Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengapa Mereka Diculik?

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYUKUR alhamdulillah, empat aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) yang diberitakan hilang telah ditemukan. Usep Setiawan, Anton Sulton, Mohammad Hafiz Azdam, dan Idham Kurniawan telah berkumpul kembali dengan keluarga mereka, sejak Ahad dua pekan lalu. Mengaku sempat diculik selama hampir dua minggu oleh kelompok bersenjata, mereka menuturkan pengalaman buruknya tersebut kepada para wartawan, Jumat akhir bulan silam.

Jika diasumsikan cerita itu benar, ini perkara yang sangat serius. Dengan segala maaf kepada pujangga kenamaan Shakespeare, ''akhir yang baik tak selalu berarti semuanya baik" pula. Setidaknya dalam kasus ini, yang menunjukkan kehadiran sekelompok orang dalam organisasi yang rapi, berkemampuan tinggi, dan tak sungkan untuk melanggar hukum dalam melakukan tindakan yang dianggap perlu.

Kelompok seperti ini adalah ancaman besar bagi terbentuknya masyarakat madani. Bila kegiatan sebuah kelompok advokasi seperti KPA, yang selama ini tak pernah terdengar melakukan aksi kekerasan, ternyata memancing terjadinya aksi penculikan yang berjalan dengan sangat profesional, dapat dibayangkan ancaman seperti apa yang dapat menimpa kelompok masyarakat lain yang lebih agresif.

Itu sebabnya pengusutan kasus ini hingga tuntas menjadi sebuah tuntutan yang harus terus-menerus digulirkan. Apalagi dalam kasus kriminal, aksi penculikan biasanya termasuk dalam kategori yang mudah dibongkar. Karena itu, sulit bagi pihak berwenang untuk mencari alasan yang dapat diterima akal sehat jika tak segera mampu menguak perkara ini kepada publik.

Upaya membongkar peristiwa kriminal ini bahkan sepatutnya menjadi tantangan bagi pihak polisi untuk membuktikan independensinya setelah disapih dari militer. Keberhasilan ataupun kegagalan polisi dalam melaksanakan tugasnya ini akan punya arti strategis. Bila gagal, berarti benih awal menjamurnya mafia lokal, seperti yang telah terjadi di Rusia, telah tersemai. Sebuah fenomena yang akan menghambat terbentuknya masyarakat madani yang dicita-citakan, yang akan membuat upaya penegakan hukum semakin sulit dilakukan dan akan membawa bangsa ini ke peradaban yang lebih buruk, yang lebih bersandar kepada hukum rimba.

Dalam kerangka berpikir seperti ini, pihak aktivis dan polisi diharapkan mampu melupakan perbedaan mereka untuk bekerja sama menghadapi musuh yang lebih besar dan berbahaya. Apalagi, di sebagian anggota masyarakat tumbuh pula kecurigaan bahwa penculikan ini, bukan tidak mungkin, merupakan rekayasa para aktivis untuk menarik perhatian publik pada advokasi mereka.

Harus diakui, budaya membenarkan segala cara demi mencapai tujuan tak hanya dianut kalangan pro-status-quo. Sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa di jajaran yang menganggap dirinya sebagai barisan prodemokrasi pun ada yang menggunakan cara-cara tak halal untuk mencapai tujuannya. Sepertinya mereka lupa bahwa esensi dari sistem demokrasi adalah keyakinan bahwa hanya proses yang benar menjamin hasil yang baik. Pepatah Inggris mengatakan, two wrongs do not make a right, keadilan bukan berarti membalas kejahatan dengan kebatilan. Proses perbaikan sebuah peradaban justru hanya dapat dilakukan jika masyarakatnya mampu berbesar hati memutus rantai dendam masa silam agar bebas berlayar ke masa depan yang lebih menjanjikan.

Kemampuan membebaskan diri dari rantai jahiliah terbentuk bila setiap anggota masyarakat bersepakat untuk menyerahkan wewenang pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan kepada petugas penegak hukum. Itu sebabnya penghujatan kepada aparat hukum cuma akan membawa kita terperosok ke jurang yang lebih dalam, bila tidak disertai dengan upaya perbaikannya. Polisi harus dibantu dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang berlaku, termasuk melalui kritik yang mengoreksi dan bukan yang asal hantam.

Perangkat hukum juga harus dibenahi agar tak hanya bagus di tataran teori, melainkan juga telah memperhitungkan kemungkinan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Sebaik apa pun personalia aparat penegak hukum, tak akan berarti banyak bila tak dilengkapi dengan sumber daya yang memadai. Pelayanan pemerintah yang baik dan benar memang memerlukan ongkos yang tidak sedikit. Karena itu, jangan heran jika kualitas pemerintah Indonesia masih jauh dari memadai, mengingat penduduk negeri ini termasuk yang paling rendah kesadaran membayar pajaknya.

Kendati demikian, bukan berarti tak ada harapan. Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan langkah pertama. Upaya pembentukan masyarakat madani lebih bertumpu pada kesediaan setiap anggotanya berpartisipasi ketimbang pada keberadaan materi. Partisipasi itu tidak harus yang muluk-muluk. Robert Putnam, pakar sosial-politik dari Universitas Harvard, telah membuktikan bahwa kemampuan orang ramai dalam membentuk masyarakat madani dapat dilihat dari hal yang sederhana, seperti keikutsertaan dalam organisasi paduan suara di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Semakin banyak keterlibatan penduduk sebuah kawasan dalam kegiatan berbagai organisasi kemasyarakatannya—seperti paduan suara tadi—semakin tinggi kemampuan untuk membentuk sistem pemerintahan yang bersih, efektif, dan peka terhadap aspirasi rakyatnya. Robert Putnam menyebutkan kemampuan ini sebagai social capital alias modal sosial.

Orde Baru adalah sebuah pemerintahan yang begitu sibuk mengelola modal ekonomi sehingga melupakan modal sosial republik ini. Akibatnya, sebuah krisis pun terjadi dan kita dipaksa untuk membentuk orde yang baru lagi, yang mengoreksi kesalahan fatal masa lalu itu.

Lantas, bagaimana melakukannya di lapangan? Ambil contoh dalam soal menghadapi gerombolan penculik dalam kasus aktivis KPA ini. Bila mayoritas orang ramai dapat dimobilisasi untuk membongkar kasus ini, rasanya sulit bagi para pelaku kriminal itu untuk lolos dari jerat hukum, sehebat apa pun organisasi dan keterampilan mereka.

Mari kita lihat, apakah modal sosial negeri ini cukup memadai untuk mengangkat kita ke peradaban yang lebih menjanjikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus