Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Prabowo mengecam “orang pintar” yang mengkritik kebijakannya soal pembentukan kabinet gemuk.
Ndas itu artinya kepala, ini kata paling kasar sehingga ndas ditujukan kepada binatang.
Berbicara yang santun adalah adab mulia yang diajarkan oleh para leluhur kita.
MEMANG mengagetkan ketika Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan kata-kata yang tak patut dalam sebuah upacara resmi yang diliput secara nasional. Tatkala berpidato dalam acara ulang tahun ke-17 Partai Gerindra yang dipimpinnya, Prabowo mengecam “orang pintar” yang mengkritik kebijakannya soal pembentukan kabinet gemuk. Di sinilah kata tak pantas itu terucap. “Kabinet ini kabinet gemuk, terlalu besar ... ndasmu,” ucap Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa arti kata ndasmu? Kata ini berasal dari budaya Jawa, tapi kini sudah menyebar ke berbagai budaya etnis. Ndas itu artinya kepala. Namun ini kata paling kasar sehingga ndas ditujukan kepada binatang. Untuk orang, kepala dalam bahasa daerah itu beragam. Ada kata sirah, duur, prabu, dan banyak lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi, kalau kita menyebutkan ndasmu, itu berarti ndas-nya kamu. Jelas penghinaan, karena “kamu” yang ditujukan untuk kata ndas itu adalah manusia, bukan binatang. Umumnya orang menyebutkan ndasmu pastilah dengan nada mengejek. Ini makian paling kasar dalam budaya luhur kita sejak dulu.
Di Bali, yang budaya leluhurnya memang serumpun dengan budaya Jawa, orang takut memaki dengan kata ndasmu betapa pun kemarahan itu harus dilampiaskan. Bisa terjadi pergelutan dengan mempertaruhkan nyawa. Namun kata makian itu ada variasinya yang lebih rendah, yakni ndaskeleng. Tak ditemukan asal-usul apakah keleng ini nama binatang yang pernah ada atau hanya berarti kemaluan laki-laki seperti bahasa yang paling kasar saat ini. Lalu ada makian yang paling ringan dengan kata ndas, yaitu ndasbedag. Bedag adalah anak kuda.
Tak diketahui juga asal-usulnya kenapa kepala anak kuda ini dianggap sebagai makian. Meskipun ada variasi dalam mengumpat dengan kata ndas, tetap saja makian itu sangat menyakitkan. Wayan Koster, Gubernur Bali periode 2019-2024 yang kini terpilih kembali, pernah keceplosan menyebutkan ndasbedag ini. Kecaman datang bertubi-tubi karena sangat tak layak pejabat memaki seperti itu. Koster minta maaf secara terbuka.
Memaki dengan menyebutkan nama binatang memang populer di berbagai budaya etnis. Ada yang memaki dengan kata anjing (di Jawa pakai nama asu), jangkrik, monyet, dan seterusnya karena binatang dianggap makhluk bodoh yang tak punya pikiran. Naskah lama dalam budaya Jawa menyebutkan ciptaan Tuhan dibagi dalam tiga kelompok besar. Manusia, binatang, dan tetumbuhan. Manusia bisa bicara, punya kekuatan hidup, dan punya pikiran.
Dalam teks disebutkan manusia punya sabda, bayu, dan idep. Sedangkan binatang hanya bisa berbicara dan memiliki kekuatan hidup tanpa punya pikiran. Tetumbuhan hanya punya kekuatan hidup, tak bisa berbicara, apalagi berpikir. Pikiran diproduksi oleh otak yang berada di kepala. Bayangkan jika seseorang sudah disebut sebagai binatang, ditambah lagi merujuk pada kepalanya yang tak punya otak. Betapa terhinanya orang itu.
Berbicara yang santun adalah adab mulia yang diajarkan oleh para leluhur kita. Ada teks lawas yang berasal dari abad ke-9. Teks kuno itu terhimpun dalam kitab Sarasamuscaya. Penghimpunnya Bhagawan Wawaruci—entahlah apakah beliau seorang pendeta pada zamannya atau nama samaran belaka. Kitab berbahasa Jawa Kuno itu berisi 511 pasal (istilahnya: sloka), yang isinya tentang etika kehidupan sebagai manusia. Dari 511 pasal itu, ada 19 (sloka 117-135) yang berisi tentang etika dalam berbicara dan mengucapkan kata-kata.
Orang-orang bijaksana harus santun berucap dengan keutamaan tak boleh berbohong. Para penerjemah kitab ini menyebutkan orang bijaksana yang dimaksudkan adalah para brahmana (rohaniwan) dan pejabat kerajaan. Jika mereka tak menjaga lisannya dan berucap dengan memaki, hancurlah peradaban karena rakyat akan meniru polah sang bijaksana itu.
Pada sloka 120 disebutkan, “Perkataan yang tidak baik bagaikan anak panah yang bisa menembus hati yang mendengarkan, kuasai diri dengan mengendalikan kata-kata.” Pada sloka 121 dijelaskan bahwa orang-orang bijak harus menghindari kata yang kotor dan jangan suka menghujat.
Betapa pudarnya etika itu di masa kini. Orang bisa menghujat dengan bebasnya secara terbuka. Tak ada lagi sopan santun. Setiap orang bisa merendahkan lawannya, termasuk mengumpat dengan menyebutkan nama hewan. Bahkan kata ndas yang seharusnya hanya disematkan untuk hewan ditujukan kepada orang. Dari sisi budaya dan adab dalam pengucapan lisan, sepertinya kita bukan lagi berada dalam kegelapan biasa, melainkan sudah gelap gulita karena pemimpin kita justru pelakunya.
Adakah upaya untuk mengakhiri kegelapan ini? Yuk, kita belajar dari kearifan masa lalu.●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo