Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan terhadap Novel Baswedan bisa disebut kejahatan di atas kejahatan. Penyemprotan air keras ke wajah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ini memamerkan betapa kejinya penebar teror. Bila korupsi merupakan kejahatan luar biasa, teror terhadap Novel-diduga berkaitan dengan kasus yang ia tangani-pun harus dilihat sebagai kejahatan yang luar biasa.
Teror itu menimpa Novel ketika ia sedang memimpin pengusutan kasus megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik yang diduga melibatkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua DPR Setya Novanto, yang perannya diungkap dalam persidangan kasus itu, bahkan sudah dicegah ke luar negeri. Sebelumnya, Novel juga memprotes kebijakan pimpinan KPK yang memperbolehkan polisi berpangkat tinggi masuk lembaga ini.
Tidak hanya sekali Novel menerima teror. Ketika mengusut dugaan suap di Mahkamah Agung, ia ditabrak mobil dari belakang. Sewaktu membongkar korupsi simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Novel malah dijadikan tersangka penganiayaan yang tak pernah ia lakukan.
Sulit dipercaya bila semua itu terjadi kebetulan belaka. Novel telah menjadi "ikon" pemberantasan korupsi. Serangan terhadap dia seharusnya dibaca sebagai serangan balik barisan koruptor. Pimpinan KPK semestinya melindungi penyidik senior yang telah membongkar banyak kasus korupsi kakap ini. Pengobatan terhadap Novel, yang dirawat di Singapura, seharusnya pula ditanggung penuh oleh negara.
Kewajiban pemerintah yang tak kalah penting tentu saja memburu penyerang Novel. Motif penyerangan harus dibongkar. Kelak dalang dan pelaku mesti dihukum berat. Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Kepala Kepolisian RI segera mencari penyerang Novel. Tapi itu saja belum cukup. Jokowi seharusnya membentuk tim pencari fakta independen.
Teror sejenis yang diusut polisi selama ini "menguap" tanpa seorang pun dinyatakan bersalah. Polisi, misalnya, tak kunjung mengungkap kasus penyerangan atas aktivis antikorupsi Tama S. Langkun, kasus teror bom molotov di kantor Tempo, serta teror terhadap Novel dan penyidik KPK lain sebelumnya. Tim independen juga dibutuhkan demi menghindari benturan kepentingan. Selama ini, hubungan KPK dengan Polri sering panas-dingin, terutama ketika komisi antikorupsi mengusut korupsi yang melibatkan petinggi polisi.
Betapapun kejamnya teror terhadap Novel, itu seharusnya tidak membuat jeri aparat pemberantas korupsi. Teror harus dilawan agar tak berulang atau membesar. Di kalangan internal KPK, serangan Novel pun seharusnya dijadikan momentum untuk meneguhkan tekad dan merapatkan barisan. Tentu saja, sebagai antisipasi, KPK harus lebih ketat menerapkan prosedur pengamanan penyidiknya.
Perang melawan korupsi sejatinya bukan hanya tanggung jawab KPK. Undang-undang memang menjadikan KPK sebagai ujung tombak pembasmian korupsi. Reputasi KPK pun lebih baik ketimbang lembaga penegak hukum lain. Namun DPR sering mengancam akan mengebiri wewenang komisi antikorupsi. Ancaman ini selalu menguat ketika KPK mengusut korupsi yang melibatkan pengurus partai atau anggota legislatif.
Presiden Joko Widodo mesti menunjukkan komitmen yang lebih konkret terhadap pemberantasan korupsi. Jokowi seharusnya sigap menyatakan berada di belakang lembaga antikorupsi dengan membongkar tuntas teror terhadap Novel. Jangan biarkan KPK kalah menghadapi barisan koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo