DALAM Laporan Utama TEMPO 12 Juli, tentang orang Minang, banyak hal yang telah dicoba diketengahkan. Meskipun sebagian besar dari masalah yang dikemukakan tidak menjadi asing buat orang Minang, bisa jadi baru buat orang Indonesia yang bukan Minang. Saya ingin mengomentari, karena ada sesuatu yang mengganjal, yang mungkin, bisa disalahartikan atau kurang tepat ditafsirkan. 1. Diperkirakan, orang Minang di rantau sama banyaknya dengan yang di Sumatera Barat. Di DKI Jakarta saja (belum ada sensus) terdapat setengah juta lebih orang Minang, begitu pula di Jawa Barat dan, mungkin, kurang sedikit di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Di Sumatera Utara terutama Medan, orang Minang termasuk salah satu suku yang membentuk kultur Kota Medan, di samping orang Melayu Deli, Batak, Aceh, dan Jawa. Saya belum dapat mengerti dari mana TEMPO memberikan persentase 15% pergi merantau (paling besar ke Jakarta 3,7%). Belum lagi yang ada di Riau, Jambi, Bengkulu, Sum-Sel Sulawesi, Maluku, yang pada masa lalu dan kini sudah menjadi daerah rantau Minang. Kalau TEMPO membaca buku Dr. Mochtar Naim (Migrasi Orang Minangkabau), akan banyak ditemukan data yang menyangkut pola merantau orang Minang. 2. Saya percaya, Kolonel (pur) Ahmad Husein telah banyak berbicara kepada TEMPO. Namun sayang, hanya sedikit sekali yang dimuat, sehingga tidak begitu menjelaskan betul pertanyaan apakah PRRI memang yang telah menjadikan orang Minang tidak mau mengaku Minang karena "kalah perang". Saya ingat, ada satu istilah yang dikemukakan seorang cendekiawan Minang, Dr. Amir, dengan menyebutnya sebagai Minang Complex. Istilah ini pernah dikutip HAMKA dalam tulisannya tentang Minangkabau yang diartikan bahwa terjadi suatu perubahan kejiwaan dalam diri perantau Minang setelah mereka di rantau dan mengalami proses akulturasi dengan budaya yang mereka temukan di rantau. Kadang kala, mereka bersikap menentang apa yang mereka peroleh di kampung halaman dan mau bersekutu dengan budaya "Indonesia" di tanah rantau. Tapi mereka sangat tidak menyukai bila ada orang yang mencaci atau merendahkan Minangkabau. 3. Bagi saya -- ketika PRRI berdiam di Sum-Bar dan merasakan perang -- pemberontakan PRRI bukanlah suatu kekalahan. Saya lebih cenderung melihatnya sebagai salah satu proses pertumbuhan bangsa. Masa awal, memang, periode yang rawan dalam perkembangan satu institusi. Saya melihat hikmah pemberontakan PRRI -- dan pemberontakan lainnya: Permesta -- sebagai satu tesa yang kemudian menimbulkan antitesa dan lalu mewujudkan sintesa, seperti keadaan yang kita temukan sekarang ini. Sekiranya tidak ada pergolakan di daerah, bukan tidak mungkin komunis telah lama menguasai Indonesia. Sekiranya . . . dan sebagainya. Pemberontakan dapat dihargai sebagai suatu sikap, dan sikap merupakan perwujudan dari cita-cita. Nah, kalau kemudian satu cita-cita tidak tercapai karena kalah perang, bukanlah berarti suatu sikap menjadi sesuatu yang salah, perang hanya salah satu pilihan dalam menyelesaikan konflik. Si pemenang perang bukanlah si empunya kebenaran. 4. Kalau para pelaku sejarah itu berbicara mungkin akan dapat membantah "kesimpulan" TEMPO yang agaknya kurang relevan, "orang Minang tak pernah menang perang" (Orang Minang Tak Mau Kalah). Apakah Mayor Djohan kalah perang di Batang Anai, atau di Matur? Beliau bisa menjawabnya. Kalaupun kemudian PRRI ternyata kalah total dan para pemimpin politik dan militernya menyerah, saya meragukan apakah kemudian orang Minang kalah perang? (Bagaimana dengan Imam Bonjol dan Batalyon Pagaruyung?). Bagaimana peran Kolonel Zulkifli Lubis, Maludin Simbolon, yang basis PRRI-nya di Sum-Bar? Bagaimana peran penerbang Minang yang ikut APRI (Angkatan Perang RI) dengan pesawat Mustang mengebom Bukittinggi dan daerah pemberontakan lainnya? 5. Sejarah orang Minang di bidang militer memang mengalami perubahan setelah pemberontakan. Mungkin, sekarang hanya ditemukan purnawirawan yang sudah beralih profesi menjadi pengusaha atau bidang nonmiliter. Tapi pada awal kemerdekaan orang Minang dapat mengisi bidang militer seperti: O.B. Sjaaf, Daan Yahya, Nazir, Rusli (orangtua Harry Rusli), dan, mungkin, banyak lagi di rumpun Siliwangi yang berasal dari Batalyon Pagaruyung. Kita pun mengakui dari para pendahulu ini, militer baginya bukanlah sebagai tempat lapangan kerja tapi tempat idealisme keprajuritan. 6. Hal yang penting dibuka TEMPO ialah soal hilangnya sistem pemerintahan nagari di Minangkabau. Saya termasuk orang yang sangat menyayangkannya. Seingat saya, ketika Mendagri masih Amirmachmud, beliau menjanjikan dalam suatu kunjungan ke Sum-Bar -- masih dalam masa Gubernur Ir. Azwar Anas -- bahwa sistem nagari tidak akan diubah. Toh, kemudian diganti dengan sistem pemerintahan desa, tanpa gembar-gembor atau ada yang memprotes. Agaknya, ada sesuatu yang dipaksakan, dan karena itulah -- sekali lagi -- orang Minang harus diam. Bahwa tidak efektifnya sistem desa sekarang ini bukan lagi rahasia bagi masyarakat Sum-Bar. Adakah masyarakat Minang yang membahas hal ini? 7. Melaporkan satu kultur memang bagai menulis tesis, dan tak cukup pendek. Apa yang telah dilaporkan TEMPO memang sesuatu yang Indonesia, maka, perlu pula ditelaah kultur lain. Bahwa Indonesia ini bukan hanya satu kultur dari jumlah kepala terbanyak. Bahwa isi kepala juga memegang peranan perlu pula diketengahkan. ZULHASRIL NASIR Kompleks Gama Setia, Cimanggis Depok, Bogor Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini