Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UCAPAN Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyebut operasi tangkap tangan perkara rasuah merusak citra negara, membahayakan pemberantasan korupsi. Pernyataan itu tak hanya sesat pikir, tapi juga mencerminkan rendahnya komitmen pejabat negara dalam menumpas korupsi secara menyeluruh.
Membandingkan operasi tangkap tangan alias OTT dengan digitalisasi pengadaan barang dan jasa, dan menyimpulkan digitalisasi lebih baik daripada operasi tangkap tangan, sungguh keliru. Keduanya tak bisa diperbandingkan, sebab berbeda. Operasi tangkap tangan adalah upaya penindakan, sedangkan digitalisasi merupakan bagian dari pencegahan. Dalam memberantas korupsi, dua strategi tersebut harus dijalankan bersamaan agar mangkus. Sebaik apa pun pencegahan, jika tidak dibarengi dengan penindakan, tak akan efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Operasi tangkap tangan adalah senjata pemungkas pemberantasan korupsi, karena bisa menguak dengan telak perkara yang tersembunyi. Bayangkan jika tak ada penangkapan: kasus tidak akan terungkap dan koruptor tidur dengan lelap. Padahal, setiap kali korupsi terjadi, rakyatlah korbannya. Hak publik untuk mendapatkan pendidikan yang baik, kesehatan yang memadai, hingga infrastruktur yang layak, dirampas oleh para maling uang rakyat. Karena tak ditindak, koruptor akan kian berani mencuri lebih banyak lagi.
Baca juga: Luhut Kembali Singgung OTT KPK: Tidak Bagus buat Negeri Ini, Jelek Banget Gitu
Operasi tangkap tangan juga sebenarnya ikhtiar untuk mencegah rangkaian kejahatan terjadi. Yang dibongkar dari operasi tangkap tangan biasanya suap, misalnya untuk melicinkan proyek. Ketika suatu pihak mendapatkan proyek berkat suap, nilai proyek tersebut digelembungkan atau kuantitas dan kualitas barangnya dikurangi jika nilai proyeknya tetap, setidaknya untuk menutup duit yang dikeluarkan buat menyogok. Belum lagi jika si penyuap mengambil margin yang keterlaluan. Itulah kejahatan berikutnya: korupsi anggaran. Dengan adanya operasi tangkap tangan, anggaran negara tak jadi dikorupsi.
Yang tak kalah penting, operasi tangkap tangan turut meningkatkan partisipasi publik dalam memerangi korupsi. Kita tahu, sejumlah penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berawal dari laporan masyarakat. Sungguh disesalkan jika informasi dari masyarakat itu tidak ditindaklanjuti dengan penangkapan, hanya demi menjaga citra negara, meski citra itu palsu. Toh, korupsi tetap terjadi walaupun tak terbongkar.
Karena itu, Luhut salah besar jika menganggap citra Indonesia tercoreng oleh operasi tangkap tangan. Justru persepsi buruk tersebut disebabkan oleh maraknya korupsi itu sendiri, khususnya praktik korupsi politik, pelayanan publik, dan peradilan—seperti temuan Transparency International Indonesia. Karena itu, obatnya bukan penangkapan yang harus dikurangi seperti pernyataan Luhut, melainkan pembenahan pada pelayanan publik, misalnya.
Pernyataan Luhut, yang juga mengatakan agar “KPK jangan sedikit-sedikit tangkap”, menyiratkan ketakutan para pejabat dan politikus kita terbongkar kedoknya. Jika betul-betul bersih, mereka seharusnya tak perlu takut digari karena kedapatan korupsi. Sampai di sini, kita semakin paham kenapa KPK dilemahkan.
Baca juga: Tanggapi Pernyataan Luhut, Eks Penyidik KPK Minta Pejabat Pahami Esensi OTT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo