Pemerataan dalam Statistik MASRI SINGARIMBUN KETIKA saya bersama seorang kawan kulit putih di Jakarta, katanya dia terkejut melihat kemajuan Jakarta: gedung-gedung menjulang tinggi dan kendaraan memadati jalan. Dia juga terkejut melihat beberapa mobil Baby Benz. Rupanya, dia ketinggalan zaman. Dia belum paham bahwa apa pun yang dijadikan indikator, jelas tampak bahwa keadaan ekonomi Indonesia sudah meningkat berkat upaya pembangunan dari Pelita ke Pelita. Dia akan geleng kepala dan lebih kagum lagi kepada Indonesia kalau dia tahu bahwa penyanyi tenar Julio Iglesias mengalami sukses di Jakarta. Harga tiket Rp 1 juta seorang untuk VIP dan tiket terjual habis. Dengan suara dan gayanya yang memukau, penyanyi keturunan Spanyol yang ngganteng itu telah menghibur orang yang berpunya di Jakarta, dan dengan kapal terbang jet pribadinya dia melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur. Kemajuan tersebut terlihat pula di desa. "Keadaan ekonomi di desa ini jauh lebih baik dari 15 tahun yang lalu," begitu kata seorang guru SD di Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri. Dahulu seorang buruh tani mendapat imbalan setara satu kilogram beras sehari dan sekarang dua kilogram sehari. Kecuali itu, untuk makan siang, seorang buruh tani mendapat makanan seadanya, mungkin singkong atau makanan murah lainnya. Sekarang harus diberi makanan yang baik kalau diberi singkong, lain kali dia tidak mau dipanggil lagi. Dahulu cukup banyak penduduk desa ini yang memakan gaplek atau jagung pada masa paceklik, sekarang semuanya makan nasi sepanjang tahun. Dahulu banyak orang miskin yang menyadap pohon untuk membuat gula kelapa. Sekarang jumlah penyadap sudah jauh berkurang dan pohon kelapa dibiarkan berbuah. Anak muda lebih suka bekerja di kota -- dan lebih gengsi -- daripada menyadap dengan pendapatan yang rendah. Orang miskin masih ada tapi proporsinya sudah berkurang. Ini senada dengan hasil penelitian Biro Pusat Statistik yang mengungkapkan bahwa jumlah dan proporsi penduduk Indonesia di bawah garis kemiskinan sudah menciut, dari 54,2 juta jiwa (40,1%) pada tahun 1976 menjadi 30 juta jiwa (17,4%) pada tahun 1987. Sriharjo sudah disulap oleh zaman. Di desa itu sudah ada SMP negeri dan puskesmas. Jalan yang mulus beraspal membelah desa, menghubungkan Yogya dengan Gunungkidul dan Parangtritis, ramai dilalui kendaraan roda dua dan roda empat. Pagar rumah di tepi jalan ditata rapi dan dilabur putih. Sebagian penduduk sudah menikmati hasil program listrik masuk desa. Di tepi jalan yang mulus itu terdapat warung-warung yang menjual berbagai barang yang berasal dari kota. Sudah ada bengkel sepeda motor dan tak ketinggalan salon kecantikan, yang menjadi salah satu simbol modernisasi desa. Walaupun upah harian buruh tani sudah lipat dua setara beras sehingga menjadi Rp 1.000 sehari, pendapatan tersebut masih relatif rendah, mengingat kebutuhan hidup juga bertambah. Kebutuhan anak jelas bertambah. Anak batu tulis tidak dikenal lagi, dan untuk sekolah diperlukan pakaian seragam. Sebaliknya, pekerjaan upahan tidak tersedia setiap hari, hanya ada pada waktu-waktu tertentu. Imbalannya cukup rendah untuk berbagai pekerjaan lainnya yang tersedia untuk mereka. Imbalan yang menyedihkan tersebut jelas tercermin dalam upah minimum untuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang besarnya Rp 900 sehari (tempo hari Rp 750) di Jawa Tengah lebih sedikit, yakni Rp 1.400 sehari (sebelumnya Rp 780). Tapi banyak perusahaan yang melanggar ketentuan itu. Malah masih terdapat karyawan di Kodia Semarang yang mendapat imbalan Rp 600 sehari. Ketika ditanya mengapa dia mau menerima upah serendah itu, jawabannya: mencari pekerjaan sangat sulit. Bayangkan, sekiranya mereka naik bis untuk bekerja maka ongkos transpor mungkin Rp 400 atau Rp 600 sehari. Mungkin separuh atau lebih dari gaji yang diterima ditelan oleh ongkos transpor tersebut. Jelas bahwa untuk banyak pekerja di Indonesia, naik bis merupakan sesuatu yang mewah. Mereka naik sepeda dan dari sudut mereka, bis bukan transpor rakyat. Aqua, teh botol, dan Coca-Cola jelas di luar jangkauan mereka. Sebaliknya, lihatlah apa yang dijual di berbagai toko dan toko swalayan di kota, yang merefleksikan pola konsumsi dan tingkat pendapatan golongan menengah dan atas. Suasananya, peralatannya, cara menata barang, dan aneka barang yang dijual, sama saja dengan luar negeri. Kalau ada uang, apa saja bisa dibeli di Indonesia. Tersedia tempat rekreasi dan hiburan aneka ragam, dan malah diiklankan bermacam paket untuk bertamasya ke luar negeri. Rekening di bank bisa dalam berbagai mata uang. Cuma kadang-kadang harus bersabar ada kalanya orang harus antre sampai 12 bulan untuk membeli sedan karena permintaan melimpah-ruah walaupun harganya termahal di dunia. Pendapatan absolut jelas sudah meningkat. Lalu bagaimana dengan pemerataan pendapatan yang merupakan salah satu sasaran dalam GBHN dan Repelita? Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesla sudah mengecil. Katanya, pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok berpendapatan rendah meningkat dari 11,9% (l976) menjadi 19,0% (1987). Sebaliknya, pendapatan yang diterima oleh 20% penduduk berpendapatan tinggi berkurang dari 53,4% menjadi 45,4%. Selanjutnya pendapatan yang diterima oleh 40% penduduk berpendapatan menengah meningkat sedikit, dari 34,8% menjadi 35,7%. Rasanya, hasil penelitian di atas tidak masuk akal dan tidak didukung oleh pengamatan sehari-hari. Tanda-tanda zaman secara gamblang telah menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi semakin melebar. Ketika hal tersebut beberapa bulan yang lalu dibahas dalam sebuah seminar di Jakarta, dua pakar menekankan bahwa -- berbeda dengan kemiskinan absolut -- kemiskinan relatif tidak membaik tetapi memburuk. Mungkin terdapat masalah metodologi dalam penelitian di atas. Mungkin golongan atas kurang terwakili. Mungkin mereka yang kaya tidak memasukkan semua pendapatannya, baik sengaja maupun tak sengaja. Memang, di dalam penelitian sosial, menghimpun data yang akurat mengenai pendapatan adalah sulit. Menurut salah seorang pakar dalam seminar: ketimpangan pendapatan antara mereka yang tergolong 20 persen paling atas dan golongan menengah jauh lebih besar daripada ketimpangan pendapatan antara golongan menengah dan golongan bawah. Dengan kata lain, jurang antara golongan atas dan menengah lebih besar daripada antara golongan menengah dan bawah. Lalu dia menggarisbawahi bahwa pemerataan pendapatan memang tidak terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini