Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebebasan berpendapat dan berekspresi semestinya dijamin penuh oleh fakultas.
Pembekuan BEM FISIP Unair ini mungkin saja disebabkan tekanan dari rektorat. Jika benar, artinya pola pembungkaman terjadi secara struktural dan menjadi siklus.
Hak kebebasan berpendapat mahasiswa dan civitas academica lain tidak boleh dikebiri.
SATU hari setelah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) membekukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), para pengurus organisasi ini mengunggah pernyataan keberatan atas langkah tersebut. Keputusan pembekuan BEM FISIP Unair ini diambil secara sepihak dan disampaikan melalui surat elektronik pada 25 Oktober 2024.
Dekan FISIP Unair membuat keputusan tersebut setelah para pengurus BEM meletakkan karangan bunga bernada satire yang mengkritik pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada Selasa, 22 Oktober 2024. Dalam surat pengumuman itu, kampus menganggap narasi dalam karangan bunga tidak sesuai dengan etika dan kultur akademik insan kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Senin, 28 Oktober 2024, Dekan FISIP Unair Bagong Suyanto meluruskan kabar yang beredar. Menurut dia, pembekuan bukan dilakukan terhadap BEM sebagai organisasi, melainkan terhadap tiga orang pengurus BEM, yakni ketua BEM, wakil ketua BEM, dan menteri politik, yang bertanggung jawab atas pembuatan karangan bunga tersebut. Dan kemudian, Bagong juga menyatakan mencabut keputusan pembekuan itu.
Terlepas dari pernyataan itu, dekan dan fakultas menunjukkan sisi otoriter dan ketidakmampuannya dalam memilah mana hal yang penting dan bukan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi semestinya dijamin penuh oleh fakultas. Entah itu topiknya mengenai dukungan terhadap kondisi kemanusiaan secara universal maupun luapan ketidakpuasan akan kondisi demokrasi kita, seperti penyelenggaraan pemilihan umum yang penuh dengan kecurangan.
Pendidikan tinggi merupakan benteng terakhir dari masa depan negara (Lauder dan Wylie, 2012). Jika kampus enggan pasang badan dalam melindungi kebebasan berpendapat, bahkan malah mendekat ke pemerintah, niscaya krisis demokrasi yang tengah kita hadapi kian sakit dan tak kunjung kembali sehat. Keputusan membekukan BEM FISIP Unair sangatlah keliru.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengharumkan nama baik kampus. Namun cari muka ke pemerintahan yang bahkan belum berjalan sebulan adalah praktik yang tidak elegan. Apalagi hal ini mencuat dari civitas academica FISIP, yang seharusnya fasih menjunjung nilai-nilai kebebasan berpendapat.
Pembungkaman yang Menjadi Pola
Kampus sepatutnya bisa memberikan contoh benar bagi para mahasiswa. Tapi, kalau contoh dari tingkatan paling atasnya sudah busuk, wajar saja apabila para mahasiswa ikut menirunya. Lalu, bagaimana dengan implementasi moto Unair, yakni "excellence with morality"? Apakah kalimat itu akhirnya sekadar menjadi jargon?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembekuan BEM oleh Dekan FISIP ini mungkin saja disebabkan tekanan dari rektorat. Jika benar, artinya pola pembungkaman terjadi secara struktural dan menjadi siklus. Karena pada akhirnya pola serupa dilakukan pula oleh para mahasiswa kepada sesamanya. Pembungkaman ini pernah dialami penulis, dan ironisnya terjadi di BEM FISIP itu sendiri.
Penulis pernah menjadi bagian dari organisasi, yakni sebagai anggota Divisi Gerakan Keadilan dan Kesetaraan Gender BEM FISIP Unair pada kepengurusan 2024. Insidennya terjadi setelah momentum "bulan kebanggaan kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ plus)" atau "pride month" pada Juni 2024.
Ketika itu, penulis bersama sejumlah rekan berinisiatif menegaskan posisi kami soal isu tersebut lewat akun Instagram divisi. Termasuk juga sikap kami soal berlanjutnya invasi dan genosida oleh Israel di Palestina. Setelah konten tersebut tayang, beberapa anggota divisi kami pun terpantik membuat kajian-kajian yang berkaitan dengan gerakan keadilan dan kesetaraan gender.
Namun, dalam waktu singkat, kami mendapat teguran dari Ketua BEM FISIP Unair serta Ketua Divisi Gerakan Keadilan dan Kesetaraan. Awalnya kami berpikir positif bahwa teguran ini berkaitan dengan tidak masuknya kelompok marginal lain dalam kajian tersebut. Namun rupanya teguran tersebut berasal dari ketidaksetujuan terhadap penyebutan kelompok LGBTQ plus sebagai bagian dari kelompok rentan.
Setelah mendapat teguran itu, penulis diundang ke sekretariat. Karena tersulut emosi, penulis membuat surat pengunduran diri pada hari yang sama. Dalam pertemuan itu, Ketua BEM FISIP Unair Tuffahati Ullayyah menyatakan bahwa pemberhentian penulis dari kepengurusan BEM disebabkan penayangan konten yang dilakukan tanpa koordinasi. Ia juga menyatakan BEM FISIP Unair di periodenya tidak akan mengangkat isu soal kelompok LGBTQ plus.
Setelah pertemuan itu, penulis justru merasa lega bisa keluar dari organisasi yang fobia terhadap perbedaan, terutama terhadap perbedaan gender. Namun kemudian muncul kekecewaan karena organisasi lain di kampus, seperti Badan Legislatif Mahasiswa dan lembaga pers mahasiswa, justru bergeming terhadap peristiwa pembungkaman semacam ini. Demikian juga dengan Dewan Etika dan Dekanat FISIP Unair yang juga tak bertindak apa-apa, dan sekarang malah membekukan BEM fakultas hanya karena ekspresi satire mahasiswa.
BEM FISIP Unair memang belum sempurna. Organisasi ini masih kental dengan unsur-unsur queerphobia, ableisme, termasuk masih kuatnya kontestasi Kelompok Cipayung. Langkah Dekanat FISIP Unair membekukan organisasi intrakampus bisa menjadi momentum untuk perbaikan total organisasi. Namun hak kebebasan berpendapat mahasiswa dan civitas academica lain tidak boleh dikebiri.
Para dosen kerap berkata bahwa mahasiswa itu sudah dewasa, bukan anak kecil yang masih harus dibimbing. Tapi, sayangnya, dekanat dan rektorat justru tak memberikan respons positif atau mendukung mahasiswa yang sedang belajar berpikir kritis dan bebas seperti orang dewasa.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.