Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGESAHAN Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) menandai era baru pengaturan sistem keuangan kita. Selain menyediakan regulasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan sejumlah sektor bisnis baru, undang-undang omnibus ini mengandung risiko karena pemerintah memegang kuasa besar di sektor keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 15 Desember lalu, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang PPSK yang idenya mengemuka sejak lebih dari lima tahun lalu. Berawal dari rencana revisi aturan Jaring Pengaman Sistem Keuangan serta perubahan aturan sejumlah lembaga dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, sampai Lembaga Penjamin Simpanan, pemerintah dan DPR kemudian merancang undang-undang omnibus sebagai aturan besar yang bisa mengakomodasi semuanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munculnya pelbagai kejadian, seperti gejolak pasar keuangan global 2008, kasus Bank Century, dan pandemi Covid-19, memang menegaskan perlunya sebuah protokol baru yang memperpendek jalur koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter dalam menangani krisis keuangan. Di titik ini, memang semestinya ada aturan yang menetapkan satu “jenderal” yang mampu mengontrol semuanya dengan ligat. Karena itu, Undang-Undang PPSK yang memberikan kewenangan besar kepada Menteri Keuangan menjadi penting karena memperjelas siapa yang menjadi penentu keputusan ketika krisis keuangan mengancam.
Kebutuhan aturan baru pun makin mendesak setelah industri mutakhir seperti teknologi keuangan, modal ventura, perdagangan karbon, dan bisnis yang berisiko besar, misalnya bursa uang kripto, bertebaran bak cendawan di musim hujan. Dalam regulasi lama, tak jelas siapa yang menjadi pengawas dan pengendali semua sektor ini sehingga konsumen ada di posisi rawan. Karena itu, omnibus law keuangan menempatkan OJK sebagai otoritas serbaguna yang wajib mengawasi dan mengendalikan semua sektor yang mendatangkan risiko bagi sistem keuangan.
Namun UU P2SK juga tak luput dari celah yang justru membahayakan sistem keuangan. Misalnya aturan tentang pembelian obligasi negara oleh BI di pasar perdana. UU P2SK mengamanatkan protokol ini hanya bisa ditempuh apabila kita berada dalam krisis keuangan. Kondisi krisis harus ditetapkan oleh presiden berdasarkan rekomendasi dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Protokol ini hanya bisa efektif mengobati krisis jika memang keputusannya ditentukan dengan variabel-variabel ilmiah. Namun yang terjadi bisa sebaliknya jika presiden selaku penentu kondisi krisis mendasarkan keputusannya semata-mata karena pertimbangan politik atau kepentingan kelompoknya.
Aturan tentang pimpinan otoritas keuangan seperti BI, LPS, dan OJK juga perlu diwaspadai. Setelah melalui polemik, Undang-Undang PPSK akhirnya menyatakan gubernur dan anggota dewan gubernur BI, komisioner OJK, dan komisioner LPS bukan kader partai politik aktif. Tapi ancaman akan independensi lembaga-lembaga itu tetap terbuka manakala orang yang terpilih adalah mantan kader partai atau birokrat yang bersikap seperti kader partai. Walhasil, perlu sistem dan mekanisme pengawasan yang bisa menjamin para pemimpin lembaga itu bekerja secara jujur, profesional, dan tidak berpihak kepada kepentingan kelompok tertentu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo