Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR mengesahkan UU PPSK pada 15 Desember 2022.
Wacana mengubah aturan sektor keuangan sudah lama muncul, tapi baru terwujud tahun ini.
Pembahasan UU PPSK hanya memakan waktu tiga bulan.
DUA kali Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani melayangkan pertanyaan, meminta persetujuan para anggota legislatif tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Dua kali pula ratusan anggota DPR menjawab setuju. “Apakah RUU dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?” Puan memecah keheningan, yang kemudian disambut dengan suara gemuruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, Kamis, 15 Desember 2022, pukul 10.00 WIB, DPR mengesahkan UU PPSK yang bakal mengubah banyak hal di sektor keuangan. Sebanyak 332 dari 575 anggota Dewan yang masuk daftar hadir sidang paripurna terakhir 2022 itu tak lagi mempersoalkan butir-butir dalam aturan berbentuk omnibus law tersebut. Dalam konferensi pers selepas sidang, Puan menyatakan banyak hal dalam UU PPSK yang telah diperbaiki. "Kami berharap setelah ini sektor keuangan bisa lebih baik dari sebelumnya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UU PPSK menjadi omnibus law atau aturan induk yang memuat semua aspek dalam pengaturan sektor keuangan. Undang-undang ini adalah omnibus law ketiga yang diterbitkan DPR dan pemerintah setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. UU PPSK yang berisi 27 bab dan 341 pasal mengubah 17 undang-undang di sektor keuangan, termasuk yang sudah berlaku selama 30 tahun.
Sidang perdana 52 korban asuransi Jiwasraya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, November 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Pengesahan omnibus law keuangan berjalan cukup cepat. Sejak ditetapkan sebagai undang-undang inisiatif DPR pada 20 September lalu, tiga bulan kemudian aturan induk ini disahkan. Kini pemberlakuan ratusan pasal dalam UU PPSK tinggal menunggu paraf Presiden Joko Widodo. Setelah berlaku, UU PPSK menjadi regulasi utama untuk bisnis keuangan, dari bank, lembaga pembiayaan, asuransi, hingga sektor yang relatif baru seperti modal ventura, aset kripto, serta bank emas.
Sejumlah pasal dalam UU PPSK pun menjanjikan penguatan sejumlah sektor. Sebagai contoh, UU PPSK mengamanatkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjamin polis asuransi. LPS sebelumnya menjadi penjamin simpanan masyarakat di bank. Aturan ini sebenarnya sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yang menyebutkan program penjaminan polis akan diatur dalam regulasi yang bakal terbit paling lama pada 2017.
Namun, hingga tenggat yang ditentukan, regulasi itu tak pernah lahir. Padahal makin banyak perusahaan asuransi yang kolaps karena tak mampu membayar tanggungan nasabahnya. “Ini yang diperkuat dalam UU PPSK. Jika nanti ada perusahaan asuransi gagal bayar, masyarakat masih mendapat perlindungan,” tutur Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto dalam diskusi dengan Tempo pada Selasa, 20 Desember lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersama Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia (kedua kanan) berbincang dengan Ketua Komisi XI DPR Kahar Muzakir (kiri) dan Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie Othniel Frederic Palit (kedua kiri) sebelum mengikuti rapat kerja membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 8 Desember 2022. ANTARA/Galih Pradipta
Namun, tak cuma memperkuat sektor keuangan, undang-undang ini memuat pasal-pasal yang membikin khawatir. Salah satunya klausul yang memberikan wewenang kepada Bank Indonesia untuk membeli surat berharga negara (SBN) bertenor panjang di pasar perdana atau pasar primer. Dengan kata lain, pasal ini memberi izin kepada bank sentral untuk mencetak uang demi membiayai belanja pemerintah. Sejatinya pasal ini menjadi protokol untuk menangani krisis keuangan yang membahayakan perekonomian nasional. Ini yang terjadi pada 2020, saat pemerintah terbebani belanja penanganan pandemi Covid-19.
Pada mulanya BI membeli obligasi negara di pasar perdana dengan bunga pasar. Bank sentral saat itu bertindak selaku pembeli siaga manakala investor tak sanggup menyerap obligasi negara. Lalu BI juga membeli obligasi pemerintah dengan bunga diskon hingga bunga nol persen khusus buat mendanai belanja publik seperti kesehatan dan jaminan sosial selama masa pandemi. BI melakukan hal ini karena penerimaan negara anjlok habis-habisan di masa pagebluk. Ini yang dikenal sebagai skema burden sharing, pembagian beban pendanaan anggaran antara pemerintah selaku otoritas fiskal dan BI sebagai pemegang kuasa bidang moneter.
Sejak burden sharing berlaku lewat surat keputusan bersama I-III BI dan Kementerian Keuangan, angka pembelian SBN mencapai Rp 473,42 triliun pada 2020, kemudian turun menjadi Rp 215 triliun pada 2021 dan tahun ini bakal mencapai Rp 224 triliun. Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Haryo Kuncoro, menyebutkan skema berbagi beban ini seharusnya cuma berlaku saat diperlukan atau bersifat on-off policy. "Tapi dengan UU PPSK berubah menjadi nonstop policy," ucapnya.
UU PPSK menetapkan pembelian SBN di pasar perdana oleh BI bisa langsung dilakukan jika presiden menetapkan negara dalam keadaan krisis. Persoalannya ada potensi moral hazard dalam penetapan status krisis. Menurut Haryo, UU PPSK tidak secara jelas mengatur kriteria status krisis tersebut sehingga definisinya bisa multitafsir. Bahkan, dia menambahkan, status krisis bisa dipakai sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan fiskal pemerintah ketika penerimaan negara merosot atau belanja terlalu boros. "Aturan ini membuka peluang bagi pemerintah untuk memanfaatkan pendanaan dengan biaya murah,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, Suminto menyatakan pasal krisis dan wewenang BI membeli SBN di pasar perdana tidak bisa sembarangan digunakan. Menurut dia, UU PPSK menetapkan status krisis hanya bisa dideklarasikan melalui keputusan presiden berdasarkan rekomendasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK adalah forum yang beranggotakan Menteri Keuangan, gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner LPS, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Presiden tidak dengan mudah menyatakan krisis karena implikasinya sangat besar,” katanya.
Menurut Suminto, pengawasan juga akan dilakukan oleh partai politik di DPR. “Siapa pun presidennya, ruling party akan sangat berhati-hati menyatakan kondisi krisis.”
Suminto mengatakan pemerintah perlu cepat berupaya menerapkan protokol ini demi mencegah krisis makin parah.
Pengalaman di masa pandemi, dia menambahkan, menunjukkan skema burden sharing mesti menunggu proses politik, seperti terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Padahal kebutuhan sudah mendesak. "Semoga tidak ada krisis di masa depan. Tapi, kalau ternyata ada, kita tidak perlu lagi menunggu. Protokol itu bisa langsung diaktifkan," ujar Suminto. “Kita semestinya punya satu kepercayaan, siapa pun pemimpinnya, partainya, tidak akan main-main dalam menyatakan krisis.”
•••
RENCANA menyusun omnibus law keuangan bergulir sejak tiga tahun lalu. Pada 17 Desember 2019, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Program Legislasi Nasional 2020-2024 yang berisi 248 rancangan undang-undang. Di antaranya revisi Undang-Undang Bank Indonesia, revisi Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan, revisi Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, serta Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Setahun kemudian atau pada September 2020, Badan Legislasi DPR membacakan rancangan awal revisi UU BI. Rancangan regulasi itu sempat bikin geger gara-gara salah satu isinya mencantumkan rencana pembentukan dewan moneter yang akan mengendalikan keputusan bank sentral. Dewan moneter, dalam rancangan regulasi itu, akan dipimpin seorang menteri.
Perubahan aturan itu menuai protes karena sama saja dengan menempatkan BI sebagai otoritas moneter di bawah pemerintah yang menjadi kuasa pemegang fiskal negara. Status ini pernah ada pada era Orde Baru di bawah Soeharto. Naskah revisi UU BI versi Badan Legislasi DPR juga menyebutkan rencana mengembalikan wewenang pengawasan perbankan kepada bank sentral. Artinya, akan ada peralihan kewenangan pengawasan bank yang sejak 2011 berada di bawah OJK.
Laporan Tempo pada September 2020 menyebutkan Istana mempertimbangkan pengembalian wewenang pengawasan perbankan ke BI sebagai bentuk akumulasi kekecewaan Presiden Joko Widodo terhadap kinerja OJK. Saat itu sektor perbankan memang sedang dilanda kemelut. Beberapa yang mengemuka ke publik adalah tarik-ulur kepemilikan Bank Muamalat serta gejolak di Bank Bukopin ketika bank yang saat itu dikuasai Grup Bosowa tersebut mengalami kalah kliring. Presiden juga disebut-sebut jengkel karena ada persoalan pada industri asuransi yang seharusnya diawasi OJK. Contohnya kasus gagal bayar dan fraud PT Asuransi Jiwasraya serta Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera.
Setelah pandemi Covid-19 menyerang, ada kekecewaan terhadap BI yang dianggap kurang mendukung pemerintah dalam menanggung beban anggaran yang sangat besar. Padahal presiden sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020 yang mengatur pembelian surat berharga negara di pasar perdana oleh BI. Skema burden sharing nyatanya baru berjalan pada Juli 2020. Persoalan-persoalan ini yang menjadi salah satu pertimbangan untuk mempercepat penerbitan omnibus law sektor keuangan.
Itu sebabnya ada sejumlah pasal dalam Undang-Undang PPSK yang menambal bolongnya industri keuangan, terutama saat menghadapi pandemi Covid-19. Seperti yang tercantum pada pasal 20 tentang pinjaman likuiditas jangka pendek untuk bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas, OJK dan BI wajib melakukan penilaian bersama mengenai kecukupan agunan dan proyeksi arus kas bank yang menghadapi persoalan. Menurut pasal tersebut, LPS bahkan dapat menempatkan dana ke bank yang belum dinyatakan gagal dan tengah menjalani penyehatan. “Ini bentuk early intervention dari LPS. Kalau ada bank yang masih ada dagingnya, bisa cepat disehatkan," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto.
Pasal itu sebenarnya tidak benar-benar baru karena sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang kewenangan LPS untuk menangani masalah stabilitas sistem keuangan yang terbit pada 7 Juli 2020. Aturan itu terbit berlandaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan dalam penanganan Covid-19.
Pada Maret 2021, pembahasan Rancangan UU PPSK yang berisi revisi UU BI, LPS, dan OJK bergulir lagi. Saat itu sudah muncul istilah omnibus law keuangan karena regulasi ini menyatukan dan mengubah banyak undang-undang, mirip dengan omnibus law Cipta Kerja yang terbit pada November 2020.
Ketua Panitia Kerja Undang-Undang PPSK sekaligus Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR, Dolfie Othniel Frederic Palit, mengatakan pengesahan UU PPSK ditetapkan menjadi prioritas pada 28 September 2021. Sejak saat itu pembahasannya mulai dikebut. DPR kemudian menetapkan Rancangan UU PPSK sebagai inisiatif legislatif pada 20 September 2022 sehingga pembahasannya kian cepat.
Sebagai contoh, pembicaraan tingkat pertama mengenai daftar inventarisasi masalah dari pemerintah yang dimulai pada 10 November selesai pada 5 Desember lalu. Tiga hari kemudian, sembilan fraksi di Komisi Keuangan DPR menyetujui bundel Rancangan UU PPSK. Sepekan setelah itu, rapat paripurna DPR mengesahkan rancangan omnibus law tersebut menjadi undang-undang.
Anggota Komisi Keuangan DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Musthofa, mengatakan terjadi tarik-menarik dalam rapat pembahasan yang berlangsung secara tertutup dengan pemerintah. Hal ini terjadi pada banyak pasal. "Agak kenceng-kencengan dan engkel-engkelan,” tuturnya pada Jumat, 23 Desember lalu. Menurut Musthofa, tarik-menarik dan perdebatan terjadi karena regulasi ini memakai metode omnibus law, menyatukan banyak undang-undang. "Kalau pembahasannya parsial pasti susah."
Kini UU PPSK selangkah lagi berlaku, tinggal menunggu tanda tangan presiden. Pemerintah pun bersiap menyusun peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang berisi detail aturan turunan UU PPSK di berbagai sektor. “Aturan sektor keuangan kita sudah banyak outdate sehingga omnibus ini menjadi kebutuhan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam diskusi “Outlook Perekonomian Indonesia” pada Rabu, 21 Desember lalu. "Kita sudah melalui banyak krisis. Belajar dari krisis itu, kita tidak boleh memiliki ego institusi,” Sri menambahkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo