Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aboeprijadi Santoso
Wartawan di Amsterdam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jamal Khashoggi, seperti Munir, gugur pada musim gugur. Munir tewas pada 7 September 2004, dan jurnalis Arab Saudi itu tewas di dalam kantor Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki, 2 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembunuhan politik tingkat tinggi merupakan cerita klasik. Kasus tersebut lazim berkelindan di tengah geopolitik yang dinamis. Hal itu pula yang mengilhami filsuf legendaris, Niccolo Machiavelli, yang hidup di Italia pada abad XVI.
Yang gelap di ranah keamanan negara itu lazimnya krusial. Filsuf Inggris abad XVII, Thomas Hobbes, melukiskan konteks semacam itu relevan bagi kekuatan yang ingin berpaku pada ketertiban demi mengelak anarki. Obsesi seputar sosok Leviathan ini membuat dirinya dianggap melegitimasi rezimrezim otoriter.
Antropolog Talal Asad mengingatkan, sebenarnya ide persekutuan Commonwealthlah yang diinginkan Hobbes, dengan format politik untuk melindungi warga dari "perang antarmanusia". Namun kenyataannya negara acap tampil dalam kedua citra tersebut. Ia cenderung menjadi predator yang mengandalkan dalil force and fraud (kekuatan dan tipu daya).
Khashoggi dan Munir adalah korban negara predator. Fraud itu tiba dengan meracuni Munir dan memancing Khashoggi ke Konsulat. Munir adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang teguh dan disegani. Khashoggi, kolumnis The Washington Post, seperti Munir, bukan pembangkang. Bahkan jurnalis ini lama berada di sekitar Istana Arab Saudi. Keduanya pun bukan aktivis radikalmeski Khashoggi bersimpati pada AlIkhwan alMuslimin yang secara politik berseberangan dengan kaum Wahabbi di Arab Saudi.
Keduanya membangun jejaring kawan: Munir cenderung di dalam negeri, Khashoggi di London dan Washington. Mereka patriot yang beraspirasi membangun demokrasi. Munir bergerak lincah dan berbicara seputar peran militer dalam negara dan keberingasannya di daerah konflik. Adapun Khashoggi ingin mendobrak "tirai besi" otokrasi Arab Saudi demi memajukan kemerdekaan berekspresi.
Dengan mengkritik Istana Arab Saudi, adakah Khashoggi dianggap melewati batas? Dalam kolom terakhirnya, pendukung "Musim Semi Arab" ini mengecam negaranegara Arab yang membungkam jurnalis dan mengajak dunia Arab membangun platform opini di luar pemerintahan. Tahun lalu, dia mengaku memilih tinggal di luar negaranya demi keamanan dirinya. Menurut sohib Kashoggi di Kanada, telepon genggamnya, yang berisi rencana memindahkan kegiatan ke Amerika Serikat, telah diretas.
Ada peran agen keamanan yang langsung berada di bawah wewenang bos intelijen negara dan muslihat perencanaan pembunuhan Khashoggikedua ihwal ini membuat kasus Khashoggi mirip dengan kasus Munir. Dua hal itu memicu dugaan mengarah ke aparat intelijen di bawah Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), putra mahkota Kerajaan Arab Saudi. Paling kurang tiga anggota tim forensik juga merupakan pengawal pribadinya. MBS sendiri pernah memperingatkan Amerika: "Khashoggi merupakan elemen berbahaya".
Dalam kasus Munir, dugaan juga mengarah ke aparat sejenis berinisial AMH dan MPr. Kasusnya pun masih gelap. Ongen R.L., pengkhotbah dan penyanyi yang minum teh bersama Munir di Bandar Udara Changi, Singapura, misalnya, telah tiada menjelang ia hendak membuka cerita (Mei 2012). Namun mantan tokoh Badan Koordinasi Intelijen Negara, Soeripto, memastikan peran kunci aparat Badan Intelijen Negara.
Tragisnya, kedua kasus tersebut kemungkinan besar akan berakhir serupa. Kasus Munir tak berakhir adil walaupun, misalnya, beberapa jam setelah diracuni, Pollycarpus diketahui telah melapor kepada MPr bahwa ia "sudah mendapat ikan besar". Pada kurun itu, Polly puluhan kali mengontak MPr di kantornya. Kasus Munir akhirnya mengambang karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang berjanji akan menyelesaikan the test of history ini, menelantarkan laporan tim pencari fakta kasus Munir yang akhirnya raib. Kini, di bawah Presiden Joko Widodo, kasus itu pun masih telantar.