Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liburan? Tampaknya, di kepala semua orang akan terbayang kegiatan berwisata untuk mengisi liburan itu. Apalagi sekarang ini sangat banyak kegiatan wisata yang dapat dilakukan, seperti wisata kuliner, wisata sejarah, wisata kota, wisata petualangan, wisata halal…. Nah! Wisata halal? Kok, ada wisata halal? Kalau begitu, ada wisata haram? Ataukah dengan adanya wisata halal jenis wisata lain tergolong ke dalam wisata haram?
Duh! Sebenarnya apa yang dimaksudkan dengan istilah wisata halal? Setelah saya cari ke sana-kemari, ternyata wisata halal itu adalah kegiatan wisata yang islami, yang tetap peduli pada kaidah-kaidah Islam. Tentu saja, wisata tersebut berbeda dengan wisata religi yang berlaku umum dan dapat digunakan oleh agama dan kepercayaan apa pun.
Kalau begitu, mengapa tidak disebut saja wisata islami? Masalah itulah yang hendak saya kemukakan dalam tulisan ini. Ketika mempertentangkan wisata halal dan wisata haram, saya berpikir boleh jadi pertentangan itu juga muncul di kepala banyak orang. Kata halal dan haram diserap dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan dianggap sakral karena berkaitan dengan hukum Islam.
Jangan samakan kegiatan wisata dengan makanan yang dapat diberi label halal. Bahkan, pada sebagian umat Islam, label halal makanan pun masih dipertanyakan sehingga harus ada lembaga sertifikasi halal yang tepercaya. Bagaimana cara memasang label halal pada kegiatan wisata? Tentu lebih sulit lagi karena wisata halal tidak sekadar menyebutkan ada tempat makanan halal dan akomodasi yang dilengkapi fasilitas ibadah.
Halal berarti diperbolehkan secara hukum Islam, sedangkan haram bermakna dilarang dan berkaitan dengan dosa apabila dilakukan. Pengertian itulah yang tertanam pada umumnya orang Indonesia. Padahal kedua kata itu bisa dianggap kosakata biasa dalam bahasa Arab. Buat sebagian muslim Indonesia yang pernah ke Mekah atau Madinah, kata halal bisa bermakna “gratis” karena orang-orang Arab yang bersedekah selalu berteriak, “Halal... halal!” Sebaliknya, mereka akan merasa berdosa ketika orang Arab merasa tidak senang dan mengatakan haram untuk melarang memotretnya.
Artinya, kata halal itu menjadi polisemi pada orang Indonesia, bergantung pada situasi kebahasaan. Ada satu kisah mengenaskan di Jedah saat musim haji 2016. Seorang ibu yang kelelahan setelah berbelanja masuk ke warung bakso. Saat itu, warung tersebut dipadati jemaah haji Indonesia. Maklumlah, mi bakso adalah salah satu makanan favorit orang Indonesia dan sangat dirindukan ketika mereka berada jauh dari tanah air. Ibu itu mengira sang pedagang bakso sedang bersedekah. Dia pun ikut mengantre bakso. Namun, ketika sudah mendapatkan baksonya, dia malah kebingungan karena ternyata orang lain membayar ke kasir, sedangkan uang riyalnya sudah habis dibelanjakan. Untunglah, sang pemilik warung bakso yang baik hati mengucapkan kata sakral, “Halal… halal!” kepada ibu itu.
Sebenarnya, perubahan dan perluasan makna dari bahasa Arab tidak hanya terjadi pada kata halal. Kata sejarah, makam, dan kafir pun mengalami perubahan makna. Kata sejarah dalam bahasa Arab sebenarnya bermakna “pohon”, sedangkan sejarah, yang bermakna history, dalam bahasa Arab adalah tarikh. Begitu juga kata makam, yang bermakna “tempat”, dalam bahasa Indonesia berubah menjadi “kubur”.
Kata kafir pun sama. Bahkan, saat muncul, kata yang satu ini sering memicu konflik karena perbedaan makna pada penggunanya. Kafir dalam bahasa Arab bermakna “menutup”, sedangkan dalam bahasa Indonesia merupakan sebutan bagi orang yang mengingkari keberadaan Tuhan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah Swt. dan rasul-Nya”. Karena itu, ketika ada satu pihak menyebut kafir kepada pihak lain, muncul konflik akibat perbedaan pemahaman. Pihak pertama menyebut kafir karena menilai pihak kedua telah “menutup diri” saat diingatkan, sedangkan pihak kedua menganggap pihak pertama telah menganggapnya tidak beriman kepada Tuhan.
Kembali ke masalah “wisata halal”. Makna apakah yang dikandungnya? Apakah istilah itu bermakna wisata yang dibolehkan berdasarkan kaidah Islam? Artinya, bakal banyak sekali jenis dan kegiatan wisata yang tidak dibolehkan! Ataukah wisata yang dilengkapi dengan fasilitas ibadah dan kuliner halal? Kalau begitu, sebaiknya gunakan saja langsung “wisata islami” atau “wisata muslim”, yang berarti wisata secara Islam atau wisata untuk umat Islam. Istilah itu akan sejalan dengan istilah dalam bahasa Inggris yang sudah ada, seperti Muslim travelling, Muslim travellers, dan Muslim visitors.
*) PENGAJAR FAKULTAS ILMU SENI DAN SASTRA UNIVERSITAS PASUNDAN, MANAJER MEDIA DAN DATA CENTER WANADRI, MANAJER KONTEN MEDIA WISATA GURILAPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo