Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat
Kepala Babi

Teror yang Merusak Demokrasi

Iwan Awaluddin Yusuf

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia

Teror kepala babi dan tikus kepada Tempo tidak hanya mengancam kebebasan pers, juga demokrasi secara keseluruhan.

26 Maret 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Ketika media diberangus, fungsi kontrol akan melemah. Akibatnya, praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang dapat terjadi tanpa perlawanan.

  • Ancaman terhadap jurnalis di lapangan masih sering terjadi, baik dalam bentuk ancaman fisik maupun serangan digital.

  • Dampak paling serius dari situasi ini adalah terlanggarnya hak atas jaminan rasa aman bagi jurnalis serta hak publik atas informasi.

KIRIMAN dua paket secara terpisah berisi kepala babi dan bangkai tikus dalam kotak kardus kepada jurnalis Tempo pada pekan lalu mencerminkan upaya simbolis untuk membungkam suara kritis di ruang publik. Teror ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kebebasan pers terus tergerus di negeri ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Intimidasi terhadap pers adalah ancaman serius terhadap kebebasan berpendapat dan demokrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang berani dan independen. Dalam konsep media sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate), media berperan penting sebagai pengawas kekuasaan (watchdog), mengungkap penyimpangan, dan menyuarakan kepentingan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ketika media diberangus, fungsi kontrol ini akan melemah. Akibatnya, praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang dapat terjadi tanpa perlawanan. Situasi ini makin mengkhawatirkan ketika upaya kriminalisasi terhadap jurnalis meningkat, baik melalui regulasi yang represif maupun penggunaan teror untuk membungkam suara-suara kritis.

Ancaman terhadap jurnalis dan media, seperti yang dialami Tempo, menambah panjang daftar serangan terhadap media yang berani mengangkat isu sensitif yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah. Sebelumnya, menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), beberapa jurnalis investigatif di Indonesia mengalami doxing, penyadapan, peretasan akun pribadi dan laman media, ancaman kekerasan fisik, perusakan kendaraan, serta kriminalisasi berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik.

Keberadaan media yang independen telah disepakati secara universal sebagai saluran informasi untuk memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem demokrasi. Jika ancaman terhadap kebebasan pers dan upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik dibiarkan, yang akan hilang bukan hanya budaya kritis, melainkan juga ancaman hilangnya kebebasan warga negara untuk mengetahui kebenaran. Pemerintah juga sesungguhnya dirugikan karena mekanisme checks and balances menjadi tidak berjalan.

Ketika berita tentang penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, atau kebijakan kontroversial suatu pemerintahan serta institusi publik lain tidak ditampilkan media, bukan berarti masalah-masalah itu tak ada dan kondisi negara baik-baik saja. Justru sebaliknya, bisa jadi keberadaannya telah disembunyikan atau diabaikan. Ketiadaan berita yang dinilai “buruk” atau “mengancam reputasi” oleh sebagian kalangan bukanlah pertanda stabilitas, melainkan gejala bahwa ada sesuatu yang sedang dikendalikan atau dibungkam. 

Jika media tidak lagi berani memberitakan isu-isu sensitif, ini bisa menjadi pertanda dua hal: pertama, penguasa telah berhasil mengendalikan arus informasi melalui berbagai cara dan instrumen kekuasaannya. Kedua, jurnalis terpaksa membungkam diri karena adanya ancaman. Ketakutan dan intimidasi terhadap jurnalis berupa kriminalisasi, ancaman fisik, hingga serangan digital menjadi faktor utama yang menyebabkan absennya berita-berita kritis tentang penguasa.

Secara psikologis, saat jurnalis merasa keselamatan diri atau media tempat bekerja terancam, mereka cenderung memilih tidak melaporkan isu-isu sensitif dan menggantinya dengan isu-isu lain yang lebih aman. Akibatnya, publik dirugikan karena informasi penting yang seharusnya mereka dapatkan tidak pernah sampai ke permukaan. Ini menciptakan efek ketakutan yang melumpuhkan kebebasan pers secara lebih luas.

Situasi demikian sering terjadi di negara-negara dengan sistem pemerintahan otoriter. Hanya media yang berpihak kepada pemerintah yang dapat bertahan hidup. Pemberitaan yang mengkritik pemerintah dibatasi dengan alasan menjaga stabilitas nasional. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah penghapusan kritik terhadap kebijakan yang merugikan publik. Kebebasan pers dibatasi melalui undang-undang yang memungkinkan pemerintah menjatuhkan hukuman terhadap jurnalis yang dianggap menyebarkan berita yang bertentangan dengan kepentingan negara.

Kondisi tersebut tidak hanya merusak sendi-sendi kebebasan pers, tapi juga menghilangkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan berimbang sebagaimana puluhan tahun terjadi dalam praktik kelam kehidupan bermedia di Indonesia di bawah rezim pemerintahan Orde Baru.

Meskipun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjamin kebebasan pers di Indonesia, ancaman terhadap jurnalis di lapangan masih sering terjadi, baik dalam bentuk ancaman fisik maupun serangan digital. Ketika rezim Orde Baru berganti ke Reformasi, tekanan terhadap media tidak selalu datang dalam bentuk ancaman langsung.

Salah satu bentuk tekanan lain yang lebih halus adalah kooptasi media oleh korporasi besar. Dalam kondisi ini, media tidak lagi menjadi suara independen yang mewakili kepentingan publik, melainkan sekadar corong propaganda yang menyampaikan narasi tertentu.

Kooptasi media ini terjadi melalui penguasaan kepemilikan oleh oligarki atau melalui tekanan ekonomi yang membuat media bergantung pada iklan dari entitas tertentu untuk menopang keberlanjutan media beroperasi. Ketika media sudah dikooptasi, berita yang muncul sering kali tidak lagi mencerminkan realitas yang sebenarnya, melainkan hanya menggambarkan perspektif pihak yang berkuasa.

Dalam kondisi demikian, media tidak perlu lagi diberangus dengan paksaan karena mereka sendiri sudah berfungsi sebagai corong propaganda pihak yang berkuasa. Alih-alih menjadi pengawas yang kritis, media justru memperkuat narasi dominan yang menguntungkan kelompok tertentu. Informasi yang sampai ke publik pun menjadi bias, membuat masyarakat kehilangan perspektif yang lebih beragam dan obyektif.

Insiden teror kepala babi dan bangkai tikus yang disertai pesan ancaman kepada jurnalis Tempo menjadi pengingat bahwa kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi ancaman nyata. Jika intimidasi terhadap pers seperti ini terus dibiarkan tanpa diusut tuntas, termasuk menangkap dalang di belakangnya, dampak paling serius dari situasi ini adalah terlanggarnya hak atas jaminan rasa aman bagi jurnalis serta hak publik atas informasi.

Negara kita memiliki instrumen hukum untuk menindak pelaku intimidasi terhadap jurnalis. Sesuai dengan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap tindakan yang menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai sanksi pidana dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara atau denda hingga Rp 500 juta.

Sekali lagi, demokrasi yang sehat membutuhkan transparansi dan kebebasan informasi. Tanpa kebebasan tersebut, publik menjadi rentan terhadap manipulasi. Masyarakat juga tidak dapat mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan sosial, ekonomi, ataupun politik. Jika media seperti Tempo tidak lagi diberi keluasan fungsi sebagai pengawas, ruang publik akan dipenuhi oleh informasi yang dikendalikan, bukan fakta yang bermakna. 

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus