Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah enaknya berbuka puasa bersama politisi. Apalagi politisi yang sedang menata karier. Juhaeni, Kepala SMA Negeri 1 Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, merasakannya ketika pada suatu sore bulan Ramadan lalu hadir dalam acara buka puasa bersama Ketua DPR Agung Laksono di Kantor Partai Golkar Kabupaten Cirebon.
Dari Agung yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu, ia mendapat sangu kupon bantuan pendidikan senilai Rp 150 juta. Walau sedikit bingung, Juhaeni bersyukur. Dengan uang sebesar itu, kepala sekolah itu berencana membangun laboratorium, perpustakaan, musala, juga ruang guru.
Sebentar, kenapa Juhaeni bingung? ”Saya nggak tahu, kenapa sekolah kami yang dipilih,” kata Juhaeni. Agaknya ia mengira sekolah percontohan yang didirikan lima tahun lalu itu tidak termasuk kategori penerima bantuan. Baru Agustus silam mereka menerima dana block grant (hibah langsung) Rp 70 juta dari pemerintah. Kini bangunan SMA Gegesik telah resik dengan perabot baru.
Keheranan serupa terjadi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, beberapa hari sesudahnya. Rupanya, pejabat yang sama berkeliling seperti sinterklas membagi-bagikan hadiah. Di Masjid Al-Hikmah, Sedayu, Bantul, ia memberikan kupon lebih besar, Rp 200 juta, untuk merenovasi SD Negeri Priyan, Desa Trirenggo. ”Saya kaget ketika diminta maju dan diberi kupon,” kata kepala sekolahnya, Yayuk Sri Rahayu.
Yayuk kaget karena kondisi sekolahnya terbilang lumayan ketimbang sekolah-sekolah lain setelah dilanda gempa pada 27 Mei lalu. Bangunan berusia 41 tahun itu masih berdiri tegak dan bisa dipakai belajar. Cuma beberapa eternit dan genting yang rusak. Sebagian dinding sekolah yang retak pun sudah diperbaiki sendiri. Maklum, belum lama ini sekolah itu juga sudah mendapat bantuan Rp 1 miliar dari Persatuan Ulama Indonesia-Singapura.
Beginilah ironi sebuah program yang punya tujuan mulia untuk rehabilitasi fisik dan peningkatan mutu sekolah di daerah terpencil dan sekolah swasta pinggiran. Sejak berjalan empat tahun lalu, tak jelas sekolah mana yang sudah menerima kupon berbentuk sertifikat yang berfungsi sebagai pemberitahuan pada sekolah penerima bantuan itu. Masalah kupon yang sumber dananya diambil dari anggaran pembangunan yang berjumlah Rp 23 triliun ini baru mencuat setelah safari Ramadan Agung Laksono.
Dua sekolah yang ”berkecukupan” ia beri bantuan, sedangkan belasan ribu sekolah lain yang butuh dana segar itu terlewatkan. Mereka tentu iri. Dengar saja ucapan Irmawati, Kepala SD Negeri I Sampay di Kecamatan Warung Gunung, Kabupaten Lebak, Banten, ”Saya jadi bingung. Soalnya daerah lain banyak yang dapat.”
Lagi-lagi bingung. Melihat bangunan SD itu, pantas Irma bersikap begitu. Gedung sekolahnya kini lebih mirip deretan gudang ketimbang tempat belajar. Sudah bertahun temboknya tak tersentuh cat. Pecahan ubin berserakan. Saat hujan turun, air merembes ke dinding. Tanpa perbaikan segera, ia khawatir bangunan akan roboh.
Janji untuk mendapat kupon bantuan pendidikan pernah mampir ke telinganya saat pelaksana tugas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengunjungi sekolahnya, Oktober lalu. Sayang, berulang kali Irmawati menagih janji tersebut ke Dinas Pendidikan Lebak. Jawaban yang diterima selalu sama: tak pernah ada anggaran pemberian kupon.
Irma rupanya salah jalur. Kupon atau voucher bantuan pendidikan itu adalah bagian dari kebijakan Departemen Pendidikan Nasional dalam penyaluran dana block grant. Dana tak disalurkan lewat pemerintah provinsi atau kabupaten, tapi langsung ke sekolah atau perguruan tinggi.
Menurut Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Suyanto, program yang sudah berjalan sejak 2002 itu adalah mekanisme pelengkap pemberian dana langsung bagi sekolah yang tidak terjangkau usulan birokrasi secara reguler. ”Mekanisme reguler umumnya membutuhkan birokrasi yang panjang dan makan waktu,” kata Suyanto.
Nilai kupon beragam, tergantung tingkat dan kebutuhan, dari Rp 20 juta sampai Rp 200 juta. Dana rehabilitasi diutamakan untuk TK dan SD, karena mayoritas siswa wajib belajar ada pada usia itu. Agar dana bisa dicairkan, sekolah penerima kupon wajib mengajukan proposal ke Departemen Pendidikan, lengkap dengan identitas sekolah, berita acara pembangunan, dan rekening sekolah.
Proposal yang masuk akan diverifikasi. Jika dianggap layak, dana akan dikirim langsung ke rekening sekolah. ”Paling cepat, sekolah bisa mencairkan dananya dalam 3-4 minggu,” ujar Suyanto.
Lantaran mekanismenya yang singkat dan mudah, kupon jadi andalan ketika pemerintah harus memperbaiki gedung sekolah di daerah terpencil. Juga ketika terjadi bencana alam. Biasanya, begitu kupon diserahkan, esok harinya ada survei kelayakan dari direktorat. Kantor dinas pendidikan kabupaten atau kota hanya mengetahui. ”Pembangunan sekolah yang menerima kupon itu lebih cepat karena uangnya lebih cepat cair, langsung ke sekolah,” kata Kepala Dinas Pendidikan Klaten, Djoko Santosa.
Boleh jadi, karena prosesnya cepat dan mudah, banyak kepala sekolah di daerah memburu kupon ini sebagai alternatif pendanaan yang legal. Soalnya, mereka tak bisa sepenuhnya mengandalkan dana swadaya sekolah. ”Saya tahu ada kupon setelah beberapa teman kepala sekolah memberi tahu,” kata Sugiyanto, Kepala SMP Negeri 1 Sukomoro, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Pada April silam, Sugiyanto beruntung mendapat kupon Rp 190 juta. Namun duitnya baru cair pada Agustus lalu, setelah proposalnya bolak-balik direvisi. Dana itu kini dipakai membangun ruang kelas dan memperbaiki perpustakaan.
Kendati menguntungkan, proses yang cepat dan mudah itu bisa juga memicu penyimpangan. Ketua Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menuding penyebabnya adalah ketidakjelasan kriteria: Siapa yang berhak memberikan, siapa pula yang berhak menerima. ”Tak ada pula yang mengawasi,” ujarnya. Lebih parah lagi bila penyalurannya melibatkan para politisi di DPR.
Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Dodi Nandika tak menampik adanya kesalahan dalam pelaksanaan pembagian atau pencairan kupon. Bukan cuma terjadi tumpang-tindih pemberian kupon dalam satu sekolah atau satu daerah, melainkan juga soal sasaran yang tak tepat. ”Kami sedang memperbaiki mekanismenya,” ujarnya.
Departemen Pendidikan Nasional, menurut Dodi, telah membahas sistem baru untuk menyeleksi penerima dan penyaluran kupon. Sistem itu akan melibatkan pemerintah daerah. Kabupaten dan kota akan mengusulkan sekolah yang berhak menerima bantuan. Kemudian gubernur mengkoordinasi sekolah-sekolah itu untuk diusulkan ke departemen.
Dengan perbaikan itu diharapkan proses pembagian kupon berlangsung lebih baik dan menjangkau banyak sekolah di daerah yang membutuhkan. ”Bukan berdasarkan kedekatan pejabat tertentu sebagai pemberi dengan pihak sekolah,” ujar Dodi.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bersuara tegas. ”Pemerintah akan memberikan langsung block grant itu tanpa melibatkan anggota DPR.” Anggota DPR yang mau membantu silakan memberikan masukan. Tapi biarlah dana pendidikan ini diberikan langsung oleh instansi pendidikan.
Widiarsi Agustina, Sunariyah, Mustafa Moses, Ivansyah (Cirebon), Sudjatmiko (Magetan), Imron Rosyid (Klaten), Syaiful Amin (Bantul), Faidil Akbar (Banten)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo