Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seni memang dan akan terus bersifat politik.
Seni, baik dalam bentuk lukisan, grafis, video, maupun media digital, tetap menjadi alat yang ampuh untuk menyuarakan keresahan masyarakat.
Kebebasan berekspresi di Indonesia sering tersandera oleh kebijakan yang ambigu.
DALAM beberapa pekan terakhir, publik diramaikan oleh kabar pembatalan pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional. Kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, menyebutkan ada karya yang keluar dari tema serta dianggap terlalu “vulgar” karena mengkritik figur pejabat Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam penjelasannya, Suwarno menyatakan beberapa lukisan kehilangan metafora dan terdengar seperti makian. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kritik melalui seni, khususnya kepada pejabat, dilarang? Sebelum itu, ada baiknya kita memahami apa itu aktivisme seni sebagai bentuk ekspresi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivisme seni merupakan wujud ekspresi seniman dalam menyalurkan keresahan terhadap isu sosial dan politik. Seni memang dan akan terus bersifat politik. Ia juga mencerminkan pandangan subyektif penciptanya serta sering bersifat provokatif untuk memicu diskusi dan mendorong perubahan.
Dalam sejarahnya, aktivisme seni muncul sebagai reaksi terhadap ketidakadilan. Salah satu contohnya adalah lukisan La Liberté guidant le peuple karya Eugène Delacroix yang menggambarkan semangat Revolusi Juli 1830 di Prancis. Lukisan ini terinspirasi oleh kemarahan masyarakat atas otoritarianisme Raja Charles X hingga akhirnya mereka berhasil menggulingkannya dalam pemberontakan selama tiga hari. Hingga kini, lukisan itu menjadi simbol ikonik keberanian rakyat dalam memperjuangkan haknya, tidak hanya di Prancis, tapi juga di negara-negara lain.
Pada era modern, aktivisme seni lebih mudah diakses berkat teknologi dan media sosial. Karya seni kini mampu menjangkau audiens yang lebih luas dengan waktu yang singkat. Fenomena ini tertuang pada ilustrasi peringatan darurat yang viral beberapa waktu lalu sehingga memicu gelombang protes di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa seni, baik dalam bentuk lukisan, grafis, video, maupun media digital, tetap menjadi alat yang ampuh untuk menyuarakan keresahan masyarakat.
Lukisan Yos Suprapto adalah satu dari sekian banyak contoh seni sebagai kritik politik. Penulis berpikir hal ini merupakan bentuk keresahan seorang warga negara kepada pemimpinnya, yang seharusnya lazim diutarakan di negara demokratis. Bahkan cakupan lukisan-lukisan Yos sejatinya termasuk kecil karena dipamerkan di satu galeri saja. Sayangnya, ekspresi-ekspresi seperti ini masih kerap dibungkam di Indonesia, tidak peduli cakupannya luas atau sempit.
Buruknya Kebebasan Berekspresi di Indonesia
Menanggapi polemik lukisan Yos Suprapto, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa pemerintah mendukung kebebasan berekspresi, tapi “tidak boleh melampaui batas kebebasan orang lain”. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana batasan itu didefinisikan? Apakah sebuah lukisan benar-benar dapat mengganggu kebebasan orang lain?
John Stuart Mill, filsuf ternama abad ke-19, dalam On Liberty (1859) berpendapat bahwa kebebasan berekspresi hanya boleh dibatasi jika ada niat atau risiko nyata untuk membahayakan orang lain. Contohnya ujaran kebencian, ancaman kekerasan, atau pelecehan. Kritik, bahkan makian sekalipun, termasuk kebebasan berekspresi yang dilindungi hukum.
Perlu digarisbawahi bahwa memang opini mengandung makian atau kata-kata kasar tidak sepatutnya diutarakan, tapi tidak selamanya opini semacam ini melanggar hak orang lain. Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 juga menjamin hak setiap orang menyampaikan pendapat melalui berbagai media. Maka, karya seni seperti lukisan Yos Suprapto yang interpretatif dan tidak mengandung ancaman seharusnya dihormati sebagai bagian dari hak berekspresi.
Namun realitas yang ada justru berbeda. Kebebasan berekspresi di Indonesia kerap tersandera oleh kebijakan yang ambigu, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meski awalnya bertujuan mengatur penyebaran hoaks, ancaman terhadap orang lain, dan pelecehan verbal, UU ITE kerap digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau siapa pun yang memiliki kekuasaan.
Salah satu kasus yang mencolok adalah yang dialami Daniel Frits Maurits Tangkilisan, warga Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, yang pernah ditahan karena mengkritik tambak udang ilegal yang merusak ekosistem. Walaupun kini ia telah bebas, kasus ini mencerminkan bahwa UU ITE memang rawan disalahgunakan dan mengancam kebebasan berekspresi kita.
Kritik terhadap pemerintah, termasuk dalam bentuk seni, merupakan bagian tak terpisahkan dari dinamika demokrasi yang sehat. Dalam sejarah, seni sering menjadi alat untuk menyuarakan kebenaran dan menyentil kekuasaan. Ketika pejabat negara bertindak sewenang-wenang, seni hadir untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya keadilan dan transparansi.
Pembatasan terhadap seni, seperti yang dialami Yos Suprapto, tidak hanya mencederai kebebasan berekspresi, tapi juga meredupkan fungsi seni sebagai cermin kehidupan. Ketakutan mengkritik pemimpin menciptakan suasana represif yang bertentangan dengan semangat demokrasi. Indonesia sebagai negara hukum seharusnya mampu menjunjung tinggi hak rakyat untuk berekspresi. Jika ekspresi seni terus-menerus dibungkam, wajar jika muncul pertanyaan: apakah negara ini mulai berupaya mematikan demokrasi? ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo