Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Industri penerbangan di Tanah Air mesti diperbaiki. Pasar yang diisi hanya dua grup maskapai membuat pasar itu tidak sehat. Perbaikan struktur pasar bisa dilakukan, antara lain, dengan mewujudkan pernyataan Presiden Joko Widodo untuk mengundang maskapai asing membuka rute domestik di Indonesia.
Keputusan pemerintah menurunkan tarif batas atas hingga 16 persen bagi penerbangan ekonomi yang menggunakan pesawat jet, serta menerapkan diskon harga avtur, terbukti tak ampuh menurunkan harga tiket pesawat. Pengguna jasa penerbangan selama enam bulan terakhir harus membayar tiket dengan harga tinggi. Penumpang di Tanah Air sampai perlu transit di luar negeri ketika terbang menuju wilayah lain di Indonesia demi mengejar harga tiket yang lebih murah. Itulah ironi penerbangan negeri ini. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyatakan duopoli maskapai ditengarai menjadi penyebab meroketnya harga tiket ini.
Praktik bisnis tak sehat ini bisa ditangkal dengan membuka keran bagi pemain baru. Selama ini, maskapai dari Malaysia, Air-Asia, memang telah melayani sejumlah rute domestik menggunakan bendera AirAsia Indonesia. Namun jumlahnya sangat terbatas. Pangsa pasar maskapai ini hanya satu persen pada tahun lalu. Itu jauh di bawah Grup Garuda (Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, dan NAM Air), yang menguasai 46 persen, dan Grup Lion (Batik Air, Lion Air, dan Wings Air), yang berjaya dengan 51 persen. Kehadiran pemain baru akan membuat maskapai berlomba-lomba dalam efisiensi.
Tarif yang terlalu murah memang tidak sehat bagi industri penerbangan. Selama ini, banyak maskapai penerbangan berbiaya murah disebut-sebut menunda pembelian suku cadang pesawat demi menghemat pengeluaran. Dari sisi regulasi, sejak 2016, tarif pesawat tidak dinaikkan. Industri penerbangan pun secara otonom menyesuaikan tarifnya. Langkah ini dimuluskan dengan hanya dua pemain di pasar.
Walhasil, kenaikan harga tiket bisa mencapai lebih dari dua kali lipat. Empat maskapai di bawah Garuda menaikkan harga antara 46 dan 149 persen: Garuda naik 46 persen, Citilink 64 persen, Sriwijaya Air 97 persen, dan NAM Air 149 persen pada kuartal pertama tahun ini. Sementara itu, tarif Lion Air pun sudah jauh meninggalkan bendera maskapai berbiaya murah. Tingginya pinjaman dan penghentian operasi Boeing 737 Max 8—salah satunya jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, tahun lalu—berdampak pada keuangan Grup Lion. Pada Garuda, pembelian pesawat Bombar-dier yang mahal dan disebut-disebut bermasalah ditengarai menjadi penyebab. Pertanyaannya: mengapa konsumen harus menanggung keputusan manajemen yang ambisius?
Pemerintah memiliki sejumlah rencana setelah penurunan tarif batas atas oleh Kementerian Perhubungan tak mempan. Di antaranya meninjau ulang harga bahan bakar avtur, mendorong negosiasi ulang tarif sewa pesawat, serta membuka peluang adanya insentif fiskal bagi maskapai, seperti potongan pajak pertambahan nilai. Tapi, selama bisnis ini hanya dikangkangi dua grup itu, tarif pesawat akan tetap membubung.
Karena itu, pembukaan keran bagi masuknya pemain lain perlu dilakukan. Hadirnya pemain asing selayaknya dimudahkan. Langkah ini akan membuat maskapai lokal memperbaiki struktur bisnisnya. Kelak, penguasa pasar semestinya adalah maskapai dengan pengelolaan yang efisien serta mampu meningkatkan standar pelayanan bagi penumpang. Aturan tentang tarif batas atas pun tak lagi diperlukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo