Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Alangkah Lucunya Pendidikan Negeri Ini

Kementerian Pendidikan Tinggi menghapus tunjangan kinerja dosen pegawai negeri. Negara makin tak menghargai pendidikan.

9 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Pendidikan Tinggi menghapus tunjangan kinerja dan profesi dosen ASN.

  • Alasannya, anggaran tak teralokasikan akibat pemisahan Kementerian Pendidikan Dasar-Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi.

  • Pegawai kementerian lain yang lembaganya dipecah tetap menerima tunjangan kinerja.

PRABOWO Subianto makin amatiran mengurus negara. Setelah mengabaikan urusan pendidikan dasar karena mementingkan program makan bergizi gratis, kini pemerintahannya menghentikan pemberian tunjangan kinerja dan tunjangan profesi dosen aparatur sipil negara. Alasan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sungguh ajaib: perubahan nomenklatur kementerian membuat anggaran tunjangan dosen tak teralokasikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintahan Prabowo memisahkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi yang sebelumnya menyatu di bawah Presiden Joko Widodo. Pemisahan ini membuat Kementerian Keuangan tak mengabulkan pengajuan alokasi anggaran tunjangan kinerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan tak masuk akal itu dikemukakan oleh pejabat Kementerian Pendidikan Tinggi ketika merespons demonstrasi para dosen yang memprotes penghapusan dana tunjangan tersebut. Para dosen memprotes karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sudah menetapkan aturan pemberian tunjangan kinerja pada 2020. Pemerintah menunggak pencairan dana tunjangan tersebut sejak 2018.

Bahkan, pada awal pemerintahan Prabowo, Menteri Pendidikan Tinggi membuat aturan pencairan tunjangan sesuai dengan jabatan pada awal 2025. Janji menteri itu kini menjadi palsu karena anggarannya ternyata tak tersedia.

Para pejabat Kementerian Pendidikan Tinggi perlu berlatih mencari alasan yang masuk akal. Argumen penghapusan tunjangan dosen ASN karena pemisahan dan nomenklatur baru, gugur karena pegawai kementerian lain, yang lembaganya dibelah menjadi dua ataupun tiga, tetap mendapat tunjangan kinerja.

Para pegawai Kementerian Hukum dan dan Kementerian Hak Asasi Manusia, yang dulu menyatu, tetap mendapat tunjangan kinerja. Bahkan tunjangan kinerja pegawai Badan Intelijen Negara naik 150 persen pada Desember tahun lalu. Sementara itu, tunjangan kinerja pegawai Kementerian Keuangan naik hingga 300 persen sejak September 2024.

Para dosen curiga penghapusan tunjangan kinerja itu lantaran anggarannya habis atau dialihkan untuk program lain yang menjadi prioritas Prabowo. Misalnya, program makan bergizi gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil. Anggaran program ini Rp 800 miliar sehari. Pemerintah mencoba menambalnya dengan menaikkan pajak pertambahan nilai, tapi mendapat penolakan publik.

Apa pun alasannya, dipakai untuk apa pun dana tunjangan tersebut, penghapusan itu menunjukkan cara pandang pemerintahan Prabowo terhadap pendidikan. Dosen seperti guru dalam pendidikan dasar. Tugas mereka membekali mahasiswa untuk mendorong lahirnya pengetahuan dan inovasi baru. Jika para guru dan dosen tak tenang mengajar karena kekurangan biaya hidup, pengajaran dan pendidikan akan terganggu.

Prabowo agaknya tak mementingkan sektor ini sebagai investasi masa depan menjadikan Indonesia “macan Asia” seperti slogannya. Sama seperti Jokowi, Prabowo gandrung pada program ambisius yang artifisial: makan bergizi gratis alih-alih menghadirkan guru hingga pelosok, penghiliran tambang alih-alih penguatan industri padat karya, ataupun swasembada pangan alih-alih melakukan intensifikasi pertanian. Semua program ambisius itu membutuhkan anggaran besar, merusak lingkungan, serta memicu konflik sosial.

Maka, jika untuk sektor paling penting ini saja Prabowo abai, apalagi untuk sektor-sektor lain. Namun, barangkali, itulah bedanya pikiran Prabowo dan para menterinya dengan pikiran publik. Apa yang menurut logika umum bagus, pemerintahan Prabowo menganggapnya buruk. Sebaliknya, yang kurang penting—seperti program makan bergizi gratis dan pengampunan koruptor—menjadi prioritas.

Alangkah lucunya pendidikan di negeri ini. Aktor Deddy Mizwar membuat film satire Alangkah Lucunya (Negeri Ini) pada 2010 untuk menggambarkan dunia jungkir balik: baik menjadi buruk, buruk dianggap baik. Di film itu orang bangga mendapat uang dari hasil mencopet. Suatu saat, seperti diramal Prabowo, kita mungkin akan bangga dengan generasi yang kurang pendidikan, plonga-plongo, dan tak merasa bersalah mencapai tujuan dengan melanggar etika.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus