Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian orang lainnya tak akan puas sekadar melihat pengadilan digelar. Mereka ingin melihat Soehartonama yang dalam dua tahun terakhir menjadi simbol kutukandiputuskan bersalah telah menyalahgunakan dana yayasan seperti yang didakwakan. Bahkan, tak cuma itu, mereka menganggap Soeharto bertanggung jawab atas dosa 30 tahun rezimnyakorupsi besar-besaran, pembungkaman terhadap hak berekspresi, pelanggaran hak asasi manusia, dan pendek kata seluruh kebejatannya.
Kelompok yang kedua ini jelas kecewa bahwa Soeharto absen dalam persidangan pertamakarena alasan sakit yang diputuskan oleh dokter pribadi, bukan dokter independen. Mereka juga kecewa ketika menyimak dakwaan Jaksa Agung yang mereka nilai terlalu remeh, yang kemungkinan besar kalah di persidangan, dan gagal menghukum berat sang mantan presiden.
Apa pun harapan orang, pertunjukan besar sebenarnya baru saja dimulai. Membawa kasus Soeharto ke pengadilan barangkali bukan perkara yang terlampau sulit. Sebab, tekanan dan opini publik yang luas hampir sudah membungkus separuh kasus Soeharto bulat-bulat ke meja hakim. Namun, membuktikannya bersalah secara hukum akan memakan waktu lebih panjang dari yang bisa dibayangkan.
Bukan karena mahkamah tak memiliki bukti yang cukup, melainkan karena "aturan permainan" yang sudah berubah.
Soeharto adalah sedikit dari despot, koruptor, dan diktator yang bernasib agak baik setelah rezimnya rontok. Dia berkelit dari takdir Marcos, Shah Iran, Caucescu, dan Pinochet. Lebih dari itu, dia menikmati haknya akan kebebasan dan keadilan yang dulu hanya dimonopoli oleh dia sendiri dan orang-orang berkuasa di sekitarnya.
Tak ada polisi, tentara, atau intel yang akan menangkap dan menculik para demonstran pendukungnya. Kompleks rumahnya justru dijaga ketat oleh pemerintah baru untuk melindunginya. Para kerabat dan pengacaranya bebas berbicaramuncul di sampul majalah dan menjadi selebriti di televisi. Tak banyak lagi yang bisa memaksa hakim memutuskan perkara karena intervensi penguasabahkan tekanan opini publik yang luas sekalipun (lepasnya Joko S. Tjandra dari kasus Bank Bali adalah buktinya).
Ironis. Berkat gelombang reformasi yang meruntuhkannya, Soeharto justru kini punya lebih banyak jalan untuk berkelit dari pengadilan. Itu hanya akan berarti satu: pengadilan yang panjang. Perkara sakitnya, dan keharusannya hadir di persidangan, akan menjadi ajang pertempuran ketat pengacara versus jaksa, memakan waktu lama, sebelum materi kasusnya sendiri bisa dibicarakan.
Bagaimanapun, pengadilan yang fair terhadapnyadan hanya ituyang barangkali bisa membantu bangsa ini membayar dosa kolektifnya di masa silam. Tak hanya Soeharto yang tengah diadili dalam persidangan itu, tapi juga bangsa ini secara keseluruhan yang membiarkannya terlalu lama berkuasa dan menenggang rezim korupnya yang nyaris tiada batas. Guilty by omission.
Dibutuhkan keberanian luar biasa untuk merenungkan dosa kolektif itu, sementara kita menyaksikan sebuah pengadilan pribadi terhadap seorang bernama Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo