Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Krisis militer Iran-Amerika Serikat akibat pembunuhan Mayor Jenderal Qassem Soleimani oleh Amerika tak sampai berpuncak pada konflik militer terbuka karena kedua pihak menunjukkan keengganan untuk berperang. Namun konflik keduanya jauh dari selesai, terutama terkait dengan isu hukum dan ekses yang mengikutinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa jam setelah menembakkan puluhan rudal ke kamp militer Amerika di Irak pada 8 Januari lalu, Garda Revolusi Iran menembak jatuh pesawat sipil Ukraina yang menewaskan total 176 penumpang. Setelah beberapa hari mengingkarinya, pada 11 Januari, Iran mengaku telah menembak pesawat itu secara tidak sengaja karena mengira itu adalah rudal Amerika yang hendak membalas serangan Iran.
Pengakuan Iran tidak berarti membebaskan Negeri Mullah itu dari tanggung jawab. Ukraina menuntut ganti rugi dan permintaan maaf. Komunitas internasional pun menuntut investigasi menyeluruh yang independen dan transparan oleh penyelidik internasional. Hal ini, jika dikabulkan rezim Iran, akan berdampak politik yang luas pada pemerintahan dan terbongkarnya sistem komando militernya. Tampaknya Iran akan berkelit dengan merujuk pada preseden pada 1988 ketika Amerika menembak jatuh pesawat sipil Iran di Teluk yang menewaskan total 290 penumpang. Amerika menyatakan penembakan itu tidak disengaja. Masalah tersebut diselesaikan dengan kompensasi sebesar US$ 110 juta oleh Amerika bagi keluarga korban tanpa adanya penyelidikan internasional.
Pembunuhan Soleimani juga punya ekses lain dan berdampak pada debat hukum internasional. Beberapa jam setelah pembunuhan Soleimani, Presiden Donald Trump menyatakan ia telah "dihentikan". Pejabat Amerika lain berbicara mengenai "pembunuhan yang ditargetkan" (targeted killing). Namun Presiden Iran mengatakan kematian Soleimani adalah pembunuhan (assassination), yang pada intinya adalah pembunuhan bermotif politik. Pejabat Amerika menolak menyebut pembunuhan itu sebagai assassination. Ini tidak mengejutkan karena assassination telah menjadi hal yang ilegal di bawah hukum federal Amerika sejak 1981. Sebab, hukum Amerika tidak mendefinisikan assassination secara persis dan terdapat hukum-hukum lain yang digunakan pemerintahan Amerika untuk membenarkan tindakan mereka.
Inti dari argumen pemerintahan Trump adalah ancaman yang dihadirkan oleh Soleimani "segera" terjadi dan respons Amerika merupakan tindakan defensif. Kebutuhan kunci agar serangan dibenarkan secara hukum di bawah konstitusi Amerika adalah ancaman itu harus bersifat "segera". Namun pembunuhan yang ditargetkan di bawah hukum internasional hanya dibolehkan dalam keadaan yang sangat khusus, dan sebagian ahli hukum skeptis bahwa pembenaran Amerika atas serangan itu, yang disampaikan tanpa bukti ketika tulisan ini dibuat, tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut.
Pembelaan diri dicantumkan dalam Piagam PBB sebagai hak merespons terhadap serangan bersenjata yang aktual dan signifikan. Agnes Callamard, Pelapor Khusus PBB tentang Eksekusi Ekstrayudisial, mengatakan pembunuhan yang ditargetkan dibolehkan di bawah hukum internasional, tapi hanya dalam kondisi-kondisi yang sangat ketat. Argumen pembelaan diri hanya valid jika ada bukti serangan bersenjata "segera" dan itu harus sebanding dengan ancaman. Callamard berpendapat, hukum internasional tentang pembelaan diri itu penuh kontroversi dan sulit. Dalam setiap kasus ketika hukum itu dikutip, "Kita harus menuntut transparansi dan pertanggungjawaban." Selanjutnya, ia mengatakan, jika saja konflik bersenjata antara Amerika dan Iran sedang berlangsung, hukum-hukum perang akan berlaku dan karena itu, Soleimani merupakan sasaran yang dilegitimasi.
Namun, bagi kebanyakan ahli, bukti bagi konflik bersenjata di antara kedua negara jauh dari cukup dan tidak ada wewenang dari Kongres Amerika untuk berperang dengan Iran. Hina Shamsi, Direktur Proyek Keamanan Nasional pada Uni Kebebasan Sipil Amerika, mengatakan justifikasi pemerintahan Trump untuk membunuh Soleimani sejauh ini tidak meyakinkan. Keadaan-keadaan yang sangat terbatas ketika penggunaan kekuatan mungkin diizinkan, baik di bawah hukum domestik maupun internasional, jelas tidak terpenuhi.
Amerika membuat perbedaan besar antara pembunuhan teroris yang ditargetkan (mereka yang tidak bertindak atas nama negara) dan perwira dari pemerintahan asing. Namun, dalam pembunuhan Soleimani, menurut para pakar, perbedaan itu menjadi tidak jelas. Karen Amstrong, Direktur Center on National Security pada Fordham University Law School, mengatakan pemerintahan Trump menggunakan argumen "segera" dalam membunuh teroris. Namun kasus Soleimani sangat berbeda. "Anda tak dapat menyasar pejabat pemerintahan dan mengatakan ini bukan perang. Pemerintah telah melanggar ambang batas," kata dia.
Dengan demikian, pembunuhan Soleimani tidak hanya menimbulkan masalah bagi Iran, tapi juga bagi Amerika dan PBB. Konflik Iran-Amerika pun akan berlarut-larut serta mengganggu ekonomi, politik, dan keamanan internasional.