Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASRAT Jakiw Palij untuk menghabiskan sisa hidupnya di Negeri Abang Sam pupus. Momen perpisahan bagi pria 95 tahun ini datang tanpa diduga saat petugas Badan Imigrasi dan Bea-Cukai menggerebek kediamannya di Jackson Heights, Distrik Queens, New York, Amerika Serikat, Senin petang dua pekan lalu. Palij dipaksa angkat kaki dari rumah yang ditempatinya sejak 1966 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tetangga menyaksikan bagaimana Palij, hanya dengan pakaian yang melekat pada tubuhnya dan topi pet cokelat yang menutupi rambut putihnya, ditandu keluar dari rumah bata merah dua lantai bernomor 33-18 di 89th Street. Petugas membawanya pergi dengan ambulans. "Pria itu pantas mendapatkannya," kata seorang tetangga Palij, Adam DiFilippo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Palij tampak lemas saat digotong ke luar rumah. Dia dibawa langsung ke Bandar Udara Teterboro, New Jersey, dan diterbangkan ke Duesseldorf, Jerman. Ia lalu diangkut ke fasilitas perawatan lanjut usia di Kota Ahlen, dekat Muenster.
DiFilippo dan beberapa tetangga masih kaget melihat Palij diciduk dalam kondisi tak berdaya. Di Jackson Heights, salah satu kantong permukiman kaum pendatang di New York, Palij dikenal sebagai imigran pensiunan. Masa senja pria kelahiran Piadyki, Polandia (kini termasuk wilayah Ukraina), pada 1923 itu dihabiskan untuk merawat istrinya, Maria, 86 tahun, yang sakit.
Pria pendiam yang rajin mengurus rumah itu saban hari terlihat membersihkan halaman dan tak sungkan merapikan sampah yang berantakan di rumah sebelah. Setiap pagi, saat bertemu dengan tetangga yang melintas, Palij selalu tersenyum dan menyapa "selamat pagi" dengan logat Polandia yang kental. Bahkan, sejak menjadi warga senior di Jackson Heights, "Ia masih menjalani hobinya mengotak-atik mobil jadul kesayangannya," tulis New York Post.
Sejak pindah ke sana, Palij sebenarnya telah hidup tenang. Ketenangan itu mulai terusik pada 1993, saat penyelidik federal, yang melacak keberadaan orang-orang bekas anggota Nazi Jerman yang ngumpet di negeri itu, mengendus jejak Palij dan mengenalinya. Sejak itu, masa lalu Palij yang tersimpan puluhan tahun terungkap. Kelompok Yahudi dan kelompok lain sering berunjuk rasa di depan rumah Palij. Dalam beberapa kejadian, ada orang tak dikenal yang melempar batu bata ke jendela rumah itu.
Toh, putra mendiang pasangan yang menjual rumahnya kepada Palij pada 1966 tetap terkejut saat mengetahui pria pendatang dari Eropa itu dideportasi karena rekam jejaknya sebagai pengikut Adolf Hitler terbukti. "Jika ayah saya tahu siapa dia sebenarnya, saya tidak yakin (Palij) akan keluar dari rumah itu dalam keadaan hidup," ujar DiFilippo. Ayah DiFilippo adalah penyintas Holocaust, pembantaian jutaan orang Yahudi oleh Nazi selama Perang Dunia II.
PADA musim semi 1945, ketika Perang Dunia II memasuki pekan-pekan terakhir di Benua Biru, pasukan Amerika Serikat mendapati pemandangan yang mengerikan. Saat membebaskan kamp konsentrasi Nazi di Dachau dan Nordhausen, Jerman, serta sejumlah kamp lain, mereka menemukan orang-orang Yahudi yang hidup dalam kondisi mengenaskan.
Tentara Amerika dan sekutunya juga menangkap ribuan serdadu Nazi dan menghukum mereka sebagai penjahat perang. Tapi ada yang lolos. Sejumlah pentolan Nazi sempat kabur dan menjadi sasaran perburuan internasional. Adolf Eichmann, perwira pasukan elite Nazi, Schutzstaffel (SS), misalnya, ditangkap agen Mossad dan Shin Bet Israel di Argentina pada 1960. Eichmann kemudian diadili dan dihukum mati.
Pelaku lain yang kurang dikenal memilih menyaru sebagai korban Nazi dan berimigrasi ke negara-negara Eropa dan Amerika, seperti Jakiw Palij. "Ada ratusan ribu pelaku kejahatan Nazi dan sebagian besar tidak pernah meninggalkan Eropa," kata Eli Rosenbaum, Direktur Divisi Hak Asasi Manusia dan Penuntutan Khusus Departemen Kehakiman Amerika, agen pemburu Nazi yang melacak Palij.
Departemen Kehakiman mengidentifikasi Palij sebagai bekas penjaga kamp konsentrasi Nazi di Trawniki, Polandia. Nazi, yang menginvasi Polandia pada 1939, merekrut pemuda non-Yahudi di sana untuk menjadi serdadu, termasuk Palij. Pada 1943, Palij dikirim ke kamp Trawniki dan dilatih sebagai penjaga dengan nomor 3505.
Dalam dokumen yang diajukan ke pengadilan, Departemen Kehakiman menyatakan bahwa mereka yang dilatih di Trawniki, seperti Palij, dianggap berpartisipasi dalam "Operasi Reinhard", rencana Nazi untuk memusnahkan kaum Yahudi di Polandia. Adolf Eichmann memimpin operasi ini.
Pada 3 November 1943, lebih dari 6.000 pria, wanita, dan anak-anak Yahudi yang ditahan di kamp Trawniki dipaksa menggali kuburan mereka sendiri. Di tangan algojo SS, mereka ditembaki sampai mati. Ini salah satu pembantaian tunggal terbesar dalam Holocaust. Palij memang tidak dituduh terlibat langsung dalam eksekusi massal tersebut. Namun, selama menjadi penjaga, ia bertugas memastikan setiap tahanan tidak kabur.
Menurut Rosenbaum, ribuan korban dipaksa mendengarkan jam demi jam suara tembakan dan jeritan terakhir korban saat dieksekusi. "Selama satu hari yang mengerikan itu, semua tahanan kamp Nazi yang dijaga Jakiw Palij secara sistematis dibantai," ucapnya.
Seusai peristiwa pembantaian di Trawniki, Palij dipromosikan menjadi prajurit penjaga kelas I. Ia tergabung dalam kesatuan SS Battalion Streibel. Pada 1949, empat tahun setelah Nazi keok dalam Perang Dunia II, Palij kabur ke Amerika. Berbekal visa yang dikeluarkan Amerika berdasarkan Undang-Undang Orang yang Dipindahkan, aturan yang disusun untuk membantu para pengungsi dari Eropa pascaperang, Palij masuk Amerika lewat Boston.
Dalam dokumen imigrasinya, Palij mengaku sebagai petani yang menggarap lahan ayahnya di Piadyki selama masa perang. Kepada petugas imigrasi saat itu, Palij juga mengatakan bahwa ia menyambi kerja di sebuah pabrik Jerman. Dalihnya cukup ampuh. Palij pun mendapatkan status kewarganegaraan Amerika.
Selama puluhan tahun, Palij menyimpan rapat masa lalu kelamnya hingga tim pemburu Nazi menemukan namanya dalam daftar buron pada 1993. Ketika penyelidik muncul di depan pintu rumahnya, Palij tidak dapat berkelit. "Saya tidak akan pernah menerima visa jika saya mengatakan yang sebenarnya. Semua orang berbohong," ujarnya kepada penyelidik kala itu.
Pemulangan Jakiw Palij adalah buntut dari perburuan yang panjang. Pada 1970-an, pemberitaan media dan dengar pendapat Kongres membuat rakyat Amerika sadar bahwa banyak penjahat Nazi tinggal di negara mereka. Sejak 1979, Departemen Kehakiman berupaya mengidentifikasi kaum fasis itu dan menyeret mereka ke pengadilan.
Efraim Zuroff, Direktur Pusat Kajian Simon Wiesenthal di Yerusalem, yang memburu kaum Nazi sejak 1978, memperkirakan ada 10 ribu kolaborator Nazi masuk Amerika secara ilegal setelah Perang Dunia II. Ratusan lainnya tersebar di berbagai negara, termasuk sebagian besar di Austria dan Jerman. "Ada banyak anggota Nazi di luar sana yang lahir setelah 1920 dan masih hidup," katanya.
Bagi penegak hukum, perburuan Nazi termasuk investigasi yang paling menantang. Jejak orang-orang Nazi makin kabur seiring dengan waktu. Saksi-saksi telah mati di tangan Nazi atau meninggal sejak perang berakhir. Nazi juga menghancurkan banyak dokumen yang memberatkan mereka.
Dalam kasus Jakiw Palij, pencabutan kewarganegaraan tak otomatis menyelesaikan persoalan. Pada 2003, hakim federal menyetip status kewarganegaraannya setelah ia terbukti berbohong dalam proses naturalisasi. Hakim juga memerintahkan ekstradisi Palij ke Polandia, Ukraina, atau Jerman pada 2004. Namun tiga negara itu menolak menerimanya.
Kebuntuan diplomatik itu berakhir pada era Presiden Donald Trump. Palij tercatat sebagai satu-satunya penjahat Nazi yang masih hidup di Amerika dan Trump ingin dia segera didepak. Keinginan itu mendapat respons positif dari pemerintah baru Jerman, yang terbentuk pada Maret lalu. "Dia sudah pergi. Dia kembali ke Jerman," ujar Trump.
Mahardika Satria Hadi (Jewish Virtual Library, The Telegraph, Quartz)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo