Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengapa mesti malu?

Sejumlah kepala daerah merasa malu kalau di daerahnya masih ada yang tergolong miskin (tempo, 15 mei 1993, laporan utama)

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang ditulis dalam Laporan Utama (TEMPO, 15 Mei 1993) sungguh sangat mengenaskan. Tak bisa dibayangkan kalau beberapa gubernur, juga para bupati, melakukan unjuk rasa dan protes karena malu daerahnya mendapat predikat daerah miskin. Sikap malu karena ''dimiskin-miskinkan'' sebetulnya hal yang wajar dan manusiawi. Para gelandangan yang jelas-jelas tak punya rumah dan tak punya pekerjaan enggan disebut gelandangan atau gembel, bahkan tetangga yang sehari-harinya sulit cari makan tidak akan mau disebut orang miskin. Tapi permasalahannya akan menjadi lain bila hal ini melibatkan aparatur pemerintah. Pernyataan pemerintah akan mempengaruhi etos kerja dan dedikasi para pegawai. Ini bisa melahirkan sifat enggan dibebani tugas ke daerah terpencil, miskin, dan minus dengan sumber daya alam ataupun sumber daya manusia. Sebenarnya, bila hal tersebut kita tinjau lebih dalam, rasa enggan aparat bila dikatakan kurang berhasil dan kurang berprestasi dalam pembangunan di daerahnya bisa dimaklumi. Pemerintah perlu mempertegas dan mempertimbangkan dalam menetapkan daerah-daerah yang berprestasi. Dasarnya tidak lahiriahnya saja, artinya bila suatu daerah yang kadar potensi alamnya tinggi dalam waktu pembangunan bertambah maju, ini hal wajar. Tapi sebaliknya suatu daerah yang sumber daya alamnya pas-pasan bisa maju dalam waktu relatif singkat, dan taraf hidup masyarakat lumayan, inilah yang perlu diacungi jempol (dipilih sebagai daerah berprestasi). Data mengenai kemiskinan yang dikeluarkan Bappenas saat ini menjadi isu sentral karena terjadi perbedaan pandangan. Pakar ekonomi Unair Dr. Suroso Imam Djazuli memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia masih 40 juta jiwa, sementara Bappenas menetapkan, jumlah 57,2 juta jiwa penduduk Indonesia yang miskin pada tahun 1976 berkurang menjadi 27,2 juta jiwa pada tahun 1990. Ini mengandung pengertian 40% dari penduduk Indonesia yang miskin bisa ditekan menjadi 15%. Adanya perbedaan tersebut karena dilatarbelakangi pemakaian metode dasar yang berbeda, apakah data dasar itu diambil berkaitan dengan distribusi banyaknya orang miskin menurut kecamatan, ataukah data dasar itu diambil berkaitan dengan potensi dan fasilitas yang dipunyai desa-desa kecamatan tersebut. Karena itu, kemiskinan tidak perlu dijadikan momok atau membuat diri kita malu. Seharusnya kita merasa malu ketika melihat masyarakat yang sarat dengan kemiskinan sedangkan kita cuma ongkang-ongkang kaki dan tak membuat usaha-usaha nyata. SUTRIMO EDY Mahasiswa IAIN Suka Fakultas Tarbiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus