Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENETAPAN lima direktur Asian Agri Group sebagai tersangka kasus manipulasi pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak merupakan sebuah langkah maju. Setelah empat bulan tanpa kabar—sejak tim investigasi pajak menggerebek kantor Asian Agri di Medan dan Jakarta—keputusan ini sedikit memupus keraguan khalayak akan keseriusan aparat mengusut dugaan tindak pidana pajak oleh perkebunan milik taipan Sukanto Tanoto itu.
Perhatian penuh perlu diberikan untuk kasus pajak terbesar sepanjang sejarah negeri ini. Apalagi, hasil penyidikan terhadap 14 perusahaan menunjukkan kapal induk bisnis terbesar kedua dalam kelompok usaha Raja Garuda Mas itu memanipulasi isi Surat Pemberitahuan Tahunan pajak sepanjang tiga tahun sejak 2002. Modusnya: menggelembungkan biaya, menggendutkan kerugian transaksi ekspor, dan menciutkan hasil penjualan dengan total nilai Rp 2,6 triliun. Tujuannya meminimalkan profit untuk menekan beban pajak.
Alhasil, negara kehilangan penerimaan pajak penghasilan sekitar Rp 786 miliar. Padahal, jika masuk ke brankas negara, duit sebesar itu bisa dipakai untuk membiayai penuh hampir setengah miliar siswa Sekolah Dasar selama setahun. Karena itu, sudah tepat jika aparat Pajak mendakwa para petinggi Asian Agri dengan hukuman berat plus denda maksimal empat kali jumlah pajak terutang.
Diharapkan langkah tim Pajak tak cukup sampai di sini saja, sebab yang dijaring dakwaan baru tokoh-tokoh “figuran”. Lima direktur yang ditetapkan sebagai tersangka hanyalah para operator lapangan. Sedangkan para aktor utama, master mind dari aksi patgulipat itu—bisa saja nama mereka tak tercatat resmi di jajaran direksi—tetap tak terjamah.
Tak sulit mencari sang aktor. Puluhan dokumen dan ratusan surat elektronik internal perusahaan yang telah disodorkan mantan Group Financial Controller Asian Agri, Vincentius Amin Sutanto, kepada tim Pajak dan Komisi Pemberantasan Korupsi bisa dijadikan acuan. Di situ tergambar jelas bagaimana berbagai upaya “penghematan pajak” dibuat oleh sejumlah tangan kanan Sukanto. Vincent membongkar aib ini setelah tak mendapat pengampunan dari sang taipan atas aksinya membobol rekening Asian Agri senilai US$ 3,1 juta di Bank Fortis, Singapura.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, tergambar pula bahwa uang hasil penghematan pajak itu dialirkan dari Indonesia ke sejumlah perusahaan afiliasi Asian Agri di luar negeri seperti Hong Kong, Makao, Mauritius, dan British Virgin Island lewat sejumlah transaksi. Dalam transaksi hedging alias lindung nilai, misalnya, dibuat seolah-olah perusahaan Asian Agri di Indonesia selalu rugi. Akibatnya, harus ada pembayaran ke perusahaan luar negeri.
Modus lainnya lewat transfer pricing. Produk minyak sawit dijual dengan harga murah ke perusahaan afiliasi di luar negeri, baru kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan cara itu, perusahaan terhindar dari kewajiban membayar pajak tinggi di dalam negeri. Ujung-ujungnya, semua dana itu disangka mengalir ke brankas Sukanto dan keluarganya.
Dari adanya aliran dana ini patut diduga telah terjadi praktek pencucian uang atas hasil tindak pidana pajak Asian Agri di Indonesia selama bertahun-tahun. Karena itu, fokus penyidikan hendaknya diperluas, tak hanya menyangkut soal dugaan penyimpangan pajak, melainkan juga indikasi pencucian uang. Orang terkaya di Indonesia pada 2006 versi majalah Forbes ini benar-benar di ujung tanduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo