Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dulu ada peribahasa pagar 'makan tanaman'.
Sekarang ada pagar di laut yang boleh disebut 'pagar makan lautan'.
Masih misteri siapa yang sebenarnya membangun pagar laut itu.
SELAMA ini ada istilah populer “pagar makan tanaman”. Tapi itu hanyalah peribahasa, sesuatu yang harus diartikan secara tak tersurat. Juga misteri karena tak masuk akal. Dan sekarang, jika ada pagar di laut, boleh juga disebut “pagar makan lautan”. Sama-sama misteri dan lebih tak masuk akal lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagar laut membentang sejauh 30 kilometer dari Desa Muncung hingga Pakuhaji di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Pagar dari bambu setinggi sekitar 6 meter itu dilengkapi anyaman, juga dari bambu, dengan pemberat karung pasir. Sepintas seperti pemecah ombak sehingga, jika ada gelombang besar, air laut tidak menggerus daratan. Pagar yang bisa menyelamatkan daratan dari abrasi, bahkan tsunami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang yang paham ombak laut tentu tertawa. Bagaimana mungkin pagar dari bambu bisa kuat menahan gelombang. “Pagar laut” yang setengah berhasil sudah dibangun di sepanjang laut Pantai Sanur, Bali. Itu dari beton yang kuat. Disebut setengah berhasil karena masih bisa pula diterjang gelombang besar sehingga pesisir Pantai Sanur tergerus pelan-pelan. Di seberang pantai Tanah Lot, juga di Bali, “pagar laut” dibuat dari balok-balok beton besar dan cukup berhasil sehingga Pura Luhur Tanah Lot yang ada di laut bisa selamat dari amukan ombak besar. Pagar di Tangerang cuma ditancapi bambu.
Pagar bambu untuk menyelamatkan daratan sudah terbantahkan. Lalu muncul dugaan, jangan-jangan itu untuk penanda akan ada reklamasi memperluas daratan. Di seberang pagar bambu misterius itu ada proyek pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) jilid 2 (jilid 1 sudah dibangun di kawasan Jakarta Utara). Proyek ini oleh Presiden Joko Widodo pada akhir jabatannya dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang berarti harus mendapat prioritas, baik izin maupun pendanaan. Nah, jangan-jangan PIK 2 mau memperluas daratannya dengan reklamasi. Tapi ini langsung dibantah. “Bukan kami yang memasang,” kata kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid. "Untuk wilayah laut, kami enggak ada kepentingan. Sebab, pagar itu berlokasi di luar wilayah PIK ataupun PSN," ucapnya. Agung Sedayu adalah pemilik PIK 2.
Lalu siapa yang membuat pagar itu? Ada yang mau pasang badan, yakni organisasi para nelayan yang menyebut namanya Jaringan Rakyat Pantura (JRP). Dalam suatu jumpa pers, pimpinan JRP menyebutkan pagar itu dibuat secara swadaya dengan tujuan sebagai tanggul untuk memitigasi bencana. Ya, bencana abrasi dan tsunami itu. Ini lucu, dan memang misteri terbaik pasti ada unsur lucunya. Dari mana JRP mendapatkan duit dan kapan organisasi itu didirikan? Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang Jainudin mengaku baru mendengar nama JRP. Berdasarkan catatannya, ada 4.000 nelayan tradisional di Tangerang dengan tiga organisasi, yakni Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, dan Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama.
Ayo lupakan segala misteri itu. Meski kita penasaran kenapa pagar yang dibuat pada Juli tahun lalu itu kok tidak ketahuan siapa yang membuat. Kita punya Kementerian Kelautan. Sebutlah itu terlalu jauh di pusat. Tapi kan ada bupati, camat, kepala desa, lalu ada babinsa (dari kepolisian), serta koramil (dari TNI). Apa mereka tak tahu ada orang yang menggotong ribuan bambu ke laut?
Ada hal mendasar lagi soal siapa pemilik lautan. Dalam tradisi budaya Nusantara, laut adalah sesuatu yang sakral, sumber kemakmuran dengan unsur air di dalamnya. Air laut menguap ke langit, lalu langit menurunkan hujan, ditampung danau dan akar pohon untuk kemakmuran bumi. Sisa air dialirkan sungai kembali ke laut. Laut, langit, danau, hutan, dan sungai adalah satu kesatuan yang harus dimuliakan. Karena itu, akses ke laut tak boleh terputus. Juga laut pantang ditimbun jika bukan untuk kebaikan umat.
Singkatnya, jangan memperkosa laut. Sucikan dengan “sedekah laut” dan sejenisnya. Karena itu, pantai sebagai akses menuju laut harus selalu terbuka dan tak bisa dimiliki secara pribadi. Kearifan tradisi lokal ini pernah dirusak di Bali. Saat itu ada hotel di pinggir pantai yang melarang orang berjalan atau bermain di pantai depan hotelnya. Syukur hal ini sudah tak ada lagi. Begitu pula rencana reklamasi Teluk Benoa oleh pengusaha Tomy Winata yang sudah disetujui pusat, ditolak keras di Bali.
Presiden Prabowo Subianto sudah tepat meminta agar pagar laut di Tangerang segera dibongkar. Dan kita berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan betul-betul menjaga laut. Jadikan misteri pagar laut Tangerang sebagai pelajaran berharga bahwa kita selama ini tak serius menjaga alam. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo