Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Main Agama Pilkada Jakarta

17 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIRUK-pikuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta dalam enam bulan terakhir melegakan sekaligus mencemaskan. Melegakan karena keriuhan dan centang-perenang kampanye tak sampai berujung pada tindak kekerasan fisik atau huru-hara yang menyulut kerusuhan. Dalam hal ini, demokrasi di Jakarta patut dipuji. Sebaliknya, pilkada mencemaskan karena jargon-jargon agama dengan salah kaprah telah dipakai untuk memikat pemilih.

Pada awalnya adalah pidato gubernur inkumben Basuki Tjahaja Purnama pada September tahun lalu di Kepulauan Seribu. Berbincang dengan penduduk dalam sebuah program budi daya ikan, mengutip ayat Al-Quran, ia mengkritik kaum puritan yang menggunakan sentimen agama untuk menjatuhkan lawan politik. Berulang kali majalah ini menyatakan bahwa pidato Ahok itu bukanlah penghinaan terhadap agama. Tapi harus kita akui bahwa Ahok telah memantikkan api di atas daun kering.

Demonstrasi besar-besar menuntut pengadilan Ahok berkembang menjadi tuntutan menegakkan syariat Islam dan mengganti dasar negara. Para demonstran seolah-olah lupa bahwa para pendiri Republik telah sepakat memilih Pancasila sebagai landasan bangsa karena menyadari bahwa Indonesia merupakan negeri yang majemuk.

Sulit disangkal bahwa Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono, kandidat yang kalah dalam putaran pertama, telah mengambil manfaat atas polarisasi tersebut. Tingkat keterpilihan mereka melonjak setelah insiden Pulau Seribu. Aliansi yang mereka bangun dengan ulama dan politikus Islam menegaskan apa yang tidak dimiliki Ahok: Islam dan simbol-simbol keislaman. Tak cukup mengkritik model pembangunan Ahok yang dianggap tak berpihak pada orang kecil, keduanya larut dalam genderang politisasi agama.

Di pihak lain, analisis yang menyebut Ahok mencari efek elektoral atas pidato Pulau Seribu juga tak bisa sepenuhnya diabaikan. Lewat pidato itu, juga perlawanan masif dari kaum konservatif setelahnya, Ahok mendapat simpati dari kelompok moderat dan minoritas nonmuslim. Segregasi itu terpampang jelas: Agus dan Anies disokong kelompok Islam konservatif, Ahok disokong kelompok Islam moderat, nonmuslim, plus komunitas Tionghoa.

Suasana kaotis pun terjadi. Perang kata, poster, dan spanduk terjadi di media sosial dan jalan raya. Hoax dan berita bohong berhamburan. Setelah pilkada putaran pertama, ketika anjuran tidak mensalati jenazah muslim yang mendukung Ahok beredar, para pendukung Basuki segera mengkapitalisasinya dengan meruapkan spirit antisektarianisme. Anies, yang semula terkesan membiarkan anjuran itu-mungkin dengan maksud untuk menambah pemilih-belakangan menyangkal ujaran tersebut datang dari pihaknya, terutama ketika kekesalan masyarakat pada anjuran itu semakin memuncak.

Kini, pada pemilihan putaran kedua, kedua kandidat memperebutkan suara pemilih Agus dan sebagian masyarakat yang belum menggunakan hak pilih pada putaran pertama. Bersaing dengan selisih suara tipis, demikian prediksi sejumlah lembaga riset, mereka berebut pemilih Islam- kelompok yang mereka yakini menjadi penentu kemenangan.

Seperti kehabisan akal, Ahok ikut-ikutan menguarkan simbol keislaman lewat Djarot Saiful Hidayat, wakilnya. Seraya mempertahankan suara kaum moderat, pasangan Ahok-Djarot tergoda untuk menambah suara dari kelompok konservatif.

Seperti pasangan Anies-Sandi, pada kertas suara putaran kedua, Djarot akan berpeci-simbol "kesalehan" yang salah kaprah. Dalam pelbagai kampanye, pemilih dibujuk untuk memilih Djarot karena sudah naik haji, sedangkan Anies Baswedan belum. Pertarungan gagasan dan adu program menjadi lindap oleh gegap-gempita janji-janji berbalut keagamaan.

Pendapat yang pesimistis yakin bahwa polarisasi agama tak akan sirna setelah pilkada usai. Siapa pun yang menang nanti akan menyadari bahwa isu agama telah mengantarkan mereka ke tampuk kekuasaan. Yang satu sebagai mayoritas, yang lain minoritas yang memotretkan diri sebagai korban.

Keadaan bertambah suram karena posisi pilkada DKI dipercaya merupakan babak awal menuju pemilihan presiden pada 2019. Dengan kata lain, politisasi agama tidak akan berhenti setelah hari pencoblosan.

Gubernur terpilih seyogianya menyadari bahwa mereka tidak akan bisa menjalankan program pembangunan dalam masyarakat yang terbelah. Politisasi agama harus disetop. Masyarakat harus diajak rasional dalam menilai kandidat kepala daerah dan kepala negara. Indonesia tak boleh kalah oleh politisasi agama dalam bentuk apa pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus