Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Membaca Koalisi Hasil Pemilu 2019

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024.

9 Juli 2019 | 07.00 WIB

Capres nomor urut 01, Jokowi (lima dari kiri) didampingi cawapres Ma'ruf Amin bersama partai koalisi saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis, 18 April 2019. Dalam kesempatan ini, Jokowi mendeklarasikan diri sebagai pemenang pemilihan presiden 2019 dengan raihan suara 54,5 persen. TEMPO/Subekti.
material-symbols:fullscreenPerbesar
Capres nomor urut 01, Jokowi (lima dari kiri) didampingi cawapres Ma'ruf Amin bersama partai koalisi saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis, 18 April 2019. Dalam kesempatan ini, Jokowi mendeklarasikan diri sebagai pemenang pemilihan presiden 2019 dengan raihan suara 54,5 persen. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Paulus Mujiran
Peneliti di The Dicjkstra Syndicate, Semarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024. Dalam konferensi pers pasca-penetapan KPU, Jokowi menyatakan secara terbuka kepada partai-partai, terutama dari kubu Koalisi Indonesia Adil Makmur yang mengusung pasangan nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga, sebagai calon presiden dan wakil presiden, untuk bekerja sama. Setelah penetapan KPU, arah koalisi menjadi semakin benderang, khususnya bagi partai-partai kubu 02, untuk menentukan pilihan politiknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Bulan Juli ini menjadi hari yang sibuk, khususnya bagi partai-partai bekas kubu 02. Mereka menyelenggarakan rapat kerja nasional untuk memutuskan arah untuk berkoalisi dengan pemerintah, menjadi penyeimbang, atau oposisi. Sikap partai kian leluasa karena Koalisi Indonesia Adil Makmur resmi dibubarkan. Tanpa menambah jumlah anggota koalisi pun, Koalisi Indonesia Kerja, yang mengusung Jokowi, sudah cukup untuk membangun pemerintahan yang kuat.

Pasangan Jokowi-Ma’ruf didukung oleh PDIP, Golkar, NasDem, PKB, PPP, Hanura, PKPI, PBB, PSI, dan Perindo, dengan total perolehan suara dalam pemilihan legislatif sebesar 54,9 persen. Sementara itu, pendukung pasangan di luar ini, yang terdiri atas Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan Partai Berkarya, memperoleh 35,39 persen suara. Namun rupanya kubu Jokowi-Ma’ruf masih ingin merangkul kubu sebelah untuk bersama-sama membangun pemerintahan. Mengapa demikian?

Pertama, demi kepentingan rekonsiliasi kebangsaan. Meski menguasai mayoritas kursi di parlemen, sebagian internal koalisi pendukung memandang perlu ada tambahan anggota koalisi. Apalagi sebagian partai politik dari kubu 02 sudah melakukan penjajakan ke kubu Jokowi. Semakin banyak partai yang bergabung sangat penting untuk menjaga kestabilan politik pemerintahan periode kedua Jokowi.

Kedua, beberapa partai yang semula menjadi pendukung Koalisi Indonesia Adil Makmur, kecuali Gerindra dan PKS, sudah beberapa kali memberi sinyal bergabung ke pemerintah. Hal ini seperti mengulang Pemilihan Umum 2014 ketika PAN dan partai-partai pendukung Prabowo-Hatta Rajasa, yakni Partai Golkar dan PPP, ramai-ramai berbalik arah mendukung Jokowi-JK.

Partai Demokrat, yang lima tahun terakhir memposisikan diri sebagai penyeimbang, rupanya juga bosan menjadi penyeimbang. Apalagi posisinya yang abu-abu menyebabkan perolehan suara partai itu dalam pemilihan umum legislatif kian terpuruk. Pernyataan Komandan Kogasma, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), seusai pertemuan dengan Jokowi beberapa waktu lalu, bahwa Demokrat ingin berpartisipasi dalam membangun Indonesia, merupakan sinyal yang tidak dapat diabaikan.

Begitu juga dengan pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum PAN, yang juga Ketua MPR, Zulkifly Hasan. Bahkan Sekretaris Jenderal PAN, Eddy Soeparno, dan Sekjen Demokrat, Hinca Panjaitan, juga hadir dalam penetapan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai presiden-wakil presiden terpilih di KPU.

Sinyal tidak solidnya partai pendukung Prabowo-Sandi dengan mendukung kubu Jokowi-Ma’ruf sebenarnya sudah terlihat dengan "membelotnya" sejumlah kader Demokrat, seperti mantan Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang, dan Ketua DPD Demokrat Jawa Timur, Soekarwo. Di daerah, sebagian kader PAN juga mendeklarasikan diri mendukung Jokowi-Ma’ruf.

Jika akhirnya PAN dan Demokrat bergabung ke kubu Jokowi-Ma’ruf, Koalisi Indonesia Kerja akan menjadi koalisi super-gemuk karena didukung oleh mayoritas kekuatan di parlemen sebesar 68,74 persen. Apalagi ditambah dengan Partai Gerindra, yang diwacanakan juga akan bergabung. Dalam konteks ini, kita membaca Jokowi-Ma’ruf memperkuat barisan koalisi terutama untuk menyukseskan program-program pemerintah. Di pihak lain, membangun koalisi yang terdiri atas pendukung dan lawan politik akan menjadi jalan rekonsiliasi.

Sementara itu, sebagian bekas pendukung kubu 02 juga ingin berada di dalam pemerintahan. Belajar dari pengalaman 2014, Jokowi-Kalla, yang pada mulanya didukung minoritas parlemen, akhirnya menguasai mayoritas parlemen setelah partai-partai lawan politiknya satu demi satu merapat ke pemerintah. Hal yang penting dicatat, koalisi super-gemuk yang hendak dibangun pemerintah bisa tidak efektif sepanjang bangunan koalisi kurang solid.

Koalisi ini bahkan berpotensi menjadi oposisi dari dalam. Berdasarkan pengalaman pada 2014-2019, beberapa partai justru menjadi oposan dari dalam terhadap sikap politik pemerintah. Apalagi partai-partai yang bergabung belakangan ini tidak berkeringat memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Mereka hanya ingin enaknya menduduki kekuasaan. Di pihak lain, koalisi super-gemuk justru membahayakan demokrasi karena tidak ada penyeimbang di luar pemerintahan. Hadirnya oposisi tetap dibutuhkan agar ada check and balances dari luar pemerintahan.

Justru dengan membangun koalisi super-gemuk, kita mempertanyakan kenegarawanan elite partai yang haus kekuasaan. Dengan demikian, pemilihan umum pada akhirnya tak lebih sebagai politik dagang sapi yang menguntungkan elite politik ketimbang rakyat yang sudah bersusah payah memberikan suaranya dalam pemilihan. Kenegarawanan Jokowi-Ma’ruf diuji untuk tidak sekadar membagi-bagikan kekuasaan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus