengadilan. Dalam perkara perdata, itu bisa dan biasa dilakukan.
Yang penting sekarang ialah bagaimana mencapai tujuan pokok dan membuat urutan prioritas dengan tepat. Pertama-tama, isi kontrak yang sangat merugikan harus diubah. Kalau tidak, PLN akan bangkrut dan masyarakat tak mungkin menanggung beban harga semahal itu. Kedua, untuk melepaskan diri dari kewajiban kontraktual yang menekan itu, jangan menempuh tindakan sepihak karena ini akan mengundang retaliasi yang menimbulkan kerugian lebih luas buat Indonesia. Untuk itu, hasil cara gugatan perdata jelas akan meleset dari tujuan. Sedangkan cara perundingan di luar pengadilan yang akan ditempuh masih pantas untuk dicoba, walau kemungkinan berhasil penuh juga kecil.
Tapi, tidak semua sependapat dengan pemerintah sekarang. Direktur Utama PLN, Adhi Satriya, dan seorang direktur lain mengundurkan diri karena tidak setuju dengan kebijakan baru yang memotong usaha pembatalan lewat jalur hukum di tengah jalan. Kebijakan PLN menggugat perdata untuk mematahkan jalan arbitrase itu sebenarnya juga didukung pemerintah, tapi semasa kekuasaan Presiden Habibie.
Keputusan Adhi Satriya ini sudah betul dan menunjukkan bahwa ia telah memegang amanah sesuai dengan namanya, mundur dengan satria dari jabatan ketika kebijakannya dibatalkan atasan. Ini perbuatan langka. Yang belum tentu betul ialah ketika ia merasa telah memenangi dua langkah prosedur pengadilan, dan tinggal selangkah lagi untuk bisa berhasil. Adhi keliru memahami, atau mendapat nasihat hukum yang kurang benar, hingga merasa andaikata tak ada tekanan kekuasaan asing, PLN nyaris berhasil menang.
Langkah kemenangan itu hanya menyangkut putusan provisional untuk menghentikan proses arbitrase dan pernyataan hakim bahwa pengadilan berwenang memeriksa perkara itu. Pokok perkaranya saja belum sempat diperiksa. Ini baru sebagian kecil dari acara yang rumit di pengadilan perdata, yang bisa makan waktu bertahun-tahun untuk sampai pada keputusan yang berkekuatan tetap.
Salah satu argumen yang digunakan PLN untuk membatalkan kontrak ialah bahwa persetujuan itu bersifat melawan hukum karena dibuat dengan motif korupsi, kolusi, dan nepotisme. Soalnya ialah bagaimana membuktikan adanya KKN tersebut dalam membuat kontrak dengan perusahaan yang ikut dimiliki oleh Hashim Djojohadikusumo, Siti Hediati Prabowo, dan Agus Kartasasmita pada 1994 itu.
Tapi, yang bisa memutuskan adanya tindak pidana korupsi adalah pengadilan pidana, bukan perdata. Dan ini baru menjadi perkara kalau dilaporkan dan diusut oleh Kejaksaan Agung sebelumnya. Yang harus diperiksa meliputi semua bekas direktur utama PLN seperti A. Arismunandar dan Zuhal, mantan Mentamben Ginandjar Kartasasmita, I.B. Sudjana, sampai Soeharto dan Habibie.
Karena itu, sebelum kasus KKN yang menyangkut keluarga Soeharto dan kroninya diproses secara hukum, tidak akan pernah ada alasan legal bagi PLN untuk membebaskan diri dari kontrak gombal proyek pembelian listrik swasta yang jumlahnya 27 buah itu. Yang harus dikecam, kalau begitu, bukanlah soal tunduknya pemerintah kepada tekanan asing, tetapi keraguan dan kelambanannya membawa semua koruptor Orde Baru ke depan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini