Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Akselerasi Pengakuan Hutan Adat

Didik Suharjito, Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengikuti rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu 15/5/2019

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah kemandekan pengakuan dan penetapan legalitas hutan adat, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2019 memberikan darah baru, spirit baru, dan harapan baru bagi geliat masyarakat adat soal hutan adatnya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 telah menetapkan perubahan status hutan adat dari semula sebagai bagian dari hutan negara, sebagaimana diatur Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, menjadi bagian dari hutan hak.

Sejak putusan MK itu, progres pengakuan hutan adat sangat rendah, baik jumlah kelompok masyarakat adat maupun luas hutan adatnya. Sampai akhir Mei 2019, hutan adat yang ditetapkan sekitar 22 ribu hektare dengan 49 surat keputusan. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Tempo edisi 27 Mei-2 Juni 2019 menyebutkan Peraturan 21 itu sebagai terobosan pengakuan hutan adat.

Ada beberapa catatan atas peraturan itu yang akan diulas di sini.

Pertama, peraturan itu secara tegas membedakan status hutan menjadi tiga: hutan negara, hutan adat, dan hutan hak. Dalam putusan MK, status hutan hanya dua: hutan negara dan hutan hak karena MK berangkat dari Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang menyediakan dua kategori, yaitu hutan negara dan hutan hak. Maka status hutan adat dalam putusan tersebut dipindahkan dari kategori satu (hutan negara) ke kategori yang lain (hutan hak). Tidak ada kategori tersendiri, yaitu hutan adat. Kategori hutan hak ini sebenarnya rancu.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menyebutkan macam-macam hak atas tanah (pasal 16), yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang ditetapkan dengan undang-undang. Termasuk kategori hak adalah izin usaha pemanfaatan hasil hutan, yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, penetapan hutan adat yang semula sebagai bagian dari hutan negara merupakan perwujudan dari pasal 2 ayat 4: “Hak menguasai dari negara… pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-Daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat...”.

Kedua, Peraturan 21 hendak mengatur penetapan hutan adat. Apa yang ditetapkan? Apakah statusnya atau fungsinya? Khusus untuk hutan adat yang semula berada di dalam kawasan hutan negara, penetapan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diberikan untuk dua hal: pengakuan terhadap hutan adat sebagai bukan hutan negara (status) dan penetapan hutan adat tersebut sebagai kawa-san hutan (fungsi). Ketika peraturan daerah telah menetapkan suatu masyarakat adat sebagai subyek dan hutan adat di dalam wila-yah adat sebagai obyek, tidak otomatis hutan adat keluar dari hutan negara. Secara legal, perlu penetapan pengakuan dan pelepasan (status) dari Menteri Lingkungan melalui proses validasi dan verifikasi.

Hutan adat yang telah ditetapkan statusnya tersebut perlu penetapan kedua, yaitu hutan adat sebagai bagian dari kawasan hutan (ketetapan fungsi) apabila hendak dimasukkan sebagai kawasan hutan (hutan tetap atau kawasan yang akan tetap dipertahankan sebagai hutan). Jika hutan adat tidak hendak dimasukkan sebagai kawasan hutan, tidak perlu meminta penetapan fungsi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kedua proses penetapan ini kurang tegas dibedakan dalam Peraturan 21. Dalam hal hutan hak (di sini maksudnya hutan di tanah milik) atau hutan adat yang berada di luar kawasan hutan negara, permohonan penetapannya dari Kementerian Lingkungan hanya berupa penetapan fungsi sebagai kawasan hutan.

Apa keuntungan hutan adat ditetapkan sebagai kawasan hutan? Peraturan 21 menyebutkan insentif-insentif dan hak-hak yang diterima masyarakat adat pemangku hutan adat dari pemerintah. Sebaliknya, ada kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan masyarakat adat.

Ketiga, akselerasi apa yang hendak didorong oleh Peraturan 21? Peraturan ini tetap mensyaratkan peraturan daerah untuk hutan adat yang semula berada di dalam kawasan hutan negara. Syarat perda membuat kecepatan pengakuan hutan adat tergantung pemerintah daerah. Perda yang diperlukan adalah peraturan yang menetapkan suatu kelompok masyarakat adat dan wilayah adatnya.

Pengadaan perda ini makan waktu dan energi. Peraturan 21 tidak secara langsung memfasilitasi pemda mengadakan perda hutan adat. Peraturan ini mendorong langkah-langkah yang diharapkan dapat mengakselerasi proses penetapan hutan adat, yaitu fasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan/atau pemerintah daerah dalam proses pemetaan wilayah adat serta fasilitasi oleh Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial untuk kelengkapan dan validitas dokumen permohonan. Selain itu, menyediakan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat oleh Kementerian Lingkungan dalam memberikan informasi kepada pemda dan pihak lain (lembaga swadaya masyarakat, akademikus, atau fasilitator lain) serta mendorong untuk mengadakan perda dan dokumen lain yang diperlukan dan proses-proses lain buat penetapan hutan adat. Informasi tentang peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat harus didiseminasikan kepada masyarakat adat, minimal masyarakat adat yang hutan adatnya masuk peta indikatif tersebut.

Apabila Peraturan 21 belum berhasil mengakselerasi pengakuan hutan adat (luas hutan dan jumlah kelompok masyarakatnya), masyarakat adat bisa memilih skema lain yang dekat, yaitu hutan desa. Sambil menunggu peraturan daerah, masyarakat adat bisa mengajukan permohonan penetapan sebagai hutan desa yang dikelola kelembagaan adat. Jalan melalui hutan desa lebih cepat karena tidak perlu perda, tapi cukup keputusan kepala desa atau peraturan desa yang menetapkan lembaga pengelola hutan desa, dalam hal ini bisa digantikan oleh lembaga adat. Apabila perda sudah tersedia, hutan desa bisa diubah statusnya menjadi hutan adat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus