KERUSUHAN itu akhirnya tak bisa dicegah. Sekitar seribu orang merangsek sebuah gedung pertemuan di Jembrana, Bali, Ahad pekan lalu. Mereka memprotes pelantikan Bupati Jembrana Gde Winasa. "Bupati tidak sah. Bupati main uang," mereka berteriak berkali-kali. Polisi gagal menahan mereka masuk gedung.
Para pemrotes menjungkirbalikkan kursi, meja, dan perlengkapan upacara lainnya. Mereka mengusir tamu-tamu keluar ruangan. Gubernur Bali I Dewa Made Beratha dan Kapolda Brigadir Jenderal Wayan Arjana, yang sedang dalam perjalanan ke upacara, memilih balik ke Denpasar ketika mendengar amuk itu pecah. Winasa, sang bupati terpilih, lari terbirit-birit ke mobilnya karena dikejar massa. Polisi melepaskan tembakan dan gas air mata. Satu orang tewas dan enam lainnya terluka diterjang peluru. Acara pelantikan bupati pun gagal.
Amuk ini mewakili amarah sebagian massa PDI Perjuangan di Bali karena kandidat partainya kalah. Menguasai 17 dari 30 kursi parlemen setempat, Fraksi PDI-P semula yakin bisa meloloskan jagonya, yakni pasangan Sandiyasa dan Nengah Dana, berturut-turut sebagai bupati dan wakilnya. Nyatanya tidak. Calon mereka tumbang dari pasangan Gde Winasa dan I Ketut Suania dengan cukup telak. Winasa meraih 19 suara, sementara Sandiyasa cuma 11. Ironis, karena Winasa diusulkan oleh Fraksi P3R (gabungan PPP dan Partai Republik), yang cuma punya tiga kursi.
Ironi belum berhenti di situ. Melihat telaknya kemenangan, Gde Winasa tidak hanya didukung semua fraksi lain, tapi juga imbuhan suara dari PDI-P sendiri. Enam anggota FPDI diduga membelot. Tuduhan pun segera muncul: mereka menerima suap. Meski belum ada bukti, PDI-P mengambil tindakan tegas. "Secara resmi empat orang sudah ditarik dari DPRD dan dipecat dari PDI-P," kata I Wayan Mawa, Ketua PDI-P Cabang Jembrana. Dua lainnya masih diselidiki.
Meski menyakitkan, sebenarnya ini bukan kekalahan PDI-P pertama dalam pemilihan kepala daerah. Partai Banteng ini menelan tragedi serupa dalam pemilihan bupati/wali kota di Sumedang dan Bekasi (Jawa Barat), Semarang dan Sidoarjo (Jawa Tengah), serta Medan (Sumatra Utara).
Apa yang terjadi sebenarnya dengan partai Megawati Sukarnoputri ini, yang secara nasional memenangi pemilihan umum 1999 dan hampir di banyak daerah menguasai mayoritas parlemen?
Suap atau politik uang, jika ada, bukanlah satu-satunya faktor. Di Jembrana, seperti juga di Semarang, dukungan PDI-P terbelah dalam dua calon. Winasa adalah orang PDI-P pula, yang dalam pemungutan suara di fraks, Juli lalu, bahkan meraih dukungan mayoritas (10 suara); sementara Sandiyasa hanya tujuh suara.
Namun, pemimpin partai di tingkat propinsi tidak ingin melihat Winasa menang. Mereka merasa punya alasan. Sandiyasa punya pengaruh lebih besar karena dia Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI-P Propinsi Bali. Di lain pihak, kata mereka, "Gde bukan orang PDI-P karena tidak pernah punya kartu anggota."
Kepentingan itu bertabrakan dengan "arus bawah". Kepada TEMPO, Winasa memang mengaku bukan pemegang kartu anggota PDI-P, tapi ia adalah simpatisan partai itu. Sehari-hari ia kerap membantu partai, menyokong kampanye, bahkan pernah mengontrakkan rumah buat sekretariat cabang PDI-P. "Orang-orang pusat kan tidak tahu kesulitan kita. Mereka hanya datang saat upacara resmi, lihat kanan-kiri, terus pulang," kata Putu Kamawijaya, salah seorang anggota DPRD pendukung Winasa.
Para pemimpin propinsi tidak peduli. Mereka memilih menggunakan kekuasaan lebih tinggi untuk memenangi pergulatan ini. Mereka mengirim surat ke Jakarta, intinya meminta dukungan bagi Sandiyasa. Dan PDI-P Pusat meluluskan permintaan itu. Winasa didrop dari calon PDI-P.
Tapi, rudal dari Jakarta terbukti tak mampu melumpuhkan Winasa. Kandidat yang terbuang ini kemudian dipungut fraksi lain, dan menang. Kemenangan Winasa hampir persis mengulangi sukses Sukawi Soetarip ketika terpilih menjadi Wali Kota Semarang dengan merontokkan Soetjipto, calon sesama PDI-P yang justru direstui Ketua Umum Megawati Sukarnoputri.
Kasus lebih tragis terjadi di Medan, awal tahun ini. Di situ PDI-P terbelah mendukung dua calon wali kota: Zaufi Lubis (didukung daerah) dan Ridwan Batubara (pusat). Keduanya harus gigit jari. Calon dari Golkar-lah yang menang. Meski mayoritas, PDI-P hanya menguasai 16 dari 45 kursi parlemen. Bahkan, jika kompak mendukung satu calon saja mereka belum tentu menang tanpa berkoalisi. Apalagi mendukung dua calon berbeda.
Kasus Jembrana, Medan, dan Semarang, menurut pengamat politik Andi Mallarangeng, menunjukkan kuatnya dominasi "pusat" atas "daerah" dalam tubuh PDI-P. Aspirasi daerah justru cenderung diabaikan oleh partai yang dikenal populis ini. Dan Jembrana merupakan contoh mutakhir bagaimana pemberontakan daerah bisa mencoreng partai itu secara keseluruhan, yang membuat dominasinya dalam pemilu mendatang layak dipertanyakan.
Winasa tak cuma didukung partai kecil seperti PPP. Hampir semua fraksi lain mendukungnya; termasuk Golkar, yang juga merasa dikecewakan. Sebelum pemilihan, PDI-P menawari Golkar kursi wakil bupati—kepada I Ketut Suania—dengan syarat partai itu mendukung Sandiyasa sebagai bupati. Di tengah jalan, PDI-P mendepak Suania dan memajukan Nengah Dana dari dalam partainya sendiri. Merasa memiliki suara mayoritas di parlemen, PDI-P Jembrana tak melihat pentingnya koalisi.
Keangkuhan itu harus dibayar mahal. Kasus Jembrana juga bisa menjelaskan kenapa partai kecil seperti PAN sanggup menjungkirkan PDI-P, yang mayoritas di tingkat nasional: mereka sukses menyingkirkan Megawati.
"Sebagai pemenang pemilu, mereka merasa dibutuhkan sehingga enggan melobi partai lain," kata Andi Mallarangeng, doktor politik lulusan Universitas Ohio itu.
Tak hanya kalah. Partai besar PDI-P juga tidak mampu menempatkan diri sebagai partai yang berwibawa. Seperti di Medan, pengurus partai di Jembrana memilih mengerahkan massa. Di samping menggagalkan pelantikan bupati, mereka meneror anggota parlemen yang diduga menerima suap—dengan menjemurnya di bawah terik matahari. Di Medan, awal tahun ini, di bawah ancaman massa yang siap mengamuk, para politisi yang dicurigai membelot akhirnya menandatangani surat pengunduran diri dari partai.
Teror massa pula yang terjadi di Jakarta tahun lalu. Pemimpin partai membiarkan massa PDI-P merusak kota, menyusul gagalnya Megawati jadi presiden.
Arif Zulkifli, Rofiqi Hasan (Bali), Andari Karina Anom, Hendriko Wiremmer (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini