Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OPERATOR Internet nasional harus bersiap menghadapi masuknya Starlink sebagai pesaing kuat. Tak ada manfaatnya para pemain lokal terus berkeluh kesah. Sebab, disrupsi teknologi Starlink tak terhindarkan. Mereka perlu segera membenahi layanan dan menjalankan inovasi agar tak tertinggal oleh pemain asing tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada April 2024, Starlink yang dioperasikan SpaceX, perusahaan milik konglomerat Amerika Serikat, Elon Musk, mengantongi dua izin sebagai penyelenggara jaringan Internet, yakni izin penyelenggara jaringan tetap tertutup atau VSAT serta layanan Internet. Kedua izin tersebut membuat Starlink bersaing langsung dengan grup Telkom, First Media milik grup Lippo, MyRepublic dari Sinar Mas, IconNet milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), serta ratusan operator lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Starlink hanya bisa beroperasi di Indonesia sebagai penyedia backhaul atau infrastruktur pendukung untuk penyedia Internet lokal. Starlink bekerja sama dengan Telkomsat—perusahaan afiliasi PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau Telkom. Dari awalnya menjadi mitra, Telkom kini harus bersaing dengan Starlink yang memiliki teknologi satelit orbit rendah. Teknologi itu belum bisa disaingi operator lain.
Dari kacamata konsumen, masuknya Starlink tentu menghadirkan pilihan baru. Selama ini konsumen mengeluhkan layanan operator lokal yang cenderung sewenang-wenang menerapkan tarif tanpa memberikan layanan yang sepadan. Bukan hal baru jika muncul keluhan bahwa kecepatan sambungan Internet dari operator lokal tak seperti yang dijanjikan. Alih-alih mendapatkan nilai tambah yang menguntungkan, banyak konsumen yang mengeluh lantaran operator lokal kerap “memaksakan” penjualan paket layanan dengan harga tertentu yang sebenarnya tak diperlukan.
Masuknya Starlink juga membuka peluang tersedianya akses Internet bagi kawasan pedalaman. Di daerah Indonesia timur, seperti Maluku dan Papua, tarif Internet sudah tak masuk akal. Bukan hanya warga biasa, perusahaan perkebunan, pertambangan, hingga perminyakan juga bertahun-tahun menghadapi masalah serupa. Operator Internet memungut biaya yang kelewat mahal, tak sepadan dengan layanannya. Publik pun tak bisa terus menunggu pemerintah membangun infrastruktur seperti serat optik ataupun menara pemancar, yang belakangan menjadi proyek koruptif.
Pemerintah dan pelaku industri telekomunikasi lokal semestinya tidak melihat Starlink sebagai ancaman, melainkan bahan bakar untuk terus berkembang. Disrupsi teknologi satelit orbit rendah tak perlu dimusuhi, melainkan dipelajari agar menghasilkan produk inovatif. Kita baru bisa berbangga tatkala produk nasional bisa mengalahkan teknologi asing, bukannya terjebak nasionalisme semu atau sikap protektif dan antipersaingan, yang bertentangan dengan kepentingan konsumen.
Meski begitu, Starlink masih harus membuktikan bahwa layanan yang mereka sediakan bisa memuaskan konsumen. Demikian pula model bisnis yang mereka terapkan, apakah mematuhi asas-asas persaingan yang sehat atau mereka malah berlaku curang dalam jangka panjang. Kekhawatiran banyak pihak terhadap model predatory pricing yang memberikan harga murah di awal demi penguasaan pasar mesti menjadi perhatian pemerintah. Ketika hal ini terjadi, jangan sampai Starlink bisa melenggang bebas dan pada akhirnya merugikan semua pihak.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Untung-Rugi Ekspansi Starlink"