Selain mengakar di masyarakat, kaum ulama memiliki pengaruh yang besar di kalangan umatnya. Tapi, sepanjang sejarah RI, baru sekarang mereka memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan.
PADA masa-masa yang gawat atau terlalu gawat- misalnya ketika sendi-sendi negara goyah karena ancaman disintegrasi ataupun krisis ekonomi-pemunculan kaum ulama menjadi lebih bisa diterima, kendati pada waktu bersamaan tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan juga tokoh militer masih mendapat dukungan rakyat. Masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian barangkali merasa menemukan kekuatan atau kelebihan tertentu pada pemuka agama tersebut, sesuatu yang tidak mereka temukan pada tokoh-tokoh di luar agama.
Masih segar dalam ingatan kita, betapa para pemuka agama yang disebut kiai dari Langitan menjadi begitu terkenal, khususnya ketika terungkap bahwa petunjuk dan petuah mereka akan sangat menentukan sikap K.H. Abdurrahman Wahid dalam memutuskan apakah dia bersedia menjadi presiden atau tidak. Sementara itu, di sisi lain, beberapa tokoh yang mengatasnamakan agama-yang tak perlu disebut namanya-juga tampak semakin vokal menyuarakan apa yang mereka sebut sebagai aspirasi dan kepentingan kaumnya. Patut disyukuri bahwa dalam dua tahun terakhir yang sedemikian galau, sebagian masyarakat masih cukup kuat nalarnya hingga tetap dapat membedakan petunjuk pemuka agama dan arahan para tokoh yang mengatasnamakan agama.
Kini, ketika Gus Dur yang pemimpin NU terpilih sebagai presiden Republik Indonesia dan orang-orang pertama yang datang memberi selamat kepadanya di Istana Merdeka adalah para kiai dan pemuka agama, hal yang tak biasa itu telah begitu saja menyodorkan aspek lain dalam perpolitikan bangsa.... Untuk pertama kali orang nomor satu di Indonesia datang dari kalangan pesantren, dan untuk pertama kali pula para pemuka agama memiliki akses langsung ke pusat pengambil keputusan di negeri ini.
Hal tersebut memang belum pernah terjadi. Dan hal itu terasa unik kalau dibandingkan dengan masa Soeharto, ketika para teknokrat dan elite militerlah yang memonopoli akses langsung ke Istana. Namun, patut dicatat pula akses para pemuka agama serentak menjadi hal yang biasa-biasa saja, tak lain karena para kiai waskita itu tidak memiliki ambisi apa pun kecuali kemaslahatan umat secara keseluruhan. Bahkan, interaksi para kiai dengan Gus Dur yang begitu intens sekalipun tampaknya seperti tidak dibebani muatan politik apa pun juga. Dalam perspektif ini, pemunculan para kiai sepintas membawa warna tertentu, tapi tak terlihat memengaruhi proses pengambilan keputusan di pusat kekuasaan yang baru itu. Bahkan, sepanjang dua bulan masa pemerintahan Gus Dur, kalaupun ada yang berperan atau memanfaatkan akses, mereka justru berasal dari luar kelompok pemuka agama.
Dalam kata lain, posisi Gus Dur sebagai presiden tidak identik dengan kehadiran kaum rohaniwan di pusat kekuasaan. Kecenderungan ke arah itu pun tak bisa ditemukan dalam sejarah Nusantara karena teokrasi tak pernah menjejakkan kakinya di sini. Kebangkitan kaum paderi di Minangkabau-dipimpin Imam Bonjol-juga bukanlah untuk menegakkan teokrasi, tapi demi membina masyarakat yang berakhlak dan bermoral tinggi.
Memasuki milenium ketiga kini, persoalan yang kita hadapi tak jauh berbeda: bagaimana mewujudkan masyarakat (madani) yang berakhlak dan bermoral tinggi. Untuk itu, para kiai waskita yang dekat dengan Gus Dur tentu memiliki formulasi sekaligus terapi. Mereka tiap kali membimbing umatnya ke jalan yang benar, tapi pada saat yang sama mereka juga yakin bahwa umatnya itu berpotensi memperbaiki diri sendiri. Sebagai agamawan, para kiai ini demikian sempurna (baca hal:....) dengan keteladanan yang sungguh mulia, sehingga akal sehat kita tetap sulit mencerna bagaimana pada kurun waktu yang sama masih banyak tokoh yang mengatasnamakan agama, dan dengan berbuat demikian sekaligus menyengsarakan umatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini