Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berangsur-angsur, di kota-kota dunia, malam disisihkan.
Dari radiometer satelit NASA, dari sebuah alat yang khusus dibuat untuk mengukur terangnya cahaya malam hari, disimpulkan: antara tahun 2012 sampai dengan 2016, wilayah di luar rumah yang disinari penerang buatan tumbuh 2%. Para ilmuwan pun mengatakan, hilangnya malam akan menimbulkan dampak negatif bagi "flora, fauna, dan kehidupan sehat manusia". BBC mengutip jurnal terkenal Nature: penerangan buatan membahayakan persilangan tanaman, dengan mengurangi kegiatatan persilangan oleh serangga-serangga malam hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dampak lain yang merisaukan: pencahayaan buatan yang meluas tentu saja menambah kebutuhan energi untuk listrik, dan buruk sekali jika batubara, pembawa pencemaran yang serius, yang jadi sumbernya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi manusia perlu menciptakan siang yang artifisial, seperti lapangan golf di Kesultanan Brunai yang terus menerus terang benderang agar para pangeran bisa bermain setiap saat, juga ketika manusia biasa sedang lelap…
Malam, pada akhirnya, memang bukan cuma sebuah pergantian waktu. Malam sebuah fenomena kebudayaan. Ia makna yang berubah.
Di Eropa, di mana iklim dan musim menyebabkan matahari dianggap begitu penting, sejarah malam dimulai dengan kecemasan. Dalam sajak "Historia de la Noche" Jorge Luis Borges menulis:
Pada mulanya adalah buta dan mimpi,
dan duri yang mengoyak telapak
dan rasa takut
kepada ajak…
Memasuki abad ke-17, malam bukan lagi disambut dengan ketakutan, dengan temor de los lobos; rasa takut kepada ajak tak ada lagi; serigala, jin dan peri jahat sudah diusir. Sang Ratu Malam kalah. Sebagaimana digambarkan Mozart dalam operanya, Die Zauberflöte, (Serunai Sihir), Ratu ini, yang ingin merebut "sirkel matahari", telah dikutuk jadi malam yang kekal, dan Sarasto, pendeta Matahari, menang dengan penuh kearifan. Dapat dikatakan opera yang digubah di tahun 1791 ini sebuah ekspresi Zaman Pencerahan Eropa, ketika "cerah" - lambang akal budi - menistakan dan mengalahkan "gelap/malam", kiasan "kebodohan".
Dan Eropa memasuki abad ke-17, dan malam jadi waktu yang tak menakutkan. Cahaya bikinan mulai berperan. Rumah-rumah tak lagi tersungkup gelap sekian jam setelah matahari tenggelam; orang tak lagi hanya berdoa, bersetubuh, atau tidur. Lampu membuat waktu senggang berubah: malam adalah saat bermain kartu, membaca, menulis surat, saling menatap...
Juga di luar rumah. Lentera jalan yang di abad ke-9 sudah dikenal di Cordova, di kerajaan Islam Spanyol, lima abad kemudian jadi corak kota London. Pada 1417, walikota memerintahkan agar lentera digantung di luar selama malam musim dingin. Tak diperlukan lagi anak-anak yang disewa mengantar orang ke tujuannya dalam gelap. Di awal abad ke-16, Paris mengikuti pola itu - dan kemudian, seperti kota-kota lain, menggunakan lampu gas buat menerangi jalan, sebelum listrik ditemukan.
Kota-kota Eropa yang menjinakkan malam membentuk lingkungan hidup yang berbeda. Di tahun 1500-an, Paris malam hari adalah Paris yang membisu - Paris yang dicekam jam-malam. Sejak 1667, sejak Raja Louis XIV memasang lampu di semua jalanan, malam jadi koloni orang kota. Colonization of the night, kata Craig Koslofsky, yang dalam Evening's Empire menulis sejarah malam di masa awal Eropa modern. Setelah matahari tenggelam, seni, kegembiraan, pertukaran ide dan lembur di laboratoria jadi kegiatan yang lumrah - dan peradaban terjadi. Malam bahkan jadi bagian kapitalisme.
Perubahan itu memangkas satu unsur penting agama. Pernah, ketika Protestantisme baru berkembang dan ditindas penguasa Katolik, orang memakai gelap malam untuk beribadah dengan sembunyi-sembunyi. Dalam kehidupan religius, kecemasan bertaut dengan meditasi dalam gelap. Tapi sejak manusia sanggup memproduksi terang, malam kudus hanya muncul dalam nyanyian Natal. Ibadah jadi bagian bunyi brisik atau sebuah show tanpa kekudusan.
Ceritanya lain di negeri katulistiwa. Di Indonesia, sejarah malam berbeda: bukan cerita tentang dua belahan waktu yang dipisahkan celah, melainkan tentang kontinyuitas dan kontras. Bila di Paris baru di awal abad ke-18 ada pertunjukan seperti opera, yang diproduksi di malam hari, di Bali dan di Jawa sejak semula malam adalah bagian yang integral dari wayang kulit: di bawah blencong, muncul Arjuna dan Srikandi - bayangan - dari permainan cahaya dengan gelap.
Di sini, siang, senja, malam, dinihari, sambung menyambung, karena tak pernah ada suhu di bawah nol yang mengancam. Di pedalaman yang tanpa lampu, anak-anak bermain di bawah sinar bulan. Beta ada di malam, ada di siang, kata Pattirajawane dalam sajak Chairil Anwar - dan ini tak hanya berlaku untuk "yang dijaga datu-datu".
Di katulistiwa, mata kita menikmati tamasya bukan karena banyaknya cahaya - yang bisa menyilaukan - tapi karena kontras antara gelap dan terang. Siang tak perlu dibikin-bikin, malam tak perlu merepotkan.
Tapi seringkali, kita memisahkan kontinyuitas dari kontras dan sebaliknya, memisahkan kontras dari kontinyuitas - dan hanya mengerti malam yang utuh atau siang yang sepenuhnya terang.
Goenawan Mohamad