Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MILITER Myanmar adalah kanker di jantung Asia Tenggara. Para jenderal negeri itu sudah lama merongrong perdamaian di kawasan ini. Setelah kudeta yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 1 Februari lalu, mereka dengan brutal membunuh rakyat Negeri Sungai Irrawaddy itu. Para aktivis demokrasi dibekap, disiksa, dan dibunuh. Myanmar praktis telah menjadi negara teror.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedikitnya 739 orang terbunuh, termasuk anak-anak. Sebanyak 3.331 orang masuk penjara, juga Aung San Suu Kyi dan para pemimpin partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi. Ribuan orang kini lari ke India dan Thailand untuk mencari selamat. Bila keadaan ini terus berlarut, bisa diperkirakan terjadi gelombang pengungsian baru dari Myanmar setelah Rohingya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negara-negara di kawasan ini lebih banyak diam atau paling banter meminta secara halus agar kekerasan dihentikan. Itu terjadi lagi ketika para pemimpin negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berkumpul di Jakarta pada 24 April lalu. Pertemuan itu menghasilkan lima konsensus tanpa ikatan apalagi strategi penerapan. Bagi Jenderal Min, konsensus ASEAN dapat ditanggapi dengan peribahasa “anjing menggonggong, kafilah berlalu”.
Salah satu konsensus adalah meminta semua pihak menghentikan kekerasan di Myanmar. Permintaan ini lebih terdengar sebagai basa-basi karena ASEAN tak punya kewenangan mencampuri urusan dalam negeri negara anggotanya. Asosiasi itu juga tak punya instrumen semacam pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dapat melindungi penduduk sipil di wilayah konflik. ASEAN juga tak dapat membawa kelompok sipil bersenjata yang tersebar di berbagai wilayah Myanmar ke meja perundingan. Militer Myanmar butuh puluhan tahun untuk mengajak mereka meneken perjanjian gencatan senjata.
Konsensus lain yang meminta semua pihak berdialog untuk mencapai perdamaian cuma pepesan kosong. Kita tahu perundingan tak bisa dilakukan tanpa pembebasan tahanan politik, aktor penting yang dapat mengakhiri kekerasan. Ihwal pembebasan itu tak termaktub dalam konsensus.
Permintaan ASEAN agar ada utusan khusus yang akan menjadi mediator dialog diperkirakan tak efektif. Mediator terbaik dalam suatu konflik adalah mereka yang diterima kedua pihak, bukan sesuatu yang didesakkan dari luar. Asosiasi tak bisa ujug-ujug mengirim seseorang dan berharap dia bisa menengahi konflik.
Dengan kata lain, konsensus para pemimpin ASEAN tak akan mengubah banyak hal di Myanmar. ASEAN bukanlah Uni Eropa atau Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) yang punya pengaruh terhadap negara anggotanya. Sejarah juga menunjukkan bahwa ASEAN tak pernah dapat membantu menyelesaikan masalah gawat lain di negara anggota, seperti kudeta di Thailand, pembunuhan atas nama perang melawan narkotik di Filipina, dan pemberangusan oposisi di Kamboja. Jadi jangan terlalu berharap bahwa ASEAN kini bisa menyelesaikan masalah Myanmar. Setelah konsensus ASEAN diteken, para pemimpin negara anggota kembali pulang dan rakyat Myanmar akan kembali menghadapi aksi brutal militer.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo