Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA palu vonis diketukkan, kepada siapa hakim bertanggung jawab? Kepada hati nuraninya sendiri danbagi yang percaya dan berimankepada Tuhan. Dengan begitu, dalam memutus perkara, hakim punya pilihan yang nyaris tanpa batas. Dia bisa memilih melihat perkara dengan kacamata kuda. Maka, yang tampak hanya yang lurus di depan mata, yang kelihatan hanya yang tertulis tepat di muka, dan bidang yang lain yang tak tampak bisa dianggap tak pernah ada. Ada pilihan lain buat hakim: memakai kaca pembesar. Maka, yang remang-remang menjadi jelas, yang buram menjadi terang, dan yang samar-samar pun bisa muncul ke permukaan.
Hakim Soedarto rupanya memilih kacamata kuda dalam memutus bebas Joko Tjandra, dalam kasus dugaan korupsi di Bank Bali, Senin lalu. Soal dugaan korupsi dengan nilai terbesar dalam sejarah perbankan Indonesia itu pundengan kacamata kudakempis dan terlihat sempit: ini soal perdata, karena menyangkut soal cessie (pengalihan hak piutang), soal dagang biasa.
Padahal, bau korupsi menyeruak tajam dari kasus yang berawal pada Januari 1999 ini. Waktu itu, Bank Bali mengalihkan tagihan piutangnya di BDNI sebesar Rp 904 miliar kepada PT Era Giat Prima (EGP), tempat Joko Tjandra menjadi seorang komisarisnya. Piutang macet ini membuat Bank Bali, yang mulanya sangat sehat, dinyatakan harus direkap.
EGP kebagian jatah Rp 546 miliar, yang menurut lembaga audit Pricewaterhouse Coopers (PwC) sebagian dibagikan Joko ke sejumlah pejabat pemerintahan B.J. Habibie, pengusaha, dan politisi seperti A.A. Baramuli. DPR menguatkan temuan PwC dan mensinyalir ada sejumlah besar dana yang masuk ke Golkar.
Bicara cessie, kejanggalan sudah terang-benderang. Misalnya, EGP itu bukan perusahaan anjak piutang yang boleh mengalihkan piutang. Lalu, BDNI saat itu statusnya di bawah BPPN, tapi lembaga pemerintah ini tak tahu-menahu soal cessie. Bahkan, cessie ini tak diketahui Badan Pengawas Pasar Modal dan Bursa Efek Jakarta, padahal Bank Bali sudah tercatat di bursa itu. Dalam kaitan inilah nama besar seperti Direktur Utama EGP Setya Novanto, Wakil Kepala BPPN Pande Lubis, mantan menteri Tanri Abeng, dan mantan Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli dinyatakan oleh kejaksaan sebagai tersangka kasus ini.
Semua kait-mengait ini bisa segera pudar dengan vonis hakim Soedarto yang membebaskan Joko Tjandra. Toh, ini bukan semata "dosa" Soedarto. Ia hanya menyambut "kelemahan" dakwaan yang disusun jaksa Antasari Azhar. Pak Jaksa yang gagal menemukan muslihat di balik cessie Bank Bali itu hanya menuntut Joko hukuman 18 bulan. Seorang pembaca majalah ini mengungkapkan bahwa dalam kasus korupsi di Cina yang nilainya 20 kali lebih kecil dari kasus Bank Bali saja si pelaku dituntut hukuman mati. Kalau Joko disidangkan di sana ..... dan terbukti bersalahia bisa ditembak mati, dibangkitkan lagi, lalu ditembak lagi, 20 kali .....
Pihak kejaksaan seharusnya lebih serius membuktikan urusan korupsi di balik cessie dalam sidang banding nanti. Kalau upaya ini gagal, itu artinya penegakan hukum dalam kasus korupsi di sini memang masih jalan di tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo