Rumah dinas para mantan menteri kosong blong. Isinya-termasuk barang inventaris negara-diboyong. Audit kekayaan memang sudah waktunya.
DULU di televisi ada acara anak-anak. Namanya Fun House. Ini adalah lomba ketangkasan anak. Lombanya tak terlalu penting dibahas. Yang ada kaitannya dengan tulisan ini adalah hadiah untuk anak yang menang. Sang pemenang akan dimasukkan ke dalam rumah hadiah, yang di setiap sudut-sudutnya ada kupon tersembunyi. Si anak harus bergerak secepat-cepatnya untuk meraih kupon di setiap sudut rumah, termasuk di dalam kolam atau di balik pintu kakus. Disediakan waktu semenit atau dua menit untuk mengambili kupon apa saja-biasanya berhadiah sepeda, makan ayam goreng gratis, atau uang dolar sekadarnya. Begitu presenter meniup peluit, priiit..., tanda waktu habis, "penjarahan" harus dihentikan, semua kupon dikumpulkan, dan hadiah bisa dibawa pulang.
Fun House ditayangkan untuk jangka waktu lama. Karena itu, penggemarnya luas di sini. Mau bukti? Lihat saja penjarahan toko, pasar swalayan, atau mal di Jakarta tatkala terjadi kerusuhan massa, misalnya Mei tahun lalu. Begitu pintu toko mal didobrak, mereka menghambur masuk secepat kilat, menyambar apa saja, dari minicompo sampai tampon. Dan mereka sulit di-"prit" untuk berhenti-lagi pula siapa yang berani-sampai tak satu pun tusuk gigi tersisa.
Belakangan ketahuan, sebagian menteri-terutama yang bekerja untuk Soeharto dan Habibie-juga nge-fans berat kepada Fun House. Paling tidak, kelakuannya begitu. Mereka memperlakukan rumah dinas seperti "rumah hadiah" tadi. Begitu mulai menjabat, mereka meminta apa saja untuk dipasang di sana-tentu saja dengan biaya dinas, wong namanya rumah dinas-gorden, wallpaper, penyejuk udara (AC), kulkas, atau apa saja. Dan begitu selesai menjabat-tak peduli dia sukses atau gagal, tak pandang dia sudah mengeduk uang negara atau sekadar cuil sana-sini sesedikit-mereka akan bertingkah seperti anak-anak pemenang lomba tadi: membawa pergi semua yang bisa dibawa. Tirai jendela dibungkus, AC dicopoti dan diboyong (di pasar, kan, mahal), kulkas digelendeng pergi, pintu kayu lemari pun dibetot. Yang sungguh sulit dinalar, seorang menteri diberitakan membobol tutup kakus rumah dinas yang, katanya, dulu dipasangnya dengan biaya sendiri-barangkali dia tipe orang yang gampang sembelit jika tutup kakus tak cocok dengan ukuran bokongnya.
Seorang kuli bangunan yang tengah merapikan sebuah rumah dinas (isinya kosong blong, dinding tempat AC bolong, seperti baru dimortir milisi), yang segera ditempati menteri kabinet Gus Dur, berkomentar begini, "Wah..., kalau wallpaper bisa dikeletek, sih, kayaknya dibawa juga, Pak." Ya, tentu saja, wallpaper itu mahal, lo. Kalau babu dan kacung bisa digotong pun, barangkali akan ada yang melakukannya.
Zaman banyak berubah, kelakuan pejabat kita yang belum: masih suka mengamalkan ilmu aji mumpung, ilmu "sikat dulu, urusan belakang", ilmu "kenyang perut sendiri, rakyat bisa menyusul". Pembobolan rumah dinas ini adalah contoh yang paling membuat perut mual. Maka, tak ada jalan lain: sebelum menjabat, Pak Menteri harus diaudit kekayaannya, dari berapa banyak rumah dan mobil pribadinya sampai berapa banyak tutup kakusnya. Audit harus segera dilakukan pemerintahan Gus Dur sebelum semua ludes dibawa pergi-apalagi orang-orang model begini biasanya "kebal" suara sempritan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini