SEKALIPUN pemilu semakin dekat, bagi PPP tampaknya tak ada alasan untuk tidak ricuh. Pertentangan dua kubu antara Soedardji, salah seorang ketua DPP-PPP, dan ketua umumnya, J. Naro, tetap saja membara. Dan dua pekan lalu, akhirnya turun juga keputusan DPP untuk memecat ketua FKP itu dari kepengurusan partai. "Sebenarnya kami dengan berat hati melakukan," ujar Mardinsyah, Sekjen PPP, "Tetapi ia sudah bertindak terlalu jauh. Kalau dalam negara, misalnya, Dardji sudah melakukan pemberontakan." Mardinsyah kemudian menguraikan tindakan Soedardji yang memberontak itu, antara lain, "menerima pernyataan dari DPW-DPW yang tidak sah." Pernyataan 15 DPW-PPP tanggal 10 Juli itu meminta kepada Soedardji agar menonaktifkan Naro dan membentuk DPP-PPP baru. Soedardji sendiri agaknya acuh tak acuh akan pemecatan itu. "Saya masih merasa sebagai Ketua DPP," ujarnya. Bahkan dalam suratnya -- dengan kop DPP-PPP -- yang ditujukan kepada pengurus wilayah dan cabang ia menganggap SK Naro itu tidak sah. "SK itu hendaknya dianggap tidak ada, sebab yang bersangkutan sudah tidak lagi bertindak atas nama DPP-PPP," ujar surat itu. Pemecatan tak hanya terjadi diJakarta. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Attabik Ali, Ketua DPW-DIY ini, pekan lalu dinonaktifkan dari jabatannya oleh Naro. Menurut Mardinsyah, ada delapan "dosa" yang telah diperbuat Attabik yang sebenarnya masih bisa diampuni bila yang bersangkutan mau minta maaf. "Dosa-dosa" putra K.H. Ali Maksum, bekas rais am NU, itu di antaranya, "Selalu mendiskreditkan DPP dan ketua umum partai dalam kegiatan dan rapat resmi DPW," ujar Mardinsyah. Selain itu, Attabik juga dianggap ikut dalam kegiatan Soedardji di DPR yang dinilai Mardinsyah, "Menimbulkan keresahan dalam partai." "Saya akan jalan terus," ujar Attabik yang kepengurusannya oleh Naro sudah digantikan Nyonya Umroh Tolchah Mansur. Ia tidak menolak ketika dikatakan dekat dengan Soedardji, "Hingga kini Soedardji sah sebagai ketua, saya mengakui, sementara Naro tidak lagi," katanya tegas. Nada optimistis juga disuarakan Soedardji, "Sekarang terbuka kesempatan untuk membersihkan kepemimpinan Naro, saya akan fight back." Seperti biasa, Soedardji ngotot. Langkah Naro ini, katanya, melanggar status quo yang sudah disepakati di dalam pertemuan dengan Kopkamtib 17 Juni 1985. Menurut Mustafa Hafas, salah seorang wakil ketua PPP yang pro-Dardji, pertemuan yang dipimpin oleh Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani itu dihadiri oleh Mendagri Soepardjo Rustam serta Naro, Soedardji, Syarifuddin Harahap, Imam Sofwan, Mardinsyah. dan H.B.T. Achda. Selesai pertemuan itu Mendagri menyatakan bahwa PPP dinyatakan status quo. Artinya, tidak akan ada perubahan-perubahan dalam susunan personalia. Perkembangan terakhir di PPP ini sebenarnya tak lepas dari makin dekatnya deadline daftar calon anggota DPR yang tinggal satu setengah bulan lagi. Nama-nama Soedardji, Ismail Mokobombang, Syarifuddin Harahap, dan Zamroni, misalnya, yang dianggap pemberontak oleh Naro, memang tak dicalonkan lagi. Dardji sendiri maklum, "jelas dong, nama saya nggak akan ada di daftar Naro," katanya. "Saya sudah buat daftar pencalonan sendiri." Ketika hal ini dikonfirmasikan ke Mardinsyah, sambil tertawa ia berkata, "Daftar itu mau lewat mana?" Seakan menjawab pertanyaan itu, ujar Dardji, ya lewat PPP. Menurut sebuah sumber, diam-diam di kantung Dardji sudah tersusun susunan DPP-PPP baru. Daftar itu kabarnya mendudukkan Soedardji sebagai ketua umum, sedang personalia inti lain, di antaranya gang-nya di DPR selama ini dan Nuddin Lubis, Wakil Ketua DPR. "Saya belum dengar adanya DPP baru. Siapa yang menyusun?" tanya Nuddin. Soedardji juga belum mau berkomentar banyak. "Tunggu saja pekan-pekan ini pasti ada tindakan," katanya. PPP memang unik, sementara kontestan lain bersiap-siap kampanye, mereka malah bentrok terus. A. Luqman Laporan Biro Jakarta & Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini